FPI, HAMKA, dan “Syarat Terbaik”

Oleh M. Anwar Djaelani

OtoritasInpasonline.com-Di saat yang lain masih asyik berdebat, Front Pembela Islam (FPI) pada beberapa waktu lalu dengan berani mendatangi KOMPAS yang dinilai tak benar di salah satu pemberitaannya. Di ketika yang lain masih sibuk berwacana, FPI juga pernah dengan gagah mendatangi TVRI yang dianggap tak tepat di salah satu siarannya. Masih banyak contoh lain tentang langkah FPI itu. Di titik ini, bisa saja ada yang lalu ingat HAMKA, terutama di saat beliau membahas QS Ali Imraan [3]: 110 di Tafsir Al-Azhar-nya. Mengapa?

Sumber Berani

Pertama, soal FPI dan KOMPAS. Di Serang – Banten, ada Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang “Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat”. Pada 08/06/2016 Satpol PP-nya melakukan razia terkait penegakan Perda itu. Ibu Saeni (53) termasuk yang kena razia karena membuka warungnya di waktu yang tidak tepat di saat Ramadhan seperti yang telah diatur.

Banyak media yang memberitakan razia itu. Tapi, khusus KOMPAS, dinilai oleh FPI telah melakukan pemberitaan secara tendensius dan bertujuan menghapus Perda Syariat Islam di berbagai daerah sehingga melukai umat Islam. Maka, bersuratlah FPI meminta waktu untuk sebuah audiensi dan klarifikasi.

Pada 17/06/2016 terjadilah pertemuan yang dimaksud. FPI menyoal dan KOMPAS merespon. Direktur Corporate Communication KOMPAS Gramedia Widi Krastawan berterima kasih atas masukan dari FPI. Dia mengatakan, “KOMPAS memang membutuhkan teman yang bisa meluruskan jika ada yang melenceng.

Di titik ini, sepertinya FPI sangat menghayati sekaligus mempraktikkan apa yang pernah dinyatakan oleh Isa Anshari. “Dunia dan manusia jangan dibiarkan hanya mendengarkan kebohongan dan kepalsuan,” kata tokoh Masyumi berjuluk Singa Podium itu.

Kedua, tentang FPI dan TVRI. Dalam tayangan Sahur Ramadhan Sabtu 11/06/2016 pukul 03.18 WIB, TVRI menampilkan dua pengisi acara berjilbab tapi dengan busana bertanda salib yang cukup jelas.

“Gambar yang bermasalah” itu lalu menyebar secara viral di media sosial dan cukup meresahkan masyarakat. FPI bergerak, beraudiensi dan minta klarifikasi. “Didatangi FPI, TVRI Minta Maaf atas Kasus Lambang Salib di Acara Ramadhan” (www.suara-islam.com 14/06/2016).

Di titik ini, sepertinya FPI tidak ingin seperti yang pernah dikhawatirkan oleh M. Natsir.“Satu-satunya yang diperlukan yang batil untuk maju mencapai kemenangannya adalah asal saja yang haq tinggal diam, tak berbuat apa-apa, kata tokoh Masyumi yang pernah menjadi Perdana Menteri itu.

Sebenarnya, apa yang dilakukan FPI itu sesuatu yang standar bagi umat Islam. Kaum beriman memang diperintah Allah untuk aktif beramar makruf nahi munkar. Maka, mestinya apa yang dikerjakan oleh FPI itu biasa-biasa saja. Tapi, karena –terutama di negeri ini- tak banyak orang atau pihak yang memiliki keberanian untuk bernahi-munkar, maka yang mestinya biasa-biasa itu lalu tampak luar biasa.

Bacalah! “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS Ali Imraan [3]: 110). Maka, terkait ini, sangat menarik jika kita buka Tafsir Al-Azhar karya HAMKA.

Dikatakan, bahwa syarat agar kaum Muslimin menjadi “Umat yang terbaik” adalah jika mereka ”Beramar makruf, bernahi munkar, dan beriman kepada Allah”. Ketiga dasar (atau syarat) itu, kata HAMKA, hakikatnya adalah satu kesatuan. Harus ada pada saat yang sama.

Selanjutnya, HAMKA menyatakan bahwa di dalam memahami ayat 110 QS Ali Imraan, hendaklah kita mengambil mafhumnya dari bawah, dibaca dengan sungsang: 1).Beriman kepada Allah. 2).Berani melarang yang munkar. 3).Berani menyuruh dan memimpin sesama kepada yang makruf. Lalu, masih kata HAMKA, berani melarang yang munkar adalah implikasi pertama dari iman kepada Allah. Iman kepada Allah membuat manusia merdeka dari pengaruh yang lain, sebab yang lain itu hanyalah makhluk Tuhan belaka. Keimanan menghilangkan rasa takut dan –sebaliknya- menimbulkan daya hidup.

Dari paragraf di atas, meski ketiga syarat “Umat terbaik” itu satu kesatuan yang tak terpisahkan, tampaknya HAMKA merekomendasikan sebuah urutan: Iman kepada Allah, berani melarang yang munkar, dan berani menyuruh kepada yang makruf.

Memang, bernahi-munkar itu beresiko. Tapi, kata HAMKA, “Percaya kepada Allah, itulah yang menghilangkan segala rasa takut. Orang yang beriman kepada Allah adalah berani, karena takutnya”. Maksudnya, “Dia berani menghadapi segala macam bahaya di dalam hidup, karena dia takut kepada siksa Allah sesudah mati. Dia berani mati”.

Suatu saat –di zaman pendudukan Jepang- HAMKA bertanya kepada sang ayah yang sekaligus juga gurunya yaitu Syaikh Abdul Karim Amrullah: “Tidakkah engkau takut akan siksa Kempetai Jepang?” Pertanyaan ini diajukan HAMKA saat melihat sang ayah tidak mau ruku’ (keirei) ke Istana Jepang. “Ayah tidak takut kepada mati, hai Anaku! Hal yang Ayah takuti ialah yang sesudah mati,” tegas Syaikh Abdul Karim Amrullah.

Alhasil, kata HAMKA, selama amar makruf nahi munkar masih ada, itulah alamat bahwa umat ini masih bernafas. Tapi, jika amar makruf nahi munkar telah tiada, itu pertanda umat Islam telah mati walau fisik masih ada.

Mengingat urgensinya, sekali lagi HAMKA menekankan bahwa selama amar makruf nahi munkar ada, maka selama itu pula Islam masih akan tetap hidup dan memberikan hidup. Selama itu pula umat Islam akan menjadi yang sebaik-sebaik umat di antara manusia.

          Tak lupa pula, HAMKA mengingatkan tentang sebuah keadaan yang buruk bagi mereka yang abai terhadap aktivitas amar makruf nahi munkar. Bahwa, mereka akan ditimpa azab Allah. Untuk itu HAMKA mengutip HR Tirmidzi: “Menyuruhlah berbuat makruf dan mencegahlah berbuat munkar, atau kalau tidak, siksa Allah akan menimpa kepadamu. Lalu kamu memohon supaya siksa itu dihentikan, tetapi pemohonan kamu itu tidak dikabulkan Tuhan”.

Siapa Turut

Kembali ke pokok soal, siapa FPI? FPI, kata mantan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi di sebuah kesempatan, “Jelas NKRI-nya”. Siapa FPI? Amal shalih aktivisnya jelas sedemikian rupa Arifin Ilham –dalam sebuah kesempatan- mengajak umat Islam mendukung langkah FPI melawan kemunkaran. Maka, sambil membayangkan uraian HAMKA tentang amar makruf nahi munkar di atas, tak inginkah kita sebarisan dengan FPI? []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *