Sikap Kita ke Hermeneutika

 

Untuk Bible

Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti ‘menafsirkan’. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani bernama hermes (Mercurius). Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia.

Dari tradisi Yunani, hermeneutika kemudian berkembang menjadi metodologi penafsiran Bible, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. 

Bagi kaum Kristen, realitas teks Bible memang membutuhkan hermeneutika untuk penafsiran Bible mereka. Para hermeneutis dapat menelaah dengan makna teks Bible mencakup kondisi penulis Bible, kondisi historis, dan makna literal suatu teks Bible.

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah, memungkinkannya metode penafsiran hermeneutika digunakan dalam menafsirkan Bible serta menempatkannya sebagai bagian dari dinamika sejarah, dikarenakan sifat teks Bible yang merupakan “teks manusiawi”. Sebagaimana disampaikan oleh Paus Benediktus XVI, kata-kata dalam Bible, bukan hanya kata-kata Tuhan, tetapi juga kata-kata Isaiah, kata-kata Markus. Ia pun menyampaikan bahwa Tuhan menggunakan manusia dan memberikan inspirasi kepada kepada mereka untuk mengungkapkan kata-kata-Nya kepada manusia (He used His human creatures, and inspired them to speak His word to the world). (Lihat: Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Jakarta: Gema Insani, 2007, h.10).

Hal ini berbeda dengan Al-Quran yang otentik dan final, sehingga Islam memang bukanlah bagian dari dinamika sejarah. Islam sudah sempurna sejak awal (al-maidah:3). Oleh karena itu, metode historis kritis dan analisis penulis teks (yang merupakan metode hermeneutika) tidak dapat diterapkan untuk teks wahyu seperti Al-Quran, yang memang merupakan kitab yang tanzil (diturunkan). Dan hingga kini, kaum muslim di dunia meyakini bahwa lafadz Al-Quran dan maknanya datang dari Allah (lafdzan wa maknan minallah). Meskipun sama-sama keluar dari lisan Rasulullah Saw, tetapi sejak awal sudah dibedakan antara Al-Quran dengan hadits Nabi. Jadi, hermeneutika memang seharusnya tidak diaplikasikan ke dalam Al-Quran; ia hanya cocok jika diterapkan ke dalam Bible atau kitab-kitab lainnya.

Dampak terhadap Al-Quran

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa hermeneutika cocok diterapkan dalam menafsirkan Bible dan tidak cocok untuk Al-Quran. Ketika hermeneutika “dipaksa” menjadi metode penafsiran yang dipakai dalam menafsirkan Al-Quran, hermeunetika akan memberikan masalah baru tersendiri.

Dengan hermeneutika, maka hukum-hukum Islam yang selama ini sudah disepakati kaum muslimin bisa berubah. Dengan hermeneutika pula, bisa keluar produk hukum yang menyatakan wanita boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, khamr menjadi halal, laki-laki punya masa iddah seperti wanita, atau wanita punya hak talak sebagaimana laki-laki, atau perkawinan homopseksual/lesbian menjadi halal. Semua perubahan itu bisa dilakukan dengan mengatasnamakan “tafsir kontekstual” yang dianggap sejalan dengan perkembangan zaman.

Menurut Adian Husaini, setidaknya ada 3 dampak (masalah) umum yang ditimbulkan oleh hermeneutika. Yaitu terdapat relativisme tafsir, adanya sikap mencurigai dan mencerca ulama Islam, dan yang terakhir adalah mendekontruksi konsep wahyu.

Terkait dampak hermeneutika yang menjadikan tafsir bersifat relatif, contoh nyatanya ucapan Amina Wadud yang menyatakan bahwa tidak ada metode penafsiran Al-Quran yang sepenuhnya obyektif. Masing-masing penafsir membuat pilihan-pilihan yang subyektif.

Adapun dampak kedua, yaitu adanya sikap mencurigai dan mencerca ulama Islam. Terdapat seorang sarjana syariah dari IAIN semarang bernama M. Kholidul Adib Ach yang “mencerca” Imam syafii. Dalam sebuah artikel, ia menulis: Syafii memang terlihat sangat serius melakukan pembelaan terhadap Al-Quran mushaf Utsmani, untuk mempertahankan hegemoni Quraisy. Maka, dengan melihat realitas tersebut di atas, sikap moderat syafi’i adalah moderat semu. Dan sebenarnya, sikap syafi’i yang demikian itu, tak lepas dari bias ideologis Syafi’i terhadap suku Quraisy” (Lihat: Sumanto Al-Qurthubi dkk., Dekonstruksi Islam Mahzab Ngaliyan, Semarang: raSAIL press, 2005, h.84,86).

Selanjutnya terkait dampak yang ketiga, yaitu dekonstruksi konsep wahyu, maka kita bisa melihat “sepak terjang” salah satu pengaplikasi hermeneutika, yaitu Nasr Hamid Abu Zaid. Untuk mengaplikasikan hermeneutika dalam Al-Quran, ilmuan kelahiran Mesir ini menempatkan posisi Nabi Muhammad Saw sebagai “pengarang” Al-Quran. Selain itu, ia juga berpandangan bahwa Al-Quran edisi dunia adalah produk budaya (cultural product). Oleh karena itu, Abu Zaid telah melepaskan Al-Quran dari posisinya sebagai kalam Allah yang suci, yang maknanya khas dan Nabi Muhammad Saw adalah yang paling memahami makna ayat-ayat Al-Quran.

Waspadalah!

Kita bisa mengambil sikap agar mewaspadai penggunaan metode penafsiran hermeneutika dalam menafsirkan Al-Quran. Karena, sebagaimana dipaparkan di atas, ketika hermeneutika diterapkan dalam Al-Quran akan menghasilkan permasalahan baru yang meliberalkan Islam. Dan, hendaknya para akademisi benar-benar serius menangani masalah ini, karena hermeneutika sudah menjadi mata pelajaran wajib di berbagai perguruan tinggi Islam. Wallaahua’lam.

*Alumnus Pendidikan Kader Ulama (PKU) Gontor

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *