Potensi Itu
Pada 2010, potensi zakat di Indonesia diungkapkan Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Didin Hafidudin. Bahwa berdasarkan kajian Asian Development Bank (ADB) potensi zakat di Indonesia mencapai Rp100 triliun (www.republika.co.id 12/8/2010).
Bagaimana di 2011? Wakil Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Naharus Surur, mengatakan potensi zakat di Indonesia sangat luar biasa. Hal ini dia katakan saat memberi sambutan pada Pelatihan Da’i Baznas-MUI, 21/7/2011, di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta. “Potensi zakat di Indonesia bisa menandingi APBN,” jelas Naharus Surur.
Dia menjelaskan, berdasarkan hasil riset Islamic Development Bank (IDB) pada 2010 disebutkan potensi zakat di Indonesia mencapai Rp. 100 triliun. Sementara di 2011, jumlahnya semakin meningkat, potensi zakat mencapai Rp. 217 triliun, dengan perincian Rp. 117 triliun dari rumah tangga dan Rp. 100 triliun dari perusahaan-perusahaan milik Muslim (www.hidayatullah.com 21/7/2011).
Lalu, bagaimana potensi zakat dunia? “Fantastis, Potensi Zakat Dunia Rp 6.000 Triliun” (www.republika.co.id 19/7/2011). Dikabarkan, bahwa potensi zakat dunia mencapai Rp6.000 triliun. Potensi sebesar itu didasarkan dari hitungan potensi zakat dari masing-masing negara Muslim yang tersebar di seluruh dunia.
Angka potensi zakat itu –level nasional ataupun dunia- jelas luar biasa. Bila potensi tersebut dapat dikembangkan secara optimal, maka zakat diyakini dapat mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi dunia Islam seperti tingginya angka pengangguran, kebodohan, dan kemiskinan. Tapi, faktanya, sampai kini masih banyak negara Muslim yang menghadapi masalah tersebut yaitu pengangguran, kebodohan, dan kemiskinan.
Lalu, ingatlah kita dengan suruhan Allah, Tuhan yang Maha Kaya ini: “Dan, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, serta taatlah kepada Rasul supaya kamu diberi rahmat” (QS An-Nuur [24]: 56).
Memerhatikan ayat di atas, maka terlihat bahwa posisi zakat setara dengan shalat. Bahwa dalam kesigapan mengamalkan zakat seharusnya sama dengan saat kita bersungguh-sungguh menegakkan shalat. Mestinya segenap kaum beriman bersegera untuk menunaikan zakat persis sama dengan saat mereka mendengar muadzin berseru “hayya alash-shalah” (marilah shalat).
Zakat didesain untuk turut memerkukuh “bangunan masyarakat Islam”, sehingga sangat bisa kita mengerti jika Rasulullah SAW sangat serius mengurus masalah zakat. Kitapun mudah memahami jika Abu Bakar RA –Khalifah pertama- sangat ketat (untuk tak menyebut keras) saat menangani masalah zakat.
Maka, akan terus relevan jika kita tiada henti menelaah ilmu-ilmu di seputar zakat. Kita sangat ingin bahwa praktik kita dalam berzakat bisa turut memercepat terwujudnya kejayaan Islam dan umatnya sebagaimana dulu di zaman awal Islam pernah terjadi. Dan, sebaliknya, apa yang pernah secara getir ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha lebih dari seabad lalu menjadi tak berlaku lagi.
‘Nasib’ Zakat
Kita renungkan sebentar tentang ‘perlakuan’ umat Islam terhadap zakat dan akibat yang ditimbulkannya, lewat kesaksian ulama terkemuka Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar Jilid 20. Cendekiawan Muslim dari Universiras Al-Azhar Mesir itu, memberikan analisis yang menarik:
“Islam mempunyai kelebihan atas seluruh agama-agama dan syariat-syariat yang ada, dengan adanya kewajiban yaitu kewajiban zakat, seperti yang diakui oleh para cerdik-pandai pada seluruh bangsa-bangsa di dunia ini. Jika seandainya kaum Muslimin melaksanakan kewajiban zakat sebagai rukun agama, tentu di kalangan mereka tidak akan ditemukan lagi orang-orang yang hidupnya sengsara, padahal Allah memberikan kepada mereka rizki yang berlimpah-limpah, akan tetapi kebanyakan mereka melalaikan kewajiban ini. Mereka mengkhianati agama dan umatnya, akibatnya nasib mereka sekarang ini lebih buruk dalam kehidupan ekonomi dan politiknya dari seluruh bangsa-bangsa lain di dunia ini (Yusuf Qardawi, 1993: 1122). Kesaksian yang ditulis lebih dari seabad lalu itu ternyata masih kita alami sekarang ini.
Padahal –sekali lagi- berdasarkan QS An-Nuur [24]: 56 yang telah dikutip di atas, tampak bahwa posisi shalat setara dengan zakat. Dengan demikian, sikap kita harus sama yaitu bersungguh-sungguh dalam menunaikan zakat sebagaimana kita bersungguh-sungguh pula saat menegakkan shalat. Kita harus bersegera menunaikan zakat sebagaimana kita bersegera menegakkan shalat kala mendengar muadzin berseru “hayya alash-shalah” (marilah shalat).
Sayang, fakta tentang pengamalan zakat belum menggembirakan. Meski potensinya besar, tetapi zakat yang terealisasi di Indonesia hanya Rp. 1,2 triliun. Artinya, kesadaran umat untuk berzakat masih tergolong rendah (www.hidayatullah.com 21/7/2011).
Jika zakat yang tergali tak sampai 1%, maka –rasanya- wajah keberislaman kita belum ‘cerah’. Artinya, sebagian (besar?) dari kita tak cukup taat mengamalkan perintah berzakat. Maka, dalam konteks ini Muhammad Rasyid Ridha benar saat menulis: “Jika seandainya kaum Muslimin melaksanakan kewajiban zakat sebagai rukun agama, tentu di kalangan mereka tidak akan ditemukan lagi orang-orang yang hidupnya sengsara, padahal Allah memberikan kepada mereka rizki yang berlimpah-limpah, akan tetapi kebanyakan mereka melalaikan kewajiban ini”.
Agar Cerah
Ayo bekerja keras dan tetap jujur, sehingga kita bisa mendapat rizki yang banyak dan halal. Setelah berstatus muzakki, mari segera kita tunaikan zakat. Semoga, dengan bergegas membereskan kewajiban berzakat, kita akan segera merasakan berbagai janji Allah tentang pelipat-gandaan balasan-Nya. InsyaAllah, balasan Allah yang membuat kita bahagia akan datang secara cepat. Dan, wajah kitapun –muzakki dan mustahik- insyaAllah akan sama-sama cerah. []