Hidup Bermartabat dengan Zakat

Agar Tentram

Syariat Islam didesain Allah agar kita hidup bahagia, dunia-akhirat. Zakat adalah salah satu pokok syariat-Nya yang harus kita tegakkan, agar kita bahagia. Sayang, cukup banyak di antara kita yang menganak-tirikan zakat. Artinya, jika dibandingkan dengan pengamalan shalat, perlakuan (sebagian) kita terasa tak adil terhadap zakat. Bukan karena tak berharta, tapi karena lebih mencintai dunia ketimbang Sang Pemilik Dunia.

Padahal, urgensi shalat dan zakat sama pentingnya. Berkali-kali kewajiban untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat disampaikan di Al-Qur’an pada satu ayat yang sama. Misal, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk” (QS Al-Baqarah [2]: 43).

Maka, tak aneh, sekalipun potensi zakat di negeri ini sangat besar –triliunan rupiah-, tapi hal itu tak berpengaruh signifikan terhadap performa umat Islam yang banyak di antaranya terbelit kemiskinan.

Sejatinya, andai penegakan zakat berjalan sesuai aturan-Nya, usaha menyejahterakan masyarakat bukanlah mustahil. Perhatikanlah di era Khalifah Umar bin Khaththab RA. Selama 10 tahun, di berbagai wilayah (provinsi) yang menerapkan Islam, kaum muslimin menikmati kesejahteraan. Buktinya, tidak ditemukan seorang miskinpun yang berhak mendapatkan zakat. Demikian pula, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Semua rakyat pada waktu itu berkecukupan.

Zakat disyariatkan Allah untuk menyejahterakan masyarakat. Zakat bermanfaat dalam meniadakan –atau setidaknya meminimalkan- jumlah orang miskin. Maka, jika zakat tak ditunaikan dengan baik, akan berakibat, pertama, bagi muzakki (pihak yang berkewajiban berzakat). Dia akan jatuh martabatnya di depan sesama manusia. Dia akan dicap sebagai “Si Bakhil” atau “Si Kikir”. Bahkan, bisa pula dilabeli sebagai “Si Pemakan hak/harta orang lain”.

Sementara, di hadapan Allah, tak hanya martabatnya yang hancur tapi siksa pedih telah disiapkan. “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas hartawan Muslim suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seorang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan Muslim. Ingatlah, Allah SWT akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat pedih” (HR Thabrani). “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (QS At-Taubah [9]: 34-35).

Kedua, bagi mustahiq (kelompok yang berhak menerima zakat). Dia tak akan kunjung beranjak dari ‘kelas’ fakir-miskin. Padahal, -misalnya- jika dia menerima zakat dan kemudian atas usaha sendiri atau bantuan ketrampilan dari Badan Amil Zakat, si mustahiq bisa saja menjadikannya sebagai modal usaha yang secara bertahap memungkinkannya untuk mandiri. Jika usaha itu terus ditekuni, maka bukan tak mungkin si mustahiq bisa ‘naik kelas’ menjadi muzakki.

Terkait martabat, di antara muzakki, masih ada yang memilih cara-cara pembagian zakat ke mustahiq yang terkesan sangat merendahkan. Pernah –beberapa tahun lalu- ada pembagian zakat yang berakhir tragis. Kala itu, di salah kota di Jawa Timur, seorang muzakki yang dikenal sangat kaya akan membagikan zakat. Kala itu, ada poster yang ditempel dan tertulis bahwa pembagian zakat dimulai pukul 09.30 WIB sampai pukul 12.00 WIB. Mereka yang datang di luar itu tidak dilayani. Atas info itu, banyak warga yang datang sejak pagi. Oleh karena yang datang sangat banyak, terjadilah desak-desakan. Sejumlah warga terjengkang jatuh dan terinjak-injak. Akibatnya, jatuh korban luka-luka sekitar 10 orang dan –innaa lillaahi wa inaaa ilaihi rooji’uun– lebih dari 20 orang meninggal.

Cara pembagian seperti di atas memerlihatkan bahwa si muzakki terkesan memosisikan diri sebagai pihak yang dibutuhkan. Padahal, dialah sejatinya yang lebih butuh agar zakatnya segera keluar yang dengan demikian akan menjadikannya suci dan tentram. “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS At-Taubah [9]: 103).

Bagi mustahiq, cara pembagian seperti di atas sangat merendahkan martabatnya. Dia berhak atas zakat itu. Semestinya, dia berhak pula menerimanya dengan cara terhormat. Tapi, dengan praktik model seperti yang dikisahkan si atas itu, situasi menjadi berubah seolah-olah dia (atau mereka) adalah pengemis / peminta-minta yang butuh dikasihani. Jelas, ini sangat merendahkan martabat si mustahiq.

Umat Bermartabat

          Ke depan, situasi ini harus segera kita ubah. Pertama, kesadaran berzakat harus ditingkatkan secara signifikan. Lalu, saat menyalurkan zakat, para muzakki disarankan untuk memercayakannya kepada Badan Amil Zakat yang mereka percayai. Dengan cara ini, diharapkan penyaluran zakat akan lebih lebih terencana dalam usaha turut membangun ekonomi umat.

Sungguh, dengan zakat, muzakki dan mustahiq sama-sama akan hidup bermartabat. Jadi, ayo, bersegera berzakat dan jadilah manusia yang bermartabat karenanya! []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *