Oleh : Hasan Bisri BFC
inpasonline.com – Mendekati peringatan Hari Kemerdekaan, jelang 17 Agustus 2024, sebagian warga Indonesia kehilangan kemerdekaannya. Ya, pasalnya, 18 pasukan Paskibraka muslimah diharuskan lepas jilbab saat pengukuhan. Hebohlah masyarakat. Bisa dimaklumi mengingat sejak 2002, pasukan Paskibraka sudah diperbolehkan mengenakan identitas muslimah itu. Banyak komentar, bahkan protes di media sosial, yang intinya mempertanyakan dan menyesalkan terbitnya kebijakan yang tidak mempertimbangkan keyakinan yang dianut pasukan dari perwakilan berbagai provinsi tersebut.
Komentar dan protes itu datang dari orangtua pasukan, tokoh ormas, Ketua Majelis Ulama Indonesia, bahkan tak sedikit dari warganet. Komentar yang menarik datang dari Irwan Indra. Wakil Sekretaris Jenderal Purna Paskibraka ( PPI ) sejak 2016 itu, mengatakan, “Sejak 2016, kami sudah mulai memikirkan betul soal penghargaan terhadap keyakinan masing-masing anggota Paskibraka,” ujarnya seperti dikutip harian Republika (Rabu, 14 Agustus 2024 ). Lebih lanjut dia menegaskan, “Kami sudah mulai melakukan penjagaan terhadap adik-adik dari hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan mereka.” Pasukan Paskibraka pada 2001 sebagai wakil dari Sumatera Utara itu mencontohkan dihapuskannya tradisi mandi kembang dan membalik celana dalam yang terkesan konyol.
Lalu mengapa justru di tahun 2024 malah keyakinan pasukan itu direndahkan dan diremehkan? Rupanya prosesnya tidak ujug-ujug. Pasalnya, sejak 2022, ketika pembinaannya di bawah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) apa yang diupayakan PPI (pembinaannya di bawah Kemenpora), seperti rok boleh dipanjangkan dan mengenakan legging, mulai dipersoalkan.
Lagi-lagi Yudian Wahyudi
Di balik hebohnya larangan berjilbab bagi pasukan Paskibraka di Istana Garuda Ibu Kota Negara (IKN), Kalimantan Timur itu, ada sosok yang selama ini sudah dikenal sebagai pribadi kontroversial. Sosok tersebut adalah Yudian Wahyudi, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Hal itu diketahui setelah adanya banyak desakan dari warganet, tokoh-tokoh ormas, alim ulama, dan juga pengurus PPI-PPI Daerah maupun Pusat agar yang berwenang memberikan penjelasan mengapa mengeluarkan kebijakan tidak populer tersebut dan meminta maaf kepada masyarakat atau umat Islam.
“BPIP menyampaikan terima kasih atas peran media memberitakan Paskibraka selama ini. BPIP juga menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia atas pemberitaan yang berkembang. BPIP mengapresiasi seluruh aspirasi masyarakat yang berkembang tersebut,” ujar Yudian (dilansir siaran pers BPIP pada Selasa, 13 Agustus).
Meski Yudian mengatakan bahwa BPIP tidak melakukan pemaksaan lepas jilbab, namun banyak yang meyakini, jika tidak melepaskan jilbab, mereka akan memperoleh sanksi. Misalnya, hanya masuk di bangku cadangan. Buat apa capek-capek latihan dan jauh-jauh ke IKN, kalau hanya duduk di bangku cadangan?
Andai toh benar tidak ada pemaksaan-meski secara halus atau implisit-tentu masih ada perwakilan yang tetap tampil menutup rapat auratnya. Bukankah mereka ada yang berasal dari Aceh yang selama ini menerapkan syariat Islam? Bukankah ada pula yang sejak SD sudah mengenakan jilbab? Bahkan ada PPI Daerah dan juga orangtua pasukan yang mengancam akan menarik perwakilan/ anaknya untuk pulang. Lebih menyedihkan lagi, ada yang terpukul melihat anaknya tidak memakai jilbab saat pengukuhan oleh Joko Widodo, Presiden Indonesia, di Istana Garuda IKN. “Kami terpukul, bagaimana kami sebagai orangtua mencoba menanamkan pondasi, dasar agama untuk anak-anak kami,” ujar Gatot. Namun, ia masih bertanya-tanya setelah melihat rilis video permintaan maaf dari BPIP. “Jadi kami bingung lagi. Ini berarti dianggap main-main itu jilbab. Ini kan syariat kita, umat Islam.”
Manusia Kontroversial
Prof. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D., mulai dikenal luas oleh muslim Indonesia (khususnya warganet), ketika di kampusnya, UIN Sunan Kalijaga ada ujian disertasi dengan promovendus Abdul Aziz. Disertasi berjudul “Konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital” mencolek nama Yudian karena dia adalah rektornya.
Apa itu milku al-yamin? Adalah konsep yang disampaikan Muhammad Syahrur, ilmuwan Syria yang sudah lama menetap di Rusia. Menurutnya, tidak hanya budak (perempuan) yang boleh dikawini, namun juga bagi mereka yang terikat kontrak dalam hubungan seksual.
Bagi Syahrur, hubungan seksual nonmarital diperbolehkan asal tidak dilakukan dengan zIna. Lo, kok bisa begitu? Menurutnya, yang dimaksud zina adalah hubungan seksual yang dipertontonkan di depan publik.
Pemikiran ini tentu berbeda dengan penafsiran fuqaha jaman dulu, bahwa ayat milku al-yamin adalah wewenang penuh pemilik jariyah (budak perempuan) untuk mengawininya, namun harus berlaku adil. Dalam konteks kekinian dan kedisinian sebenarnya sudah tidak berlaku lagi. Apalagi tambahan penafsiran dari Agus Najib sebagai penguji disertasi. Menurutnya, kelemahan pemikiran Syahrur karena hanya budak perempuan saja yang boleh dikawini (berhubungan seks) padahal itu berlaku juga bagi budak laki-laki.
Bagaimanapun jika diksi zina dimaknai sebagai hubungan seksual di depan publik, maka sudah menyalahi konsep Islam secara umum.
Yudian sendiri menyikapinya dengan bijaksana. “Konsep milku al-yamin ala Syahrur ini tidak mungkin diterapkan di Indonesia apabila tidak mendapatkan legitimasi dari ulama, MUI dan persetujuan DPR.” Meski menyikapinya dengan bijaksana, jabatannya sebagai rektor terkena imbasnya.
Bukan kali ini saja Yudian Wahyudi, viral di jagat nyata dan maya . Dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga lulusan McGill University, Kanada, tersebut sudah beberapa kali viral karena bersikap kontroversial. Pernah dihujat karena ingin mengganti ucapan “assalamu’alaikum” dengan “salam Pancasila”. Pernyataan ini pula yang memicu masyarakat mendesaknya untuk mundur dari BPIP. Bahkan, lebih jauh lagi gara-gara pernyataan pria kelahiran Balikpapan, 17 April 1960 itu, ada yang meminta BPIP sebaiknya dibubarkan.
Pernyataan kontroversial lain dari alumnus ponpes Tremas dan Krapyak Yogyakarta ini, bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila. Baginya, Pancasila sudah final, oleh karena itu apabila akan digantikan dengan ideologi lain (agama) maka tidak bisa. Namun, pernyataan ini menurutnya tidak benar. “Itu kesalahan detik.com yang memotong wawancara saya,” kilah ayah satu anak ini, kemudian.
Islamophobia dan Krocojiwa
Dari beberapa kasus di atas, tampaknya ada yang patut dipertanyakan kepada Rektor UIN Sunan Kalijaga ini. Ketika ada keinginan mengganti ucapan “assalamu’alaikum” dengan “salam Pancasila”, apakah dia sedang terjangkit penyakit mental Islamophobia? Yakni ketakutan yang luar biasa terhadap (ajaran) Islam? Kalau benar, sungguh sangat disayangkan ketika di seantero dunia sedang menggaungkan perlawanan (perang) terhadap Islamophobia ia justru mengidap phobia terhadap Islam. Sebagai muslim, terlebih alumnus dua pesantren ternama, juga pejabat publik yang membawahi institusi besar dalam pendidikan keagamaan, justru menggaungkan ketidaksenangan bahkan kebencian terhadap Islam.
Sementara itu, pembiarannya terhadap kajian dan ujian disertasi yang bertema hubungan seksual nonmarital, sebuah tabu tak hanya oleh agama, melainkan juga norma-norma sosial, sebagai gangguan mental krocojiwa(rendah diri / minder). Pun, ketika membuat peraturan Pasukan Paskibraka muslimah yang berjilbab harus dicopot jilbabnya, adalah gangguan mental serupa. Sungguh ironi, ketika Islam dan muslim mempersepsikan jilbab sebagai simbol kehormatan (izzah) muslimah, justru akan diruntuhkan oleh muslim yang notabene berpangkat tinggi. Sungguh ironis, ketika menjadi bagian penting dari rangkaian perayaan Hari Kemerdekaan, justru kemerdekaan menaati perintah Allah dari pasukan Paskibraka malah direnggut.
Berharap Pulang ke Sarang
Manusia terlahir fitrah. Ia, nalurinya selalu mencari kebenaran dan kebaikan. Jalan yang lurus. Hanif. Terlebih apabila sejak kecil atau muda sudah dibangun pondasi tauhid yang kokoh pada dirinya. Begitupun Yudian Wahyudi. Kecenderungan itu terlihat saat mengomentari implementasi dari konsep milku al-yamin dalam konteks keindonesiaan. Apalagi, anak tunggalnya adalah perempuan. Tentulah ia tidak rela membiarkan hubungan seksual nonmarital, semisal menimpa putrinya
Begitupun ketika melakukan tabayyun (klarifikasi) tentang pernyataan bahwa agama adalah musuh besar Pancasila. Dia bersikukuh bahwa yang dimaksud bukanlah begitu. Karena ulah wartawan yang mengedit hasil wawancara itulah, kehebohan terjadi dan namanya kembali viral.
Berkaca dari dua kasus di atas, bukanlah hal yang sulit bagi Yudian untuk kembali ke jalan yang lurus. Apalagi jika sudah tidak memiliki jabatan politis lagi. Tarik-menarik kepentingan sudah tidak mengganggunya lagi. Insya Allah. Ibarat peribahasa, setinggi-tinggi burung terbang, ia akan kembali ke sarangnya.
Lembaga Politik itu Politis
Beberapa kali viral karena pemikiran, pernyataan dan/atau sikapnya yang kontroversial, tak seluruhnya bisa ditimpakan kesalahannya pada Yudian Wahyudi. Sebagai Kepala BPIP, bagaimanapun ia tidak bisa secara independen ketika bersikap atau mengeluarkan pernyataan. BPIP itu lembaga politik. Itu tak bisa dielaki. Oleh karena itu jabatannya juga jabatan politis. Bahkan ada yang suudzan bahwa BPIP sebenarnya lembaga untuk melemahkan akidah muslim. Karena jabatan politis, sebagai kepala maka sikap dan pernyataan Yudian akan mencerminkan keinginan dan harapan pendiri lembaga tersebut. Tak heran, selama ia memimpin lembaga tersebut sampai akhir masa jabatannya, bukan tidak mungkin akan muncul sikap dan pernyataan kontroversialnya lagi.
Juga, saat dulu sebagai rektor yang institusinya adalah milik negara, maka sikap dan pernyataannya juga politis ketika sudah menyerempet perkara kebangsaan. Bagaimanapun ia harus selaras dengan kebijakan dan aturan-aturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Jika melanggar akan dikenai sanksi. Jangan heran seandainya muncul sikap dan pernyataan kontroversial sebagai pejabat tertinggi di kampusnya.
Namun demikian, Yudian adalah santri, bahkan dari dua ponpes yang bagus dan kondang. Harapan untuk kembali ke “jalan lurus” masih sangat dimungkinkan.
Babatan Pilang, Wiyung – Surabaya, 14-15 Agustus 2024