Oleh Mahmud Budi Setiawan, Lc (Alumni PKU Gontor VIII, Pegiat Literasi Pusaka Peradaban, Guru Tadabbur Al-Qur’an ATQA Jakarta)
Aki Sidik bersama Istri (Nyi Engat)
inpasonline.com – Di sebuah desa kecil bernama Ciujah, Sumedang, lahirlah seorang anak yang kelak menjadi sosok inspiratif bagi banyak orang. Dialah Haji Mohammad Sidik, yang lebih akrab disapa Aki Sidik. Ia lahir pada 11 November 1878.
Ayahnya bernama Haji Ahmad. Aki Sidik adalah anak bungsu dari delapan bersaudara. Seiring berjalannya waktu, hanya ia yang masih hidup hingga usia senja.
Sejak kecil, Aki Sidik sudah menunjukkan kecerdasan dan ketekunan dalam belajar. Ia belajar mengaji dengan tekun, bahkan menjadi guru mengaji bagi anak-anak di desanya. Selain itu, ia juga mampu membaca dan menulis huruf Latin, sebuah keterampilan yang cukup langka di kalangan masyarakat desa pada masa itu.
Masa kecilnya dilalui secara sederhana, seperti menggembala kerbau di sawah. Namun, kecintaannya terhadap ilmu agama membawanya menjadi seorang pengajar. Berkat didikan ayahnya, ia aktif mengajar anak-anak di kampungnya. Keahliannya dalam ilmu agama membuatnya dihormati oleh masyarakat sekitar. Namun, kehidupan Aki Sidik tidak selalu berjalan mulus.
Tinggalkan Posisi
Pada tahun 1920, ia diangkat menjadi Polisi (Opas) oleh pemerintah kolonial Belanda. Jabatan ini membuatnya harus menghentikan aktivitas mengajarnya, yang kemudian menimbulkan tekanan batin. Merasa tidak nyaman, ia akhirnya mengundurkan diri dari kepolisian pada tahun 1935.
Setelah keluar dari kepolisian, Aki Sidik diam-diam berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ia tinggal di sana selama tujuh bulan, dan mengalami perjalanan yang penuh tantangan, termasuk perjalanan naik unta dari Jeddah ke Madinah yang memakan waktu 11 hari. Sepulang dari Mekkah, ia kembali ke desanya dan mulai berdakwah dengan penuh semangat.
Kuat Berdakwah
Setelah kembali ke Sumedang, Aki Sidik bersama istrinya, Nyi Engkat, aktif berdakwah di berbagai desa seperti Ciujah, Cimalaka, Ciberem, dan Cisalak. Mereka berdua berkeliling dari kampung ke kampung, mengajarkan agama Islam kepada masyarakat yang saat itu masih minim pengetahuan tentang agama. Bahkan, Nyi Engkat turut menyelenggarakan khitanan massal anak-anak perempuan, sebuah praktik yang saat itu belum banyak dikenal.
Hanya saja, perjuangan dakwah Aki Sidik tidak selalu diterima dengan baik. Ia pernah ditangkap dan dibawa ke kantor Wedana, karena ada pihak yang tidak senang dengan aktivitas dakwahnya. Ia difitnah hendak mengacau karena selalu membawa kitab-kitab dari Mekkah. Beruntung, tidak ada bukti yang cukup untuk menahannya, sehingga ia akhirnya dibebaskan.
Pada tahun 1938, Aki Sidik merantau ke Jakarta bersama keluarganya. Di sana, ia mulai tertarik dengan gerakan Islam yang berkembang. Ia turut serta dalam pendirian Barisan Hizbullah, sebuah organisasi perjuangan Islam yang berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun, kehidupannya di Jakarta tidak selalu berjalan lancar.
Pada tahun 1942, rumah dan harta bendanya habis terbakar, memaksanya kembali ke kampung halamannya di Sumedang. Di sana, ia semakin aktif dalam perjuangan Islam dan turut mendirikan Partai Masyumi, yang kemudian menjadi wadah perjuangannya dalam menegakkan kebenaran dan nilai-nilai Islam.
Pada tahun 1948, situasi politik semakin memanas, dan beberapa rekan perjuangannya dibunuh oleh pihak yang tidak diketahui identitasnya. Merasa terancam, Aki Sidik kembali hijrah ke Jakarta. Di Jakarta, ia aktif sebagai pengurus cabang Masyumi Kebayoran, bahkan dipercaya sebagai bendahara. Berkat bantuan Wali Kota Jakarta, Syamsurijal, ia berhasil mendapatkan tanah untuk membangun rumahnya.
Panjang Umur, Alhamdulillah!
Pernah, Irfan Hamka mewawancarai Haji Sidik di usianya yang mencapai 100 tahun. Ini, termuat dalam majalah Panji Masyarakat No. 259 (XX/1979), perihal Aki Sidik tetap sehat dan bugar.
Ketika ditanya tentang rahasia panjang umurnya, ia menjawab dengan sederhana: Pertama, bangun sebelum subuh. Kedua, makan secukupnya. Ketiga, tidak suka begadang.
Rutinitasnya sangat disiplin. Ia selalu tidur sebelum pukul 10 malam, bangun sekitar pukul 3- 4 pagi, lalu melaksanakan shalat tahajud sebelum pergi ke masjid. Kebiasaannya membaca Al-Qur’an sejak kecil tetap ia pertahankan, meskipun matanya mulai rabun.
Aktivis Tulen
Aki Sidik dikenal sebagai sosok yang aktif berdiskusi dengan tokoh-tokoh besar. Suatu hari, setelah shalat dan kuliah subuh, ia terlibat percakapan dengan Buya Hamka dan Sjafruddin Prawiranegara. Mereka membahas Surat Keputusan Menteri Agama No. 70 dan 77, yang saat itu menjadi perdebatan di kalangan umat Islam.
Dengan gaya khasnya, Aki Sidik berkomentar, “Apa maunya mereka itu? Bagaimana bunyi gendang, begitu bentuk tari”. Memang demikian faktanya, tindakan seseorang sering kali menyesuaikan dengan situasi atau pemimpin yang mengarahkannya.
Jika aturan atau kebijakan ditetapkan dengan cara tertentu, maka respons atau perilaku orang-orang di sekitarnya akan mengikuti bentuk yang sesuai dengan arahan tersebut. Ini, sebuah ungkapan yang mencerminkan kebijaksanaan dan ketegasan Aki Sidik dalam menyikapi aturan pemerintah.
Surat Keputusan Menteri Agama No. 70 dan 77 Tahun 1978 mengatur pedoman penyiaran agama serta bantuan keagamaan. Keputusan ini dibuat untuk memastikan dakwah berlangsung dengan tertib dan bantuan keagamaan digunakan sesuai kepentingan umat. Namun, aturan ini menuai pro dan kontra, terutama di kalangan tokoh Islam seperti Buya Hamka dan Sjafruddin Prawiranegara, yang menilai regulasi tersebut berpotensi membatasi kebebasan dakwah dan pengelolaan bantuan keagamaan.
Diskusi antara Buya Hamka, Sjafruddin Prawiranegara dan Aki Sidik mencerminkan kepedulian terhadap nasib dakwah Islam di Indonesia. Juga, peduli kepada pentingnya menjaga kebebasan beragama dalam menghadapi kebijakan pemerintah.
Dari wawancara antara Irfan Hamka dengan Aki Sidik tersebut, tergambar kepribadian figur yang menarik dan penuh inspirasi. Dari seorang anak desa yang sederhana, ia tumbuh menjadi seorang mubaligh, pejuang, dan aktivis Islam yang berperan besar dalam dakwah dan perjuangan kemerdekaan. Keterlibatannya dalam Hizbullah dan Masyumi menunjukkan dedikasinya terhadap Islam dan bangsa.
Bisa Diikuti
Rahasia panjang umurnya bukan hanya soal pola hidup sehat, tetapi juga ketenangan jiwa, kedisiplinan, dan keikhlasan dalam beribadah. Hingga usia senja, ia tetap aktif berdiskusi dengan tokoh-tokoh besar. Ini, menunjukkan bahwa semangat perjuangannya tidak pernah padam. Rahimahullah rahmatan waasi’ah. []