Oleh: Kholili Hasib

iaandexInpasonline.com-Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mengkaji tentang sumber-sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana manusia memperolehnya. Dalam dunia sains atau cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya, posisi epistemologi sangat fundamental. Sebab, teori-teori pengetahuan dibangun asasnya di atas empistemologi. Sehingga, problematika ilmu pengetahuan dapat ditelusuri dari epistemologinya.

Dalam Islam, epistemologi diasaskan oleh pandangan alam Islam (Islamic worldview). Yakni dengan menempatkan konsep Tuhan dan wahyu sebagai saluran epistemologi yang paling tinggi yang sifatnya mutlak.  Karena itu, cara paling mendasar dari proyek Islamisasi Ilmu adalah mengislamkan epistemologi. Yakni, bagaimana memperoleh ilmu dari sarana-sarana yang berdasarkan pandangan alam Islam. Sarana-sarana yang membatasi pada aspek empirik dan rasio belaka dalam memperoleh ilmu tidak sesauai dengan pandangan alam Islam. Sebab, secara ontologis, pandangan alam Islam mengakui dua alam, yakni alam al-musyahadah (alam fisik) dan alam al-ghayb (metafisik). Karena itu, ketika ilmu modern yang menyempitkan sarana hanya pada rasio dan empirik dan menafikan saluran metafisik, menjadi problem dalam pandangan Islam, bahkan terkait dengan problem teologis. Makalah ringkas, ini mengulas epistemologi Islam dan peran fundamentalnya dalam Islamisasi Ilmu pengetahuan.

Deislamisasi Ilmu

Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan, Westernisasi ilmu yang bersumber kepada akal dan panca-indera belaka telah melahirkan berbagai macam faham pemikiran seperti rasionalisme, empirisme, skeptisisme, relatifisme, ateisme, agnostisme, humanisme, sekularisme, eksistensialisme, materialisme, sosialisme, kapitalisme dan liberalisme. Westernisasi ilmu bukan saja telah menceraikan hubungan antara alam dan Tuhan, namun juga telah melenyapkan Wahyu sebagai sebagai sumber ilmu[1].

Perbedaan yang mendasar inilah yang menjadikan problem epistemologis. Pada dasarnya, poin utama perbedaan metodologi Islam dan Filsafat sains sekular adalah cara mendapatkan kebenaran pengetahuan. Filsafat ilmu sekuler menggunakan metode rasionalis-empiris, menolak wahyu dan otoritas tetap, serta menjadikan skeptisisme (keraguan) sebagai metode epistemologi. Skeptisisme inilah menjadi kepercayaan dasar – membuang dimensi metafisik[2]. Sehingga konsep nilai, konsep baik dan buruk menjadi kabur, tidak ada parameter tetap, karena selalu berubah-ubah. Lebih jauh lagi pada saat paradigma postmodernisme mendominasi kegiatan ilmiah. Seperti dikatakan ole Ernest Gellner, bagi postmodernisme kebenaran adalah elusive (kabur), subjektif dan internal. Ide tentang kebenaran tunggal sulit diterima, apalagi kebenaran transenden yang eternal tidak bisa diterima postmodern[3].

Hegememoni ilmu sekuler yang mengglobal telah sekian lama mempengaruhi dunia[4]. Di satu sisi, sains saat ini adalah hasil kajian epistemologi sekular yang tentu dalam konsep-konsep atau teorinya didasari asumsi yang sekular. Hal itu berakibat pada hasil observasinya – meskipun tidak semua. Satu contoh adalah konsep Darwin tentang asal-usul kehidupan. Darwin adalah seorang saintis ateis. Alasan mengapa ia menyimpulkan kehidupan itu berasal dari makhluk hidup sebelumnya, adalah karena ia tidak meyakini keberadaan Tuhan yang menciptakan makhluk. Asumsi yang menolak campur tangan Tuhan dalam penciptaan inilah yang mempengaruhi hasil penelitiannya, bahwa makhluk itu ada dengan sendirinya. Paradigma Darwin dalam teori evolusinya adalah atheisme.

Menurut Thomas S. Kuhn, paradigma seorang ilmuan atau sistem keyakinan dasar dalam memandang realita alam menentukan cara mengamati, menyusun pertanyaan-pertanyaan dan hipotesa. Ia mengatakan, “Paradigma-paradigma bisa menentukan ilmu pengetahuan yang normal tanpa campur tangan kaidah-kaidah yang ditemukan”.[5] Karena itu, teori evolusi Darwin sama sekali nihil dari konsep ketuhanan.

Pada sisi yang lain, westernisasi ilmu melahirkan dikotomi bahwa ilmu pengetahuan itu ada dua, yaitu ilmu umum dan ilmu agama. Pembagian ini bermasalah. Sebab, pembagian ini cenderung menggiring pemahaman ‘menyempitkan’ ilmu agama. Seakan-akan ilmu agama itu partikular tidak umum. Bahkan seakan melokalkan ilmu agama. Padahal ilmu agama Islam mestinya lebih universal, daripada sains. Karena ilmu agama menyangkut dan mengatur semua realitas alam. Akan tetapi ilmu umum  tertentu belum tentu bersifat universal. Sains, juga kehilangan niali-nilai ketuhanan. Sains ditempatkan sebagai produk alam yang bebas nilai.

Secara garis besarnya, epistemologi Barat barcabang menjadi postivisme, rasionalisme, dan sopisme. Para ulama membagi sofisme (sufasthaiyyah) menjadi tiga golongan. Pertama, al-‘indiyyah (subjektifisme), Kedua, alla ‘adriyah (agnostisisme) dan Ketiga, al-inadiyyah (nihilisme). Kelompok al-‘indiyyah berkeyakinan bahwa kebenaran itu tidak ada. Kebenaran itu relative tergantung pada siapa yang mengucapkannya. Semua ilmu bersifat relatif. Kelompok ini mengatakan, ilmu dan kebenaran tergantung kepada pendapat masing-masing.

Golongan alla-Adriyah menyatakan bahwa manusia itu tidak bisa mengetahui, tidak bisa tahu. Jadi ilmu itu tidak bisa dicapai oleh manusia. Kelompok ini menolak “itsbatul ulum” atau tidak meyakini bahwa “knowledge is possible”. Mereka berpendapat apa yang kita ketahui sejatinya bukan yang sebenarnya. Sebab, manusia tidak bisa mengetahui yang sebenarnya, ilmu adalah produk imajinasi manusia.

Kelompok ketiga, al-Inadiyyah, yaitu golongan yang berpaham bahwa hakikat sesuatu dan kebenaran itu bahkan tidak ada. Mereka juga disebut golongan keras kepala. Mereka juga berpaham skeptisisme. Menolak hakikat kewujudan. Sebaba, bagi mereka tidak ada kebenaran ontologis.

Paham kelompok sofis ditolak oleh pandangan Islam. Dalam kitab al-Farqu Bayna al-Firaq, al-Baghdadi mengatakan, satu akidah Ahlussunnah wal Jamaah adalah Itsbatul Ulum wal haqiqah, yakni manusia bisa menerima ilmu dan kita bisa menerima hakikat realitas. Kebenaran ontologism bisa kita terima[6].

Paham positivisme dimotori oleh Auguste Comte yang kemudian dikembangkan oleh John Stuart Mill dan Emile Durkheim. Menurut aliran ini, keilmiahan ilmu diukur dengan dua hal, yaitu adanya Pertama, data positif (realis), Kedua telah dibuktikan melalui eksperimen, observasi dan komparasi. Objek ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: dapat diukur (observable), dapat diulang (repeatable), diapat diukur (measurable), dapat diuji (testable) dan dapat diprediksi (predictable)[7]. Syarat-syarat keilmiahan tersebut menafikan metafisika dasar. Semuanya berdasarkan realisme dan sumber-sumber empirik. Sedangkan agama dianggap tidak ilmiah sebab, agama tidak dapat diukur dengan angka-angka, dan ajaran agama tidak dapat diuji secara empiris. Keilmiahan yang minus agama ini lah yang menjadi kekurangan filsafat ilmu Barat.

Aliran ketiga dari filsafat Barat adalah rasionalisme. Aliran ini dikaitkan dengan filsuf Prancis Rene Descartes, Spinoza dan lain-lain. Paham ini beranggapan bahwa ada prinsip-prinsip dasar yang diakui benar oleh rasio manusia. Descartes menyebut prinsip dasar itu dengan innate ideas (ide bawaan) yang sudah ada dalam jiwa manusia sebagai kebenaran yang terang. Kebenaran yang menurut Descartes tidak bisa diragukan keberadaannya. Sehingga bisa mutlak menjadi sumber ilmu.  Leibniz berpendapat bahwa prinsip-prinspi rasional tersebut bersifat apriori (badihiy). Tanpa perlu pengalaman – sebagaimana aliran positivisme – ilmu bisa dicapai rasio manusia. Demikianlah, rasionalisme berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan manusia itu dari rasio. Rasio itu adalah subjek. Maka asal pengetahuan harus dicari pada subjek[8].

Aliran rasionalisme berdampak pada paham skeptisisme. Tidak bisa memastikan betul atau tidak akhirat itu ada.  Sehingga meragukan akhirat. Ini dampak dari rasionalisme. Begitu pula empirisme dan positivism tidak mampu menyatakan data satu pun bahwa ada kehidupan setelah mati. Jadi, rasionalisme tidak bisa memberikan keyakinan terhadap banyak perkara yang sifatnya mungkin bagi akal.

Positivisme dan rasionalisme adalah aliran filsafat ilmu Barat. Namun, ada hal yang bisa bertemua antara dua aliran ini dengan epistemologi Islam. Islam meyakini sumber realis dan akal sebagai salah satu sarana memperoleh ilmu pengetahuan. Namun yang berbeda adalah, Islam tidak meyakini bahwa keduanya menjadi satu-satunya sumber ilmu. Barat menerima postivisme dan rasionalisme, tapi mereka menolak wahyu. Namun, jika dikomparasikan dengan sofisme, epistemologi Islam secara total menolak aliran yang sudah tumbuh pada Yunani kuno ini. Sebab, golongan ini menolak ilmu. Sebab, satu fakta nyata akan ditolak. Misalnya menggugat sesuatu yang tidak perlu. Contoh, kertas ini warnanya putih. Orang sofis bisa menggugat, kenapa putih? Apa itu putih? Istilah putih itukan istilah Anda dan lain sebagainya.

Sumber Ilmu Islam

Atas dasar itu, epistemologi Islam mendesak untuk dipelajari dan diperdalami. Dalam epistemologi Islam, sarana-sarana ilmu sebagaimana telah lama disepakati para ulama di antaranya melalui panca indera (al-hawas), akal sehat (al-‘aql) dan khabar yang benar (al-khabar al-shadiq). Sarana-sarana itulah yang memberikan ilmu dan kebenaran kepada manusia. Indra manusia dibagi dua, yakni indra lahir dan idra batin.

Menurut al-Attas, proses manusia mengetahui sesuatu diawalai dengan tahap persepsi terhadap objek yang dilakukan oleh indra lahir dan kemudian disalurkan kepada indra batin yang disebut indra umum. Dalam indra umum membentuk citra (image) realitas yang masih berupa estimasi dan disimpan di akal, dari situ kemudian membentuk keputusan atau pendapat melalui jalan analisis, dan pemilihan baik dan buruk[9].

Indra mengacu pada aktivitas persepsi dan pengamatan yang mencakup lima indra lahir; yaitu perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihat, dan pendengar. Terkait dengan lima panca indra, terdapat indra batin yang mempersepsi image indrawi dan maknanya, menyatukan atau memisahkan, mengkonsep gagasan, dan lain-lain. Kelima indra batin itu adalah; indra umum (common sense), representasi, estimasi, ingatan dan imajinasi. Dalam hal ini, yang dipersepsi adalah ‘rupa’ dari objek lahiriyah atau disebut representasi lahiriah, bukan realitas hakiki itu sendiri. Jadi, yang dipersepsi oleh indra-indera itu bukanlah realitas sesungguhnya dalam dirinya sendiri, melainkan sesuatu yang menyerupai atau merupakan representasi dari realitas itu[10].

Perbedaan antara rupa dan makna realitas adlaah, rupa merupakan apa yang pertama kali dipersepsi oleh indra lahir dan kemudian indera batin. Sedangkan makna adalah apa yang dipersepsi oleh indera batin dari objek indrawi tanpa terlebih dahulu dipersepsi indera lahir.

Islam mengakui indera ini memberikan sumber informasi dan juga sumber ilmu. Dan dalam sains disebut empirical sources. Sebagai salah satu sumber empiris yang memang diakui Islam sebagai saran manusia menerima ilmu. Hal ini berbeda dengan epistemologi sofisme, yang menafikan indera sebagai sumber ilmu. Jadi, sofisme bertentangan dengan epistemologi Islam dan juga bertentangan dengan aliran empirisisme-positivisme Barat.

Sumber ilmu yang kedua adalah akal. Fungsi akal ini adalah dapat menutupi kelemahan panca indera. Akal menafsirkan fakta-fakta dari pengalaman inderawi untuk menghasilkan hukum, kesimpulan yang dapat dipahami. Imam al-Ghazali memberikan perumpamaan, bulan jika dilihat dengan indera mata terlihat kecil seperti logam duit. Namun kita tidak serta merta menyimpulkan begitu saja bahwa bulan itu sebesar logam duit, sebab akal kita menyatakan bulan itu besar. Dari mana akal bisa menyimpulkan bulan itu besar? Dari pembacaan hasil penelitian, dari sumber-sumber terpercaya. Akal memberi informasi baru dimana pengamatan empiris tidak mampu menyimpulkan yang sebenarnya[11].

Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan, akal adalah suatu substansi ruhaniah yang kita sebut hati atau kalbu, yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Intuisi dipahami sebagai pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas, dan eksistensi Tuhan. Karena itu, intuisi akal tidak datang pada orang kecuali telah menjalani hidupnya dengan mengalamani kebenaran agama melalui praktik pengabdian kepada Tuhan secara ikhlas[12].

Akal itu terpisah dari materi. Ia substansi rasional ruhaniah yang memiliki kekuatan intelek. Mengatur gerak tubuh, mengarahkan tindakan manusia, emosi dan menerima kekuatan kognitif. Di sinilah terjadinya intuisi. Makna akan tiba pada jiwa melalui intuisi.

Akal dibagi menjadi tiga, yaitu wajib bagi akal, mustahil bagi akal dan mungkin bagi akal. Wajib bagi akal adalah sesuatu yang akal kita tidak bisa menolaknya. Akal sehat harus menerimanya. Contoh berupa pernyataan ‘Ayah itu lebih tua dari anaknya’. Proposisi ini tidak bisa ditolak oleh akal sehat. Sedangkan lawannya adalah mustahil bagi akal, yakni akal tidak bisa menerimanya. Contoh: ‘Ibu itu lebih muda dari anaknya’. Atau berupa proposisi, ‘Ada segitiga bulat’. Ini tentu mustahil.

Sedangkan mungkin bagi akal adalah proposisi-proposisi yang akal bisa menerimanya, tergantung kemungkinan-kemungkinan. Contoh misalnya, ‘Istri lebih tua dari suaminya’.

Imam Fakhruddin al-Razi berpendapat dari segi cara memperoleh ilmu, akal ada dua yaitu akal badihiy dan akal iktisab. Akal badihiy adalah gambaran sesuatu itu bisa langsung masuk dalam jiwa tanpa upaya, bisa menafikan dan menetapkan. Yang kedua adalah memperoleh ilmu dengan upaya yang dibantu oleh indera[13].

Namun begitu, akal memiliki keterbatasan. Akal harus selaras dengan bimbingan wahyu. Eksploitasi      akal                                     melebihi    kapasitasnya               tentunya                berlawanan dengan sunnatullah, bahkan bertentangan dengan makna kebahasaannya (etimologis). Dalam Eksiklopedi bahasa Arab, lisan al-‘Arab[14], pakar bahasa Arab kenamaan, Sibawayh, menjelaskan berbagai pengertian akal yang dijelaskan dari akar kata dan derivasinya (‘aqala, ‘uqila, u’tuqila, ‘aqaltu, ‘aqil, ‘iqal, ta’qil, ma’qul). (i) ‘uqila lahu shay’un berarti dijaga atau diikat akalnya dan dibatasi. (ii) U’tuqila lisanuhu idza hubisa wa muni’a l-kalam berarti ditahan dan diikat lidahnya, yaitu jika  ia  dibatasi  dan  dilarang  berbicara.  (iii)  ‘aqaltu  l-ba’ir,  berarti  saya  telah mengikat keempat kaki unta. Ibnu Bari mengartikan akal dalam syairnya sebagai sesuatu yang memberikan kesabaran dan wejangan (mau’izhah) bagi orang yang membutuhkan.

Sehingga dikatakan: al-‘Aqil  alladzi  yahbisu nafsahu wayarudduha ‘an hawaha (orang berakal adalah yang mampu mengekang hawa nafsunya dan menolaknya). Maka, kata ma’qul (masuk akal) berarti ma ta’qiluhu bi qalbika, yaitu sesuatu yang kamu nalar dengan hati dan kalbumu.

Kedudukan akal dalam khazanah Islam adalah untuk memastikan, mengokohkan dan mengabsahkan suatu keyakinan. Ini tidak berarti bahwa sumber kebenaran wahyu adalah akal, atau akal dapat dijadikan satu- satunya patokan untuk menilai salah atau benarnya wahyu. Sebab sesuai dengan kapasitas dan keterbatasan manusia, akal tidak dibebani untuk mengenali hal-hal ghaib, atau untuk merumuskan cara berinteraksi dengan Tuhan. Oleh karena itu, akal selalu diikat dengan nilai-nilai wahyu. Maka dalam teologi Islam kedudukan akal dan wahyu haruslah seimbang dan terpadu.

Sumber ilmu berikutnya adalah khabar shadiq (informasi yang benar) dan otoritas. Imam Nasafi menjelaskan bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua. Pertama, khabar mutawatir, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dari banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta, disampaikan dari satu generasi ke generasi lain dan oleh karena itu merupakan sumber ilmu yang pasti. Kedua, informasi yang dibawa dan disampaikan oleh para Rasul yang diperkuat dengan mu’jizat. Informasi melalui jalur ini bersifat istidlali, yakni bisa diterima dan diyakini kebenarannya jika telah diteliti dan dibuktikan terlebih dahulu statusnya[15].

Informasi mutawatir yang terbentuk oleh kesepakatan bersama, yang termasuk di dalamnya sarjana, ilmuan, dan orang yang berilmu pada umumnya, dapat dipersoalkan oleh nalar dan pengalaman. Tetapi otoritas jenis kedua, yaitu pesan yang dibawa oleh Nabi dan Rasul, yang juga dikukuhkan oleh kesepakatan umum, sifatnya mutlak. Sehingga tingkat otoritas tertinggi dalam Islam adalah al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Kedua otoritas ini dibangun di atas tingkat-tingkat kognisi intelektual dan ruhaniah yang lebih tinggi, dan di atas pengalaman transsendental yang tidak dapat disempitkan hanya pada tingkat akal dan pengalaman biasa[16].

Dalam ilmu hadis, khabar mutawatir memiliki sejumlah syarat di antaranya; Pertama, para narasumbernya harus betul-betul mengetahui apa yang mereka katakana, sampaikan atau laporkan. Tidak boleh hanya menduga-duga. Kedua, mereka harus mengetahuinya secara pasti dalam arti pernah melihat, menyaksikan, mengalami atau mendengarnya secara langsung tanpa disertai ilusi, distorsi dan semacamnya[17].

Dalam ushul fikih, ada beberapa kemungkinan bentuk dalil sebagai sumber ilmu. Pertama, Qath’iut Tsubut Qath’ud Dilalah (sumber informasinya jelas terpercaya dan maknanya juga terang tidak ada ruang untuk ijtihad atau mengandung ambiguitas). Semua dalil-dalil tentang perkara Ushul (pokok-pokok agama) adalah dari jenis dalil ini. Kedua, Qath’iut Tsubut Danniyud Dilalah (sumber informasinya jelas terpercaya akan tetapi maknanya masih dzanni, mengandung dugaan dan bisa ditafsirkan lebih dari satu makna). Biasanya terkait dengan perkara furu (cabang-cabang agama).

Khabar ahad sifatnya tidak qath’i. namun bisa di amalkan dan tidak bisa digunakan sebagai dalil akidah. Sebab khabar ahad mengandung dzann (dugaan). Imam Al-Syaukani menerangkan, khabar ahad bisa diterima jika sumbernya memenuhi lima syarat. Pertama, sumbernya harus orang mukallaf, yaitu orang yang telah kena kewajiban melaksanakan perintah agama. Kedua, narasumbernya beragama Islam. Orang kafir tidak bisa diterima sumbernya. Ketiga, narasumbernya harus memenuhi ‘adalah’ yaitu memiliki integritas moral. Keempat narasumber diharuskan memiliki kecermatan dan ketelitian (dhabt), tidak sembrono dan asal jadi. Kelima, narasumber harus jujur dan terus terang, tidak menyembunyikan rujukannya[18].

Proses Pengislaman Ilmu

Proses islamisasi itu bukan sekedar memasukkan dalil naqli ke dalam sains, akan tetapi yang diislamkan adalah, basis filosofisnya, metode berpikir, atau konsep yang dianggap menafikan metafisik atau bertentangan dengan konsep-konsep Islam. Di sinilah peran epistemologi sangat mendasar.

menurut Dr. Ugi Suharto – pakar pemikiran Islam alumni ISTAC Malaysia – epistemologi Islam nantinya harus berfungsi mengislamkan ilmu-ilmu kontemporer. Menurut Dr. Ugi, apa yang dikatakan pengislaman di antaranya dewesternization of knowledge. Membuang unsur-unsur Barat yang menyelimuti ilmu-ilmu kontemporer[19].

Membuang unsur-unsur sofisme, rasionalisme, postivisme dalam bangaunan Ilmu pengetahuan sebagai metodologi meraih ilmu. Setelah unsur-unsur tersebut dibuang, maka kita memasukkan prinsip-prinsip epistemologi Islam. Menurut al-Attas, Islamisasi ilmu dengan pengujian kritis terhadap metode-metode sains modern, konsep-konsep, anggapan-anggapan, Teorinya tentang alam semesta; interpretasinya tentang asal-usul Alam; Rasionalitas proses-proses alam, pemikirannya tentang eksistensi dunia nyata, klasifikasinya tentang ilmu; batasan-batasannya dan kaitannya antara satu ilmu dengan ilmu-ilmu lain, dan hubungan sosialnya.

Setelah itu, memasukan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Konsep-konsep dasar Islam itu diantaranya adalah: Konsep din, Konsep manusia (insan), Konsep ilmu (ilm dan ma’rifah), Konsep keadilan (‘adl), Konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dan semua istilah dan konsep yang berhubungan dengan itu semua. Konsep tentang universitas (kulliyah, jami’ah) yang berfungsi sebagai bentuk implementasi semua konsep-konsep itu dan menjadi model sistim pendidikan.

Kesimpulan

Jadi, islamisasi ilmu pengetahuan meniscayakan sebuah konstruk dan prinsip epistemologi Islam sebagai dasarnya. Westernisasi ilmu masuk pada aspek paradigma dan epistemologi. Karena itu, proyek Islamisasi tidak bisa menafikan epistemologi yang berdasarkan pandangan alam Islam. Tanpa itu, proyek akan sia-sia dan ke depannya akan memunculkan masalah paradigmatis. Kegagalan proyek islamisasi dan kesalahfahaman tentang islamisasi disebabkan karena menyederhanakan dengan hanya menambah dalil-dalil Islam. Padahal, yang diislamkan adalah pandangan alamnya yang di dalamnya mengandung epistemologi. Wallahu a’lam.

 

 

 

 

 

 

 


[1] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Progelomena to the Metaphysic of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hal. 114

[2] Syed Muhammad Naquib al-Attas,Progelomena to the Metaphysic of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam, …. Hal. 113 dan 117

[3] Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion,(London-New York: Routledge, 1993), hal. 24

[4] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of  the Future , (London-New York: Mansell Publisihing Limited), hal. 127-129

[5] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution,Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, terj. (Bandung: Rosdakarya, 2005), hal. 141-144

[6] Ugi Suharto,Epistemologi Islam dalam On Islamic Civilization (Laode M Kamaluddin dkk), (Semarang: Unisula-Republikata, 2010), hal. 159-161

[7] Mohammad Muslih,Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,(Yogyakarta: 2008, Belukar), hal. 92

[8] Ibid, hal. 62-6

[9] Syed Muhammad Naquib al-Attas,Progelomena to the Metaphysic of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam, …. Hal. 14

[10] Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Filsafat Sains,(terj), (Bandung: Mizan,1995), hal.35-36

[11] Ugi Suharto,Epistemologi Islam dalam On Islamic Civilization (Laode M Kamaluddin dkk),…hal. 144

 

[12] Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Filsafat Sains,(terj), (Bandung: Mizan,1995), hal.38

 

[13] Muhammad Utsman Najatiy,al-Dirasat al-Nafsaniyah ‘Inda al-Ulamai al-Muslimin,(Kairo: Dar Syuruq, 1993), hal. 252

[14] Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur al- Ifriqi al-Mashri, 2005, Lisan al-‘Arab, (9 jilid), Dar al-Shadir, Cetakan V, Beirut, bab: ‘ayn-qaf-lam.

 

[15] Syamsuddin Arif,Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam dalam Adian Husaini (ed),Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam,(Jakarta: GIP, 2013), hal. 117

[16] Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Filsafat Sains,… hal. 40

[17] Syamsuddin Arif,Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam,… hal. 118

[18] Imam al-Syaukani,Irsyad al-Fuhul,hal. 78-85 sebagaimana dikutip Syamsuddin Arif dalam Prinsip-Prinsip Epsitemologi Islam, hal. 120

[19] Ugi Suharto,Epistemologi Islam dalam On Islamic Civilization (Laode M Kamaluddin dkk),…hal. 163

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *