Menjaga Martabat Penerima Zakat

Oleh M. Anwar Djaelani

 

Menjaga Martabat Penerima ZakatKasus ‘Zakat Maut’ di Pasuruan belum memberikan pelajaran kepada (sebagian) muzakki. Buktinya, masih ada muzakki yang membagikan zakat secara langsung kepada mustahik secara tidak patut. Misal, mustahik itu terlibat dalam antrean sangat panjang berjam-jam dan sebagian pingsan karenanya.

 

Siapa Merendahkan

Sejauh ini memang belum ada laporan terjadinya kasus fatal seperti yang terjadi di Pasuruan pada 2008. Kala itu, yang datang sangat banyak. Terjadilah desak-desakan, lalu sejumlah orang terjengkang dan terinjak-injak. Jatuhlah korban, 21 orang meninggal dan 12 orang luka-luka. Kasus itu mestinya menjadi pelajaran serius.

Sayang, praktik pembagian zakat yang mirip kasus Pasuruan masih terus diulang. Lihatlah, di Jogjakarta! Pada 04/08/2013 sekitar 5.000 warga memadati rumah Probosutedjo untuk mengambil zakat. Mereka yang berasal dari Jogjakarta, Klaten, Magelang, hingga Purworejo itu bahkan ada yang datang sejak pukul 05.00. Padahal, pembagian zakat senilai Rp 100 ribu per orang tersebut baru dilakukan 11 jam kemudian, yakni sekitar pukul 16.00. Tak terelakkan, belasan orang pingsan.

Di Malang, di hari yang sama sekitar tiga ribu warga berdesak-desakan mengantre zakat yang diberikan seorang pezakat. Akibatnya, beberapa lansia maupun balita harus dievakuasi oleh petugas. Warga sudah mengantre sejak pukul 11.00. Padahal, zakat senilai Rp 40 ribu baru dibagikan sekitar pukul 14.00.

Si muzakki mengatakan, dia sengaja membagikan zakat langsung kepada masyarakat daripada harus melalui Lembaga Amil Zakat. “Saya khawatir tidak sampai ke sasaran. Lebih baik begini, tetangga kanan-kiri bisa dapat dan diantar langsung ke yang berhak menerima,” kata si pezakat (Jawa Pos dan jpnn.com 05/08/2013).

Jika melihat praktik pembagian zakat seperti pada dua contoh di atas, maka sungguh hal itu terasa sangat merendahkan martabat si mustahik. Pada contoh di atas, mustahik terkesan sebagai pihak yang membutuhkan. Padahal, yang benar, justru si muzakki-lah yang membutuhkan. Dia butuh mengeluarkan zakat untuk membersihkan, mensucikan, dan menentramkan dirinya.Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka” (QS At-Taubah [9]: 103).

Ayat di atas memberikan pesan, pertama, harus ada pihak yang aktif mengambili zakat dari muzakki dan pihak ini biasa kita sebut sebagai amil zakat. Kedua, zakat itu bertujuan untuk “membersihkan, mensucikan, dan menentramkan” para muzakki.

Sungguh, segera tunaikan zakat dan dengan cara yang patut. Jika zakat tak ditunaikan dengan baik akan berakibat, pertama, bagi muzakki. Dia akan jatuh martabatnya di depan sesama manusia. Dia akan dicap sebagai “Si Bakhil” atau “Si Kikir”. Bahkan, bisa pula dilabeli sebagai “Si Pemakan hak atau harta orang lain”. Sementara, di hadapan Allah, tak hanya martabatnya yang hancur tapi siksa pedih telah disiapkan.

Kedua, bagi mustahik. Dia tak akan kunjung beranjak dari ‘kelas’ fakir-miskin. Padahal, -misalnya- jika dia menerima zakat dan kemudian atas usaha sendiri atau bantuan ketrampilan dari Badan/Lembaga Amil Zakat, si mustahik bisa saja menjadikannya sebagai modal usaha yang secara bertahap memungkinkannya untuk mandiri. Jika usaha itu terus ditekuni, maka bukan tak mungkin si mustahik bisa ‘naik kelas’ menjadi muzakki.

Terkait martabat, seperti pada dua contoh kasus di atas, masih ada muzakki yang memilih cara-cara pembagian zakat ke mustahik yang terkesan sangat merendahkan. Hal ini terjadi karena muzakki membagikan zakat secara tidak patut.

Bagi mustahik, cara pembagian seperti di atas sangat merendahkan martabatnya. Ketahuilah, mustahikitu berhak atas zakat. Semestinya, dia berhak pula menerimanya dengan cara yang terhormat. Tapi, dengan praktik seperti yang dikisahkan pada dua contoh di atas, situasi menjadi berubah seolah-olah si mustahik adalah pengemis atau peminta-minta yang butuh dikasihani. Jelas, ini sangat merendahkan martabat si mustahik.

Mungkin saja si muzakki pada dua contoh di atas sengaja memertontonkan amal shalih-nya kepada orang lain (bahkan mungkin ada yang sampai mengundang media cetak atau elektronik untuk sebuah ‘pemberitaan yang baik’). Tapi, cara itu tak elok. Sungguh, akan sangat lebih baik jika saat kita membayar zakat -dalam jumlah berapapun- kita rahasiakan. Kecuali itu, penyerahan zakatpun sebaiknya dilewatkan melalui amil zakat. Amil zakat yang dimaksud bisa Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat.

Ketahuilah, zakat adalah sebuah kewajiban yang utama. Bahkan, posisinya atau urgensinya setara shalat.Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, (QS An-Nuur [24]: 56).Seharusnya, kesigapan kita dalam mengamalkan zakat sama dengan saat kita bersungguh-sungguh menegakkan shalat. Mestinya kebersegeraan kita untuk menunaikan zakat persis sama dengan saat kita mendengar muadzin berseru “hayya alash-shalah”  (marilah shalat).

Zakat didesain untuk turut memerkukuh “bangunan masyarakat Islam”, sehingga sangat bisa kita mengerti jika Rasulullah SAW sangat serius mengurus masalah zakat. Kitapun mudah memahami jika Abu Bakar RA –Khalifah pertama- sangat ketat (untuk tak menyebut keras) saat menangani masalah zakat.

 

Mulia Bersama

Situasi ‘perzakatan’kita tergolong masih kelabu. Kecuali masalah (sebagian) pendistribusian zakat yang cenderung merendahkan mustahik, problem lain adalah potensi zakat yang baru tergali sekitar 1% saja. Padahal pada 2011, potensi zakat nasional mencapai Rp 217 triliun (www.hidayatullah.com 05/08/2013).

Oleh karena itu, pertama, kesadaran berzakat harus terus ditingkatkan secara signifikan. Kedua, saat menyalurkan zakat, para muzakki disarankan untuk memercayakannya kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat sebab mereka punya program yang telah terencana secara baik. InsyaAllah, dengan cara itu, muzakki dan mustahik akan sama-sama hidup mulia. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *