Islam Dalam Wacana Pseudo Ilmiah Warisan Kolonial

Dalam kutipan di atas Islam diposisikan sebagai pihak yang menjajah sedangkan Portugis digambarkan sebagai dewa penolong yang datang terlambat. Pendapat ini juga diamini oleh Pater M van Elzen, “Dulunya Jawa ini sedikit lebih maju daripada sekarang ini. Sejak tahun 1382, ketika Islam masuk, Jawa terus mengalami kemunduran. Saya dapat mengerti dengan baik sekarang, mengapa Santo Fransiscus Xaverius tidak pernah menginjakkan kakinya di Jawa.”[2]

Secara lebih eksplisit, G. W. J. Drewes ketika mengomentari Serat Darmagandul menyatakan:”Seluruh isi Serat ini menggambarkan penolakan terhadap Islam sebagai agama yang asing bagi orang Jawa. Ia juga dipandang sebagai agama yang telah merebut kekuasaan dengan cara yang tercela dari para wali, orang-orang suci yang dimuliakan bagi orang-orang Islam Jawa.”[3]

Bagi saya yang terlahir sebagai muslim Jawa, hal ini terdengar aneh, sebab dari kecil yang tertanam di benak kami adalah para penjajah berkulit putih itulah yang menyebabkan bangsa Indonesia miskin dan tertinggal dalam ilmu pengetahuan. Bahkan saya berani mengatakan pendapat ini adalah pendapat mayoritas orang Jawa.

Namun, berbeda dengan dunia batin orang awam, kalangan akademisi dan dunia perbukuan saat ini bergerak menuju arus yang lain. Meski sebagai agama mayoritas, akan tetapi dalam aneka kajian mengenai sejarah maupun budaya Jawa, Islam selalu ditempatkan dalam posisi marginal. Kata Sinkretisme, Akulturasi, Hindhu, Budha, Candi Borobudur dan Prambanan, Manunggaling Kawulo Gusti, Darmagandul, Gatholoco seolah merupakan keyword (kata kunci) bahkan password untuk memasuki khazanah Jawa. Bahkan walisongo, yang sangat lekat di dunia batin masyarakatpun saat ini sedang dalam posisi akan di mitoskan menjadi sekedar dongen dan legenda.

Ketika saya mencoba melacak lebih jauh, ternyata proses pembentukan wacana Jawa minus Islam sudah dimulai sejak zaman kolonial, dan nampaknya  saat ini sudah membuahkan hasil. Dalam buku-buku mutakhir tentang Jawa kita dapat melihat bahwa Islam diposisikan sebagai agama asing yang hanya merupakan kulit ari bagi masyarakat Jawa, sedangkan yang menjadi agama sejati masyarakat Jawa adalah Kejawen.

 

Jawa, Sebelum Kedatangan Islam

Bahwa sebelum kedatangan Islam di Jawa, agama Hindu dan Budha berkembang di Indonesia, adalah fakta sejarah yang diamini oleh siapa saja. Namun penjelasan lebih detail tentang praktik keagamaan Hindu dan Budha di Jawa, nyaris tak terbahas. Kalaupun ada berupa mitos kejayaan yang diwakili candi Borobudur, Prambanan dan berbagai candi lain yang tersebar di seantero Jawa.

Dalam sejumlah sumber sejarah dapat dijumpai Hindu dan Budha yang berkembang di Jawa bercorak sinkretisme antara keduanya. Kitab Pararaton menyebutkan, bahwa Prabu Kertanegara, raja terakhir kerajaan Singhasari biasa dipanggil dengan julukan ”Bathara Siwa-Budha” yaitu penganut Bhairawa Tantra. Kepercayaan Siwa-Budha ini menghasilkan bentuk ritual yang disebut sebagai upacara Ma-lima. Menurut S. Wojowasito,  bentuk upacara (ritual) dari sekte ini sangat mengerikan[4].

Lebih lanjut Prof Rasyidi menjelaskan, upacara ma lima itu terdiri dari matsiya (memakan ikan gembung beracun), manuya (memakan daging dan minum darah gadis yang dijadikan kurban), madya (upacara ritual dengan meminum minuman keras hingga mabuk), muthra (ritual tari sampai ekstase tak sadarkan diri), dan maithuna (persetubuhan secara masal). Upacar itu dilakukan di tanah lapang yang disebut setra)[5].

Pendapat Prof. De la valle Poussin yang menyatakan bahwa praktik Maithuna tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh dibantah oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi, sebab Maithuna ternyata banyak dipraktikkan secara konkret. Maithuna tidak dianggap berdosa sebab pelakunya dianggap telah menjadi dewa.

Dalam penasbihan seorang raja, dibutuhkan korban lebih banyak yakni mencapai ratusan orang.Adityawarman, seorang Radja dari kerajaan Melayu (yang menjadi menantu raja Majapahit) menerima penasbihannya di tengah-tengah lapangan bangkai, sambil duduk di atas timbunan bangkai, tertawa minum darah, menghadapkan kurban manusia yang menghamburkan bau busuk, tetapi bagi Adityawarman sangat semerbak baunya.”[6]

Pengorbanan manusia dalam jumlah massal juga terjadi saat meninggalnya raja Blambangan, Tawang Alun. “Tawang Alun II banyak ditulis dalam arsip Belanda, justeru pada masa akhirnya tahtanya. Yakni ketika upacara ngaben jenasahnya yang digelar secara spektakuler. Alkisah, dalam upacara sebanyak 271 isteri dari 400 isteri Tawang Alun ikut membakar diri (sati)”[7].

Bhairawa Tantra berkembang di sekitar tembok istana para penguasa, baik raja maupun para penguasa lokal. Sehingga ketika masih kecil dulu kisah tentang prabu dewata cengkar atau prabu Baka yang doyang makan orang adalah cerita tutur yang masih sangat populer. Unsur-unsur Bhairawa tantra memang masuk juga ke kultur masyarakat banyak, yakni pada bentuk-bentuk kesenian rakyat. Sedangkan konsep theologinya tetap merupakan barang najis bagi rakyat kebanyakan, kata Prof. Naquib Al Attas di buku Dilemma kaum Muslimin.

Masyarakat  Jawa secara umum adalah penganut ritus pemujaan terhadap arwah leluhur. Pemujaan itu sendiri tidak merupakan agama bagi rakyat, tetapi bagian unsur penting dari ibadahnya. Alasan-alasan yang menjadi dasar upacara atau semangat yang menjadi bukanlah bidang pemikiran rakyat, tetapi bidang pemikiran pendeta/ulama.[8] Para pendeta/ulama ini dalam masyarakat jawa disebut sebagai Guru Ngelmu/kyai, yang struktur itu masih ada sampai saat ini. Menurut beberapa sumber, secara theologi kepercayaan mereka disebut sebagai “kapitayan”, sebuah konsep theologi sudah ada sebelum masuknya Hindu dan Budha ke Indonesia. Mirip sebuah konsep monotheisme sederhana, dimana ada kekuatan yang tiada terperi (tan kinaya ngapa) yang berada di balik alam semesta ini.

Praktik keagamaan ini jejaknya masih dapat kita lihat di tengah masyarakat, dimana kuburan sebagai simbol bertempatnya ruh nenek moyang masih merupakan elemen penting dalam ibadah masyarakat Jawa. Salah satu ritual terbesarnya adalah Pesta Srada yang merupakan peringatan arwah kepada para leluhur. Pesta Srada ini dalam bahasa Jawa disebut Nyadran.[9] Dari dua arus utama praktik keagamaan masyarakat Jawa, dapat dilihat tingkat peradaban Jawa sebelum kedatangan Islam.

 

Islam dan Proses Pemberadaban

Apabila kita mendengar istilah yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa, yakni aja nglakoni ma lima (jangan melakukan perbuatan ma lima), pada awalnya ini adalah seruan para ulama kepada masyarakat Jawa untuk tidak lagi melakukan ritual Bhairawa Tantra. Sebab ritual itu tidak hanya jahat kepada Tuhan tapi juga jahat pada manusia. Adapun istilah aja nglakoni ma lima, yang diartikan aja madat, aja madon, aja minum, aja main lan aja maling (jangan menghisap candu, jangan berzina, jangan mabuk, jangan berjudi dan jangan mencuri) yang menjadi standart dasar moralitas manusia Jawa adalah penerjemahan ma lima setelah masyarakat Jawa mengalami Islamisasi.

Sementara itu Nyadran dalam perkembangannya diadakan di kuburan para leluhur dalam bulan arwah atau Ruwah, yakni bulan Sya’ban, menghadapi  bulan puasa atau ramadhan.[10] Ritualnya pun tidak lagi penyembahan kepada arwah leluhur akan tetapi diganti menjadi ritual ziarah kubur yang bertujuan mendoakan para leluhur yang sudah meninggal.  Dalam kaitannya terhadap hubungan manusia Jawa terhadap para leluhur yang sudah meninggal, menurut Nakamura dan CC Berg, adalah wujud dari keberhasilan proses Islamisasi di Jawa.

Justru pada jantung religius kaum abangan, yaitu di dalam kehidupan ritual mereka, mereka betul-betul tergantung pada pertolongan kaum santri. Hanya santri lah yang dapat memimpin doa di dalam ritus yang paling sentral dari orang-orang abangan, yaitu slametan. Juga santrilah yang dapat memimpin upacara ketika seorang abangan mengalami, apa yang disebut Malinowsky krisis yang paling utama dan paling final dalam kehidupan, yaitu : kematian[11]

Tidak hanya Islamisasi ritus keagamaan, bahasa, pola hubungan dalam masyarakat, pola kepemimpinan juga mengalami perubahan yang mendasar. Perubahan dari Bahasa sansekerta bahasa Jawa yang banyak mengadopsi istilah Islam, seperti adil, pikir, rakyat, Sultan ataupun Islamisasi makna sembahyang yang bermakna sholat, pasa bermakna shaum, suwarga bermakna jannah dan yang semisalnya adalah bukti dari eksistensi Islam menjadi fondasi bagi masyarakat Jawa baru yang lebih beradab. Adalah sangat beralasan ketika Prof. Syed Naquib Al Attas menyatakan bahwa kedatangan Islam ke kepulauan Melayu (termasuk Jawa di dalamnya) merupakan peristiwa yang paling penting dalam sejarah kepulauan ini.[12] Hal ini diamini oleh Dr. H. Roeslan Abdulgani yang menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara membawa tamaddun (peradaban), kemajuan dan kecerdasan[13]. Kesimpulan yang berhadapan secara diametral dengan pendapat para cendekiawan kolonial dan para pengikutnya yang setia mengamini hingga kini.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Drewes, G.W.J,  The struggle Between Javanism and Islam as Illustrated by Serat Darmogandul. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 122.1966

Ekadarmaputera, PhD, Pancasila Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta.1991

Fauzan Saleh, Dr, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Serambi, Jakarta.2004.

Hasto Rosariyanto, F, Van Lith Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Penerbit Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta.2009.

Muller Kruger, Dr. Th, Sejarah Gereja di Indonesia, BPK Jakarta.1959.

Roeslan Abdulgani, Dr, Islam Datang Ke Nusantara Membawa Tamaddun/Kemajuan/Kecerdasan, makalah pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Banda Aceh 10 – 16 Juli 1978.1993.

Rasyidi, Prof. Dr, Islam dan Kebatinan, Penerbit Bulan Bintang.1967.

Slamet Muljana, Prof. Dr, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, LKIS, Yogyakarta.2005.

Syed Naquib Al Attas, Prof. Dr, Dilema Kaum Muslimin, Penerbit Bina Ilmu, Surabaya.1986

Wojowasito, S, Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India, Penerbit Siliwangi Jakarta.1952

 

Internet :

http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2010/05/31/brk,20100531-251395,id.html

 

[1] Dr. Th. Muller Kruger,  Sejarah Gereja di Indonesia, BPK Jakarta. 1959, hal. 19.

[2] Surat Pater M van den Elzen kepada Pater Provinsial Surabaya dlm buku F, Hasto Rosariyanto, 2009, Van Lith Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Penerbit Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta

[3] G.W.J. Drewes. The struggle Between Javanism and Islam as Illustrated by Serat Darmogandul. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 122 (1966). Hal. 310 dalam Dr. Fauzan Saleh. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. (Serambi, Jakarta, 2004). Hal. 49-50  

[4] S. Wojowasito, 1952 (cet. II), Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India, Penerbit Siliwangi Jakarta, hal. 148

[5] Prof. Rasyidi, 1967, Islam dan Kebatinan, Penerbit Bulan Bintang, hal. 94)

[6] S. Wojowasito, 1952 (cet. II), Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India, Penerbit Siliwangi Jakarta, hal. 149. Adityawarman adalah seorang Raja Melayu yang dijadikan menantu oleh Raja Majapahit pada masanya, yang dalam hal kepercayaan mengikuti aliran Budha Syiwa Bhairawatantra.

[7] http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2010/05/31/brk,20100531-251395,id.html

[8] Prof. Dr. Slamet Mujljana, 2005, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, LKIS, Yogyakarta. Hal. 247-253

[9] Samet Mulyana, Prof. Dr. Ibid. hal 253

[10] Samet Mulyana, Prof. Dr. Ibid. hal 253

[11] Ekadarmaputera, PhD, 1991 (cet. 3), Pancasila Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hal. 59-60

[12] Syed Naquib Al Attas, Prof. Dr, 1986 (terj.), Dilema Kaum Muslimin, Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, hal. 163

[13] Dr. Roeslam Abdulgani, 1993, Islam Datang Ke Nusantara Membawa Tamaddun/Kemajuan/Kecerdasan, makalah pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Banda Aceh 10 – 16 Juli 1978.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *