Oleh : M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sebelas judul lainnya
inpasonline.com – Astaghfirullah! Di negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini, pada 14 Agustus 2024 mencuat kabar: “18 Anggota Paskibraka Lepas Hijab saat Dikukuhkan Presiden Jokowi”.
Ramailah masyarakat menyoal (untuk tak menyebut mengecam) pihak yang membuat geger itu. Mereka manfaatkan media sosial dengan sebaik-baiknya. Mereka, antara lain seperti orangtua anggota paskibraka, mantan paskibraka, dan ulama menyampaikan protes keras. Tentu, semua disertai argumentasi yang kuat.
Vokal Argumentatif
”Kiai Cholil: BPIP Langgar Konstitusi dan ‘Sunat’ Aturan Bolehnya Hijab Paskibraka”. Pada berita 14/08/2024 tersebut, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah itu mengecam Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang melarang penggunaan jilbab bagi paskibraka.
Kiai Cholil menyebut larangan tersebut membuat BPIP tidak Pancasilais dan melanggar konstitusi. BPIP juga dianggap telah melanggar aturannya sendiri dalam pelarangan penggunaan jilbab bagi Paskibraka.
”Lakukan Kesalahan Besar dan Melukai Umat Islam, Kiai Wafi: Bubarkan BPIP!” Pada berita 15/08/2024 tersebut, Kiai Wafi mendorong pemerintah agar pembinaan Paskibraka sebaiknya dikembalikan kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) RI seperti sebelumnya. Pasalnya, selama berada dalam naungan Kemenpora, tidak pernah ada kontroversi terkait Paskibraka putri. “Daripada di bawah BPIP yang sarat polemik,” tegas putra ulama kharismatis (Allahuyarham) Kiai Maimoen Zubair itu.
”Tafsir Pancasila BPIP Membahayakan Pancasila dan NKRI, Mohon Peraturan Seragam Paskibraka Segera Direvisi”. Demikian, Dr. Adian Husaini menulis pada 14/08/024. “Sungguh satu kejahatan besar, memaksa para pelajar yang baik itu untuk melaksanakan suatu tindakan yang bertentangan dengan keyakinan agamanya,” tegas Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia itu.
Tugas Pewaris
Kapanpun kita memerlukan kehadiran ulama di dekat kita. Sebagai pewaris Nabi, posisinya sangat strategis. Lihatlah, sebagai pewaris Nabi, ulama tentu punya amanat untuk melanjutkan perjuangan para Nabi.
Apa amanat utama para Nabi? Perhatikan ayat-ayat ini: “Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan (QS Al-Baqarah [2]: 213). Tampak, tugas Nabi adalah pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.
Berkaca Sejarah
Di masyarakat, suka atau tidak suka, pemimpin kerap berwujud sebagai penguasa. Lalu, hal yang sering menjadi masalah adalah fakta bahwa pemimpin atau penguasa itu manusia biasa yang tak lepas dari sifatnya yang lemah yaitu bisa salah.
Adakah pemimpin atau penguasa yang salah? Ada, bahkan banyak! Lihatlah, deretan mereka yang tak amanah karena lebih mendahulukan kepentingan diri sendiri, keluarga, kerabat dan golongannya.
Lihatlah, barisan mereka yang tak amanah karena sewenang-wenang. Pendek kata, perhatikanlah pemimpin atau penguasa yang berperilaku di luar batas. Mereka zalim.
Pemimpin atau penguasa yang beperforma tak amanah, yang zalim, di sepanjang sejarah selalu ada. Sekadar menyebut dua nama yang mudah diingat adalah Namrudz dan Fir’aun.
Nabi Ibrahin As gagah mengingatkan Namrudz. Nabi Musa As tak gentar mengingatkan Fir’aun. Sungguh, Nabi Ibrahim As dan Nabi Musa As telah dengan sabar menunaikan tugasnya sebagai pemberi peringatan meski resiko untuk itu tidak kecil.
Atas dakwahnya ke penguasa, Ibrahim As dibakar (tapi Allah menyelamatkannya). Atas dakwahnya ke penguasa, Musa As dikejar-kejar sampai terpojok (namun Allah menyelamatkannya).
Nabi Muhammad Saw tetap kukuh saat berhadapan dengan pemuka-pemuka Quraisy yang kafir di Mekkah. Suatu ketika, para pemuka Quraisy itu “mengajak damai”. Tapi, Nabi Saw punya sikap yang jelas, patuh kepada Allah dalam urusan apapun.
Berilah ingat dan jika perlu debatlah! Siapa yang perlu diberi ingat? Semua, dari kalangan masyarakat biasa sampai penguasa.
Semua harus berdakwah. Dalam berdakwah, ada sejumlah model pendekatan. Adapun pilihan cara tergantung situasi dan kondisi yang ada. Renungkanlah QS An-Nahl [16]: 125. Bahwa, dalam hal berdakwah, silakan disampaikan secara hikmah. Boleh juga dengan cara memberi nasihat atau pelajaran yang baik. Pun, bisa dengan debat.
Kesemua pilihan dakwah itu harus dilakukan dengan santun. Bahkan, terhadap pemimpin atau penguasa yang zalim, kita juga harus tetap santun. Teladanilah Nabi Musa As dan Nabi Harun As saat mendakwahi Fir’aun yang zalim.
Lihatlah, Allah meminta Nabi Musa As dan Nabi Harun As bersikap lemah-lembut: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS Thaha [20]: 44).
Teladan para Nabi
Dakwah Nabi Saw tertuju kepada semua lapisan masyarakat termasuk penguasa. Dakwah Nabi Saw kepada penguasa bisa langsung, tapi dapat pula dilakukan dengan perantaraan surat yang dibawa oleh utusan.
Kepada Heraklius di Romawi Timur, Nabi Saw mengirim utusan, mengajaknya masuk Islam. Surat yang dibawa sang utusan dibalas dengan baik sekali oleh Heraklius. Sedemikian baiknya, beberapa ahli sejarah salah menduga, dikira Heraklius telah masuk Islam.
Nabi Saw juga mengirim utusan ke Muqauqis, pembesar Kopti di Mesir. Jawaban dia lebih indah dari yang ditulis oleh Heraklius. Intinya, Muqauqis memang percaya bahwa seorang Nabi akan datang.
Ajakan Nabi Saw pun ditujukan kepada Ratu Kisra, penguasa Persia, agar masuk Islam. Untuk itu Nabi Muhammad Saw mengirim surat yang dibawa seorang utusan.
Begitu surat Muhammad Saw yang mengajaknya kepada Islam dibacakan, Ratu Kisra murka sekali. Surat itu disobeknya. Setelah sikap Ratu Kisra yang merobek-robek surat itu disampaikan kepada Nabi Saw, maka berkata-lah beliau Saw: “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya.” Doa Nabi Saw itu, terkabul (Haekal, 2006: 434-436).
Tak Hendak Diam
Sebagai pewaris Nabi, para ulama sejak dulu dan hingga kini telah berusaha mengikuti jejak sang Uswatun Hasanah. Mereka telah menyeru umat agar beriman kepada Allah, aktif bernahi munkar dan giat beramar makruf.
Mereka, para ulama, telah berusaha menegakkan ayat ini: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS Ali ‘Imraan [110]: 110).
Sebagai ulama, mereka telah berjuang memberantas kezaliman yang sering dikomando oleh penguasa yang tak amanah. Para ulama tak ragu memberantasnya karena perbuatan zalim adalah sesuatu yang sangat dilarang. Perhatikan Hadits Qudsi ini: Sesungguhnya Allah telah berfirman: “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan berlaku zalim atas diri-Ku dan Aku menjadikannya di antaramu haram. Maka, janganlah kamu saling menzalimi” (HQR Muslim).
Ulama telah berusaha meluruskan orang-orang dan terutama penguasa yang perbuatannya malah mendatangkan bahaya dan merugikan masyarakat. Ulama sudah berupaya memenuhi perintah agar kita tak mendatangkan bahaya dan kerugian bagi sesama. Perhatikan petunjuk Nabi Saw ini: “Janganlah engkau membahayakan dan saling merugikan” (HR Ibnu Majah dan Daraquthni).
Berposisi sebagai ulama, menjadikan mereka aktif membantu kesulitan sesama Muslim. Mereka paham betul dengan hadits ini: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di akhirat” (HR Muslim).
Aktivitas nahi munkar dan amar makruf butuh perjuangan panjang. Tak hanya itu, juga memerlukan pengorbanan yang tak sedikit. Pengorbanan yang dimaksud meliputi banyak hal termasuk dana, tenaga, bahkan nyawa.
Di sepanjang sejarah, memang, akan selalu berhadap-hadapan antara yang haq dengan yang bathil. Pihak yang bathil, terutama jika sedang di posisi sebagai penguasa yang tak amanah, banyak yang cenderung menolak ajakan untuk kembali ke jalan yang benar. Bahkan, tak hanya itu, mereka bisa pula berbuat semena-mena dengan menyakiti psikis dan fisik para ulama. Ada yang oleh penguasa ulama dipersulit hidupnya, diburu, dipenjarakan, atau dibunuh. Dengan cara itu, para penguasa yang zalim tersebut berharap “tak diganggu” lagi oleh dakwah ulama.
Ulama telah berjuang, sudah berjihad. Mereka memosisikan diri sebagai ulama yang kritis. Mereka tak hendak diam jika melihat kemunkaran terlebih jika itu dilakukan oleh penguasa. Hal ini, karena apa yang dikerjakan penguasa cenderung mempengaruhi masyarakat yang dipimpinnya.
Ulama yang kritis dan berani mengoreksi bahkan berani berkata “Tidak!” di depan penguasa zalim, tak sedikit yang diperlakukan tidak semestinya. Mereka, misalnya, dikejar-kejar (sebagai pelarian), dipenjara, bahkan dibunuh. Itulah resiko perjuangan. Hayatilah ayat ini: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar” (QS Ali ‘Imraan [3]: 142).
Lihatlah: “Salamah bin Dinar Tegar Hadapi Penguasa”. Juga, “Imam Nawawi Berani Berkata ‘Tidak!’ di Depan Penguasa”. Pun, “Sufyan Ats-Tsauri Wafat dalam Posisi sebagai Pelarian”.
Rasakanlah: “Hamka Ulama Lembut tapi Tegas”. Juga, “Yunan Nasution Pendakwah dan Penulis yang Dua Kali Dipenjara”. Pun, “Natsir Pemimpin dan Penulis Berpengaruh”.
Contoh Bagus
Alhasil, jadilah ulama ideal yang selalu berposisi sebagai ”Pembawa kabar gembira” sekaligus “Sang pemberi ingat”. Itu hanya akan terjadi jika sang ulama selalu bersikap kritis di kesehariannya. Maka, setidaknya di sekitar masalah ”Tragedi Jilbab Paskibraka” di jelang 17 Agustus 2024 ini, jadilah seperti KH Cholil, Kiai Wafi, dan Dr. Adian Husaini. []