Distorsi Pembacaan Kaum Perennialis Terhadap Tasawuf

Dzufikar Akbar Romadlon

(Alumni Program Kaderisasi Ulama ISID Gontor)

frithjof_schuonDewasa ini, filsafat perennial, atau yang sering disebut dengan philosophia perennis, telah berkembang menjadi salah satu perspektif dalam studi keagamaan, dalam rangka mencari titik temu agama-agama dalam wilayah teologis dan sosiologis.[1] Sebagaimana yang diyakini oleh para penggiatnya bahwa semua jalan keagamaan akan mencapai pada satu tujuan yang sama yaitu Tuhan. Akan tetapi ketika kaum perennialis menelusuri berbagai macam teologi, maka ditemukan di dalamnya banyak sekali pertentangan antara keyakinan, sehingga mereka melakukan usaha-usaha dalam rangka menyatukan semua kebenaran dengan mempertemukan tiap-tiap keyakinan. Dalam hal ini mereka mengambil pembenaran dari gerakan-gerakan mistisme di tiap-tiap agama untuk kemudian dijadikan symbol bagi titik temu agama.

Terhadap Islam, kaum perennialis mengambil representasi dari kaum sufi  dengan mendistorsi pemahaman para ulama sufi tersebut. Menurut mereka, dimungkinkannya titik temu antara agama-agama melalui jalan tasawuf. Padahal, kaum sufi tersebut adalah ulama ber-tauhid. Di antara para s}ufi yang sering dijadikan rujukan adalah Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Jalaluddin al-Rumi dan ‘Abd l-Karim al-Jilli, yang menurut mereka, bahwa tokoh-tokoh ini telah lama berbicara tentang adanya titik temu dan kebenaran esoteric dalam agama-agama. Pandangan titik temu agama-agama pada dasarnya sudah sangat problematik ketika dilihat dari sudut pandang tiap-tiap agama. Walaupun sudah diadakan (di kalangan perennialis) pembenaran dan pengkajian melalui pemikiran sufisme tentang titik temu agama, banyak sekali kekeliruan mereka dalam membaca teks dan teori dalam tasawuf yang cenderung memaksakan ide bahwa pemikiran sufisme adalah penganut pluralisme.

Sekilas Tentang Filsafat Perennial

            Istilah “filsafat perennial” dapat ditelusuri maknanya secara etimologi dan terminologi agar jelas maksud digunakannya kata-kata tersebut. Secara etimologi, kata ‘filsafat’ berasal dari kata Yunani ‘Philo’ dan ‘Sophia’, yang berarti cinta atas kebijaksanaan. Kata ini sering disinonimkan dengan kata Arab ‘al-h{ikmah’ yang maknanya benar dalam perkataan dan perbuatan serta semua apapun yang menjaga diri dari kebodohan.[2] Sedangkan perennial, sebagaimana yang disebutkan dalam kamus Oxford memiliki dua makna, ‘constantly occurring’ dan ‘lasting for a long time’, yang singkatnya bisa diartikan dengan kekekalan dan keabadian.[3] Dalam kata ini kaum perennialis sering kali mengambil sinonim kata dari bahasa Arab yaitu al-khalidah. Dan makna dari filsafat perennial seringkali disinonimkan dengan kata arab al-h}ikmah al-khalidah atau kebijaksanaan yang abadi. Sedangkan pemahaman secara terminologis, bahwa filsafat perennial dihubungkan dengan kata primordial tradition atau tradisi dan kebenaran asal mula, yang berasal dari Tuhan, dan diyakini terdapat di setiap tradisi, serta menjadi esensi dasar bagi kepercayaan agama-agama.[4] Lebih lanjut lagi Aldous Huxley mendefinisikan bahwa filsafat perennial ialah, doktrin metafisik yang meyakini sebuah wujud ke-Tuhan-an yang substansial yang ada dalam dunia kehidupan, kemudian ia menyatakan bahwa ia adalah jalan pengetahuan untuk mengetahui semua wujud yang immanent dan yang transcendent. Pandangan ini diyakini dapat ditemukan disemua tradisi ke-agamaan dari yang paling primitif hingga yang tingkat keyakinannya lebih tinggi (higher religions).[5]

Para penganut filsafat perennial mengklaim bahwa mereka memiliki akar pemikiran dengan banyak tradisi kuno khususnya terhadap Islam. Di dalam karya knowledge and the sacred Seyyed Hossein Nasr menisbatkan philosophia perennis kedalam trem-trem agama-agama seperti kata dharma dalam Hindu dan Budha, Tao dalam agama Tao, yang menurutnya memiliki makna yang bersinonim dengan kata tradisional.[6] Akan tetapi ada kekeliruanan ketika Nasr merujuk ke dalam sumber Islam, ia menyamakan nama philosophia perennis dengan al-hikmah al-khalidah atau javidan khirad yaitu buku karangan Ibn Miskawaih yang merupakan kumpulan hikmah kehidupan yang dikumpulkan dari banyak sumber peradaban Islam dan sebelumnya, walau secara nama bersinonim, namun pada dasarnya Ibn Miskawaih dalam bukunya tidak pernah menyentuh masalah teologi dan tidak ada hubungannya dengan philosophia perennis.[7] Di sini dapat dilihat bahwa Nasr telah melakukan pengakaran kata nama philosophia perennis terhadap doktrin keagamaan didunia, walaupun terhadap Islam pandangannya cenderung dipaksakan.

Jika dirunut sejarahnya di Barat, istilah filsafat perennial pertama kali digunakan oleh Augustinus Steuchus di dalam karyanya De perenni philosophia yang diterbitkan tahun 1540; dan kemudian dikenalkan oleh Leibniz dalam surat-surat yang ia tulis pada tahun 1715, yang menurut Seyyed Hossein Nasr, bahwa Leibniz telah berbicara tentang kebenaran di dalam filsafat kuno yang memisahkan cahaya dari kegelapan. akan tetapi kemunculan filsafat perennial di zaman modern, dimulai dari tokohnya yang paling awal yaitu René Guénon dan ada juga beberapa tokoh penting di zamannya seperti Aldous Huxley dan Karl Jasper. [8] Pemikiran René Guénon dilanjutkan oleh muridnya Frithjof Schuon, yang membawa ide tentang transcendence unity of religions, yaitu teori tentang kesatuan yang esensial dari agama-agama. ini adalah teori yang meyakini bahwa semua kebenaran dalam agama bisa bertemu di dalam satu titik yang ia sebut sebagai primordial unity yang terletak pada yang transcendence.[9] Selain Schuon banyak tokoh-tokoh yang muncul dari filsafat perennial seperti, Ananda Commaraswamy, Titus Burckhardt’s, William Stoddart, Huston Smith, Seyyed Hossein Nasr, W.C. Chittick serta banyak lagi tokoh-tokoh filsafat perennial lainnya.

Ada juga beberapa statement yang mengatakan bahwa filsafat perennial memiliki akar dari gerakan rahasia Freemasonry. Hal ini bisa dilihat dari dibuktikan dari pencetusnya yaitu René Guénon yang merupakan salah satu tokoh Freemasonry dan Theosophy.[10] Selain itu juga dapat dilihat kesamaannya dari ide yang diusung antara pemikiran filsafat perennial yang diusung oleh R. Guénon dan Frithjof Schuon dengan kepercayaan Freemasonry.[11] Di dalam buku fundamental symbols, the universal language of sacred science Guénon banyak berbicara tentang makna dari the sacred heart dan legenda Holy Grail, angka-angka Phytagoras, symbol Kabalah dan beberapa symbol lainnya, yang kemudian ia menghubungkan persamaan di tiap-tiap symbol.[12] Di sini ide yang diusungnya mirip sekali dengan ide yang diangkat oleh kaum Freemasonry, yang banyak menggunakan symbol holy grail, angka Phytagoras, dan bersumber dari simbol-simbol Kabbalah, serta menghubungkannya dengan symbol-symbol agama Mesir kuno, Babylonia kuno, India dan China.[13] Dan juga ide Sacred Knowledge yang diusung oleh René Guénon[14] dan Seyyed Hossein Nasr mirip dengan ide Sacred Knowledge yang dimiliki oleh kaum Freemasonry, yang banyak berbicara tentang pengetahuan yang sakral dan secret.[15] Ada juga ide kaum perennialis yang menganggap ajaran mereka sebagai ancient wisdom yang merujuk kepada banyak sumber tradisi agama didunia,[16] hal ini bisa juga dilihat dari ide Freemasonry yang melihat bahwa ajaran mereka memiliki keterkaitan dengan ajaran kuno di Mesir dan Babylonia.[17] Dari beberapa bukti kemiripan di atas bisa dilihat beberapa kemiripan dan hubungan antara filsafat perennial dan Freemasonry.

Jika dilihat dari tujuannya, gerakan filsafat perennial merupakan gerakan ideologis yang ingin menyelesaikan krisis spiritual dizaman modern serta konflik antar agama didunia. Di dalam karya René Guénon the crisis of the modern world, ia menjelaskan tentang konflik antar tradisi keagamaan, di mana tradisi Barat menjadi oposisi bagi tradisi Timur, dan di Timur telah muncul gerakan anti-Barat, sehingga antara kedua tradisi sulit untuk bertemu. Selain dari konflik antar tradisi, Guénon juga melihat adanya sikap individualistic dan materialistic yang telah dialami oleh umat manusia dan di Barat pada khususnya.[18] Dalam hal ini para penggiat filsafat perennial ingin menjadi obat bagi zaman modern, dengan menjadi penengah bagi konflik antar agama disatu sisi dan pengembalian sakralitas agama dalam kehidupan manusia disisi yang lain.[19]

Melalui tujuan di atas filsafat perennial pada akhirnya menjadi perspektif tertentu dan masuk dalam ranah kajian keilmuan, khususnya dibidang study perbandingan agama. Tujuan dari study ini yaitu untuk menemukan titik esoteric dalam agama-agama di mana semua keyakinan bisa dipertemukan. Titik temu agama berarti mempertemukan agama-agama yang banyak dan plural dalam ranah teologis, yang menurut mereka tingkatan bentuk agama berada pada tataran eksoterik-subjektif dan masih relative, sehingga perlu dicari wilayah esoterisnya. Esoteris sendiri dimaknai dengan sesuatu yang esensial tersembunyi dan objektif yang berada di dalam doktrin-doktrin keagamaan. Esoterisme juga diartikan sebagai sebuah jalan pengetahuan untuk menyingkap sesuatu yang substansial dari kehidupan manusia.[20] Melalui jalan esoteric, manusia dapat menemukan kebenaran yang transcendent, yang telah ada di setiap bentuk keagamaan. Jalan ini lalu dibangun menjadi sebuah perspektif kajian keilmuan dan kajian agama-agama lalu dicari titik temunya yang paling essensial. Sehingga dalam prakteknya filsafat perennial memandang semua kebenaran agama sama dan setara dalam wilayah kemanusiaan dan ke-Tuhanan.

Posisi Tasawuf Dalam Studi Filsafat Perennial

            Pandangan filsafat perennial dalam mencari titik temu agama-agama banyak bertentangan dengan doktrin tiap-tiap agama, karena tidak ada suatu agama yang mengakui kebenaran agama lainnya. Dalam hal ini F. Schuon mengatakan bahwa ortodoksi atau sikap eksklusifitas dalam agama adalah wajar, ia mengatakan “the essence of every orthodoxy is the truth”, pernyataan ini bisa dimaknai bahwa F. Schuon mengamini semua kebenaran agama-agama yang bertentangan sebagai sebuah keyakinan yang sama dan setara. Melalui ortodoksi agama, F. Schuon menginginkan sebuah jalan di mana manusia dapat mencapai yang absolute.[21] Pandangan Schuon sedikit berbeda dengan gurunya Guénon yang kurang menyukai ortodoksi agama-agama karena dengan adanya sikap ortodoksi agama hanya akan menciptakan pertentangan di dalam agama-agama.[22] Walau demikian keduanya tetap setuju terhadap pandangan bahwa manusia perlu mencapai kebenaran yang melampaui kebenaran agama-agama. Dan mereka bersependapat dalam menolak sikap eksklusif dan membuka jalan yang selebar-lebarnya bagi setiap kebenaran yang ada. Oleh karena itu kaum perennialis selalu mencari sebuah solusi untuk mengobati sikap ortodox-eksklusif dalam beragama, sekaligus mencari representasi di mana setiap agama dapat dipertemukan.

            Dalam mengobati sikap orthodox-eksklusif mereka mengambil studi terhadap tradisi mistisme dan banyak menggunakan istilah tasawuf dalam Islam. Filsafat perennial dalam study keagamaan fokus untuk menelusuri paham mistis dalam Hindu, Budha, Kristen, Tao dsbg. Di dalam Islam mereka banyak berbicara tentang tasawuf, yang menurut mereka memiliki aspek esoterisme dan banyak berbicara tentang hal-hal yang melampaui ajaran Islam secara umum. Kaum ortodoks sangat kuat dalam memegang teks ke-agamaan yang cenderung dipengaruhi oleh semangat yang berpegang pada teks, dalam hal ini Schuon pernah mengkritik teologi Ash’ari yang menurutnya ortodoks, ia berkata: “in particular offer more than one example of a reasoning inspired rather by an almost totalirian zeal than by intellectual intuition”.[23] Schuon  menjelaskan bahwa Ash’ari terlalu bergantung pada otoritas teks (totalitarian zeal), dan melalui penolakan ini F. Schuon menekankan pada penggunaan kecerdasan intuisi, dalam hal ini ia merujuk pada tasawuf Imam al-Ghazali. Menurut F. Schuon bahwa melalui tasawuf, bentuk-bentuk keagamaan lebih terbuka, khususnya pendapat yang ia nisbatkan kepada Imam al-Ghazali yang menyebutkan, bahwa ia melihat bahwa amalan agama yang nampak (outward Religion) merupakan proyeksi dari agama hati/cinta (religion of the heart). Ini adalah esensi dari Islam yaitu tempat di mana segala perbedaan bentuk/ agama tersatukan.[24] Maka, melalui tasawuf, kaum perennialis mencoba menyembuhkan ortodoksi-tekstualis dalam Islam, dan melalui mistisisme secara umum mereka membuka jalan pertemuan kebenaran teologi agama-agama.

            Penyamaan antara tasawuf dengan mistisisme lainnya dalam studi filsafat perennial merupakan bagian dari kajian orientalis terhadap khazanah Islam. Kalangan orientalis, mengatakan bahwa tasawuf terpengaruh dengan sumber-sumber asing, sebagaimana yang dikaji oleh Nicholson bahwa tasawuf Islam sangat terpengaruh oleh mistisme Kristen, Gnosisme Yunani dan agama Budha.[25] Dari kajian model ini dimanfa’atkan dan dikembangkan oleh kalangan perennialis untuk menjustifikasi bahwa Tasawuf adalah gerakan dalam Islam di mana semua kebenaran agama-agama bertemu. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa arah dari kajian perennialisme dalam tasawuf tidak lain adalah model dari kajian di dalam kalangan orientalis.

            Pandangan bahwa tasawuf memiliki pengaruh dari luar, sudah diklarifikasi oleh Abu al-Wafa’ al-Ghaynami  al-Taftazani, yang menyebutkan bahwa beberapa istilah dalam tasawuf memang memiliki keterpengaruhan terhadap sumber asing seperti kalimat Lahut dan Nasut yang merupakan istilah dari Kristen. Akan tetapi hal ini tidak serta merta dikatakan bahwa ide tasawuf terpengaruh oleh sumber luar, karena tasawuf adalah pengalaman kemanusiaan yang semua manusia dapat merasakannya. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa sumber utama tasawuf adalah al-Quran dan al-Hadits, serta ide yang dikandungnya adalah hasil dari interpretasi atas keduanya.[26] Sehingga dapat dikatakan bahwa gerakan sufisme merupakan pengalaman kemanusiaan yang transcendent yang bersumber dari teks ke-Islaman. Maka pada dasarnya pandangan yang mempertemukan kebenaran antar agama melalui tasawuf tidak dapat dibenarkan. Tapi dapat dimungkinkan jika hanya berupa kajian dari sudut pandang ilmu jiwa, yang membahas tentang praktek manusia ketika ia berdialog dengan Tuhannya.

            Di sinilah dapat dilihat bahwa kajian-kajian yang menggunakan perspektif perennialisme, memiliki asumsi dasar bahwa semua agama pasti dapat dipertemukan. Pertemuan ini diyakini sebagai sesuatu yang final, lalu menjadi sebuah dogma bahwa kebenaran agama-agama adalah relative akan tetapi karena ia berasal dari yang absolute maka mereka juga memiliki nilai absoluditas (relatively absolute). Dan nilai yang relative ini dapat dicapai ke-absoluditasnya melalui mistisme atau sufisme, di mana pengetahuan yang esensial mungkin dicapai. Dalam hal ini pembahasan filsafat perennial selalu membagi wilayah-wilayah yang relative dalam tataran eksoterik, dan kemudian dicari titik temunya pada wilayah yang absolute dalam tataran esoteris, yaitu pada wilayah yang absolutely absolute, atau yang absoluditasnya tidak perlu dipertanyakan lagi.[27]

            Lalu yang menjadi pertanyaan dari pembahasan filsafat perennial, “apakah benar doktrin dari tasawuf mengamini kebenaran yang plural (pluralisme) dalam tataran agama-agama?” tentunya masalah ini perlu diurai dari kajian yang beredar dikalangan perennialis terhadap tasawuf, sehingga dapat dilihat keabsahan serta kebenaran dari pernyataan yang mereka ucapkan terhadap kaum sufi. Oleh karena itu pada berikutnya akan diuraikan perihal mengenai kajian-kajian penggiat perennialisme terhadap tas}awuf dengan melihat aspek-aspek objektifitas dari kajian-kajian terhadap tas}awuf disatu sisi dan memahami pembacaan terhadap konsep-konsep tas}awuf disisi lain. Maka, dalam tulisan ini akan dibahas tokoh dalam tasawuf yang sering dikutip oleh kalangan perennialisme yaitu Ibn ‘Arabi, al-Rumi dan al-Jilli dalam mempertemukan diversitas agama-agama.

Muhyi l-Din Ibn ‘Arabi[28]  dan Konsep Wahdah al-Adyan

            Di dalam filsafat perennial, Ibn ‘Arabi adalah salah satu tokoh yang banyak dibicarakan dan diambil argumentasinya. Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr sering menyebut nama Ibn ‘Arabi dalam karyanya, dan mengambil keuntungan dari pembacaannya serta menjustifikasi kebenaran konsep tentang titik temu agama-agama. Selain F. Schuon dan S.H. Nasr, tokoh lainnya yaitu William C. Chittick, juga banyak berbicara tentang Ibn ‘Arabi, dan jika dilihat karyanya, akan nampak bahwa ia salah satu di antara penggiat perennialisme yang paling sering menulis tentang Ibn ‘Arabi. Karya-karyanya tentang Ibn ‘Arabi antara lain: Ibn ‘Arabi Heir to the Prophet, the Self Disclosure of God Prinsciples of Ibn ‘Arabi Cosmology, dan salah satu yang terpenting yakni Imaginal Worlds Ibn ‘Arabi and The Problem Of Religious Diversity. Dari karya-karya F. Schuon dan W.C. Chittik akan dibahas permbacaan gaya perennialisme terhadap atas teks Ibn ‘Arabi.

Analisis Teks; Distorsi Pemahaman Teks Ibn ‘Arabi

            Dapat dilihat bahwa pengambilan teks-teks Ibn ‘Arabi dalam Futuhat al-Makkiyyah, oleh Prof. William C. Chittick dalam karyanya “Imaginal World” memiliki muatan ideology pluralis-transendentialis. W.C. Chittik menjelaskan bahwa melalui Ibn ‘Arabi konsep tentang pluralisme agama klasik telah berkembang, dan setidaknya ada dua teks yang menurut W.C. Chittik menunjukkan kepada doktrin pluralisme Agama. Teks pertama, menurut Ibn ‘Arabi, sebagaimana yang dinukilnya, bahwa semua agama-agama sudah ada sebelum kemunculan Islam dan wujud Islam tidak menghapus wujud agama-agama. Ia mengambil dari pernyataan Ibn ‘Arabi yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris:

All the revealed religions [sharai’] are lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like the light of the sun among the lights of the stars. When the sun appears, the lights of the stars are hidden, and their lights are included in the light of the sun. Their being hidden is like the abrogation of the other revealed religions that takes place through Muhammad’s revealed religion. Nevertheless, they do in fact exist, just as the existence of the light of the stars is actualized. This explains why we have been required in our all-inclusive religion to have faith in the truth of all the messengers and all the revealed religions. They are not rendered null [bat}il] by abrogation that is the opinion of the ignorant.”[29]

Dari teks di atas dapat dilihat bahwa Ibn ‘Arabi menggambarkan agama-agama bagai cahaya bintang yang tersembunyi dibelakang cahaya matahari yang merepresentasikan cahaya Islam, akan tetapi agama-agama tersebut tetap ada dan tidak hilang adanya. Maka menurut W.C. Chittick dalam hal ini Ibn ‘Arabi sangat inklusif dalam memandang perbedaan agama-agama.

            Teks ‘All the revealed religions’ diambil dan diterjemahkan oleh W.C. Chittick dalam Futuhat al-Makiyyah, akan tetapi jika dibaca teksnya secara keseluruhan, maka akan ditemukan beberapa ketidak kesamaan antara teks yang dikutip dengan teks aslinya. Dan dengan mudah diketahui ada perubahan yang dilakukan oleh Chittick dari teks aslinya ketika ia menerjemahkannya kedalam bahasa Inggris. Pada teks yang pertama, telah terjadi pemotongan kalimat dari yang seharusnya, dan teks tersebut seharusnya diteruskan dengan kalimat (selengkapnya lihat di footnote 30):

“فرجعت الطرق كلها إلى طريق النبي ص م فلو كانت الرسل في زمانه لتبعه كما تبعت شرائعهم شرعه فإنه أوتي جوامع الكلم و ينصرك الله نصرا عزيزا”

Yang jika diartikan, maka semua jalan akan kembali kepada jalan Nabi Muhammad SAW, bahkan jika semua Rasul hidup di zamannya, maka mereka akan mengikuti Nabi Muhammad SAW, dan jika dibaca secara eksplisit maka jelas bahwa Ibn ‘Arabi meyakini, bahwa agama yang benar adalah Islam. Kata-kata inilah yang dipotong oleh W.C. Chittick untuk menetapkan bahwa Ibn ‘Arabi penganut pluralisme agama.

            Selain teks di atas ada juga teks yang berbicara tentang ke-nabian Muhammad yang diberikan secara eksklusif terhadap ummat Muhammad, sedangkan ummat yang lainnya tidak wajib mengikutinya, dan hal ini juga berlaku bagi semua ajaran agama. Ia mengutip:

Among the paths is the path of blessings. It is referred to in God’s words, To every one of you [messengers] We have appointed a right way and a revealed law [5:48]. The Muhammadan leader chooses the path of Muhammad and leaves aside the other paths, even though he acknowledges them and has faith in them. However, he does not make himself a servant except through the path of Muhammad, nor does he have his followers make themselves servants except through it. He traces the attributes of all paths back to it, because Muh}ammad’s revealed religion is all-inclusive. Hence the property of all the revealed religions has been transferred to his revealed religion. His revealed religion embraces them, but they do not embrace it.[30]

Melalui teks di atas W.C. Chittick ingin menyatakan bahwa agama nabi Muhammad hanya untuk ummatnya, dan agama-agama lainnya juga memiliki pengikutnya tersendiri, sehingga disebutkan bahwa dari pernyataan ini tidak ada agama yang salah – semuanya benar. Di sini W.C. Chittick ingin melakukan pembenaran melalui Ibn ‘Arabi, bahwa ia meyakini sikap beragama yang inklusif dan tidak terpaku pada satu kebenaran saja tapi meyakini semua kebenaran agama-agama.

            Dalam menafsirkan dan menerjemahkan teks ‘Among the paths is the path of blessings’, W.C. Chittick banyak sekali memotong kalimat yang didapatkan dari Ibn ‘Arabi dan menjauhkannya dari makna aslinya, bahkan seandainya ia berniat untuk melakukan ringkasan atas teksnya yang asli maka dengan jelas, terlihat bahwa ia telah melakukan pengalihan makna dari teks aslinya. Selanjutnya bisa dilihat maksud Ibn ‘Arabi yang sebenarnya, melalui potongan teks Ibn ‘Arabi (lihat teks aslinya di footnote 31) dan hal ini sebagaimana yang disebutkan:

  ” ثمّ قال: “فاتبعوه” = الضمير يعود على “صراطه”؛ و “لا تتبعوا السبل” = يعني شرائع ما تقدمه و مناهجهم, من حيث ما هو شرع لنا, لا من حيث ما كان شرعا لهم؛ – “فتفترقوابكم عن سبيله” = يعني تلك الشرائع (تبعدكم) عن “سبيله”, أي عن طريق الذي جاء به محمد ص م”

Dalam hal ini, bukan berarti Ibn ‘Arabi mengakui kebenaran shari’ah sebelumnya untuk diterapkan di zaman di mana risalah Muhammad diturunkan, akan tetapi risalah Nabi Muh}ammad SAW telah menghapus risalah yang ada sebelumnya, sehingga seorang muslim tidak boleh mengikuti shari’ah agama sebelumnya. Begitu juga jika dilihat dari teks asli Futuhat al-Makkiyyah dijelaskan bahwa jalan yang lurus hanyalah jalan yang dibawa nabi Muhammad SAW. Dan ketika diterjemahkan oleh W.C Chittick beralih maknanya menjadi; ‘setiap kaum harus mengikuti jalan ke-agama-annya masing-masing, dan semua kebenaran agama-agama telah dirangkul di dalam Islam.’

            Selanjutnya ada kecurangan intelektual yang dilakukan oleh W.C. Chittick yang ada di dalam kedua teks. Bahwa ia telah menyusupkan sebuah kalimat, yang tidak pernah ada, menjadi ada di dalam membaca kedua teks di atas. Yaitu kalimat all-inclusive, yang menurutnya, Muh}ammad dalam perspektif Ibn ‘Arabi meyakini kebenaran yang terbuka ditiap-tiap agama. Kalimat ini telah menjadi penyusup dan W.C. Chittick telah memaksakan makna yang tidak pernah ada terhadap teks Ibn ‘Arabi. Oleh karena itu perlu dilihat bahwa banyak kesalahan yang dilakukan oleh W.C. Chittick untuk menganugerahkan gelar pluralisme bagi Ibn ‘Arabi.

  1. 1.      Analisis Konsep; Wahdah al-Adyan (The Union of Religions)

            Selain dari konsep W.C Chittick yang dikutip dari Futuhat al-Makkiyyah ada juga teks yang dikutip oleh Frithjof Schuon, Huston Smith dan S.H. Nasr yang berasal dari Ibn ‘Arabi di dalam kitab Tarjuman al-Ashwaq yaitu salah satu karyanya yang berbicara dengan prosa-prosa puitis untuk mengekspresikan perasaan ekstasenya yang berisi kerinduan dan kecintaan. Teks itu berbunyi:

My heart is open to every form: it is a pasture for gazelles, and a cloister for Christian monks, a temple for idols, the Kaaba of the pilgrim, the tables of the Torah, and the book of the Quran. I practice the religion of Love; in whatsoever direction His caravans advance, the religion of Love shall be my religion and my faith[31]

Dari pernyataan di atas F. Schuon ingin menjelaskan, bahwa semua agama bersandar pada dasar ke-Tuhanan. Hal ini dikarenakan Tuhan telah berbicara dengan manusia dalam bahasanya sehingga kebenaran menjadi ortodoks, akan tetapi masalah ortodoksi ini bisa diselesaikan dengan memindahkan sifat ortodoksi dari yang local menuju yang univesal. Walau demikian perlu diakui bahwa kutipan Schuon di atas tidak mengalami distorsi dari segi penerjemahan, akan tetapi ada beberapa factor yang perlu dijelaskan secara konseptual.

            Dari teks di atas, perlu dijelaskan makna yang ditulis dalam Tarjuman al-Ashwaq, hal ini telah dijelaskan oleh Ibn ‘Arabi dalam Dakhair al-A’laq fi Sharh Tarjuman al-Ashwaq yaitu sebuah kitab yang ditulis untuk menjelaskan makna yang terkandung di dalamnya.[32] Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘hatiku telah terbuka terhadap semua jenis bentuk’, yang dimaksud dengan bentuk di sini adalah penggambaran ke-Tuhanan (al-tasawwur al-Ilahiyyah) yang terbolak-balik (Qalb = Taqallaba) ketika sang sufi mencapai pada tingkatan dan keadaan (alahwal) al-taj’liyah atau penyingkapan. Selanjutnya, kalimat ‘padang rumput untuk rusa-rusa’ diartikan bahwa mata rusa lebih tajam dari pada kuda, yang mengkiaskan mata Tuhan yang selalu melihat manusia, serta kalimat ‘gereja untuk biarawan’ ia sebut kata rahb yang diartikan ketakutan dan kegelisahan, di mana hati manusia menjadi dayr atau tempat dari ketakutan. Kalimat ‘kuil untuk berhala-berhala’ untuk kata-kata berhala ia menggunakan kata al-awthan yang memiliki makna lain yaitu hati yang tetap, di mana hati harus tetap dalam menyembah hanya untuk Allah, dan kalimat ‘Ka’bah bagi para peziarah orang-orang yang tawaf’’ diartikan dengan ruh tertinggi yang mengelilingi hatinya sehingga diibaratkan dengan Ka’bah. Dan ketika sang manusia telah mencapai Ilmu tentang Nabi Musa maka ia telah mencapai lembar-lembar Tawrah dan ketika ia telah mencapai ilmu Nabi Muhammad yang sempurna, maka hatinya telah menjadi lembaran-lembaran kitab yang berdiri di atasnya Al-Quran. Sedangkan kalimat terakhir yang berbunyi ‘aku beriman dengan agama cinta, kemanapun kendaraannya akan pergi maka agamanyalah agamaku dan imanku.’ Agama cinta dijelaskan oleh Ibn ‘Arabi sebagai agama Islam yaitu agama nabi Muhammad ia menukil dari Al-Quran:

ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq™7Åsè? ©!$# ‘ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur ֑qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ (Al-Imran :31)

Dan ia menjelaskan pula bahwa sebuah agama tidak akan sempurna kecuali jika berdiri di atas cinta, dan nabi Muhammad telah dianugerahi kesempurnaan cinta melebihi nabi-nabi lainnya.[33]

            Teks di atas digunakan oleh para penganut perennialisme untuk menjustifikasi bahwa Ibn ‘Arabi meyakini wahdah al-adyan atau sebagaimana yang diujarkan oleh S.H. Nasr sebagai the union of religions. Pandangan ini meyakini bersatunya semua kebenaran agama yang ada karena ia berasal dari Tuhan. S.H. Nasr menyebutkan bahwa wah}dah al-adyan sebagai sebuah tingkatan beragama, di mana Ibn ‘Arabi menetapkan bahwa tingkat beragama yang tertinggi adalah ketika manusia dapat keluar dari bentuk keagamaannya, dan masuk kedalam makna yang batin. Dan makna yang batin ini menurut Nasr telah melintasi bentuk-bentuk keagamaan.[34] Sehingga bagi para sufi yang telah mencapai wah}dah al-adyan maka ia telah melampaui bentuk-bentuk keagamaan.

            Penisbatan paham wah}dah al-adyan terhadap Ibn ‘Arabi bisa dilihat akarnya, dari pemahaman kalangan perennialis terhadap konsep wahdah al-wujud, yang meyakini bahwa tidak ada wujud kecuali wujud Allah. Teori ini merupakan konklusi dari argumentasi filosofis yang berkembang pada masa klasik, bahwa wujud Allah adalah wujud yang ada dengan sendirinya (Wajib al-Wujud bi Dzatihi), sedangkan wujud-nya makhluq adalah wajib tapi wajib-nya ada karena adanya Wujud yang Wajib (wajib al-wujud bi ghayrihi). Sehingga menurut Ibn ‘Arabi bahwa wujud yang adanya karena ada yang lainnya atau disebabkan dengan suatu penyebab maka ia adalah wujud yang mungkin (mumkin al-wujud), dan wujud yang mungkin setara dengan tidak ada (‘adam). Sehingga yang wujud ada hanyalah Wujud Allah, sedangkan wujud manusia dan alam semesta hanyalah cerminan (surah) darinya. Pada akhirnya Ibn ‘Arabi meyakini bahwa dalam penyingkapan, ketika seorang hamba telah mencapai tingkatan ‘arif bi Allah maka ia akan melihat cerminan Allah dalam alam semesta, penampakan itu bukanlah Allah tapi ia adalah cerminan darinya.[35] Dari teori tentang wujud ini W.C. Chittick kemudian mengembangkan teori tentang kebenaran pada tataran agama-agama dengan mencari pembenaran dari konsep Ibn ‘Arabi. Ia meyakini bahwa kebenaran yang mutlak hanyalah kebenaran Tuhan, dan semua kebenaran manusia adalah nisbi. Akan tetapi karena semua kebenaran berasal dari Tuhan maka ia memiliki ciri-ciri absoluditasnya, sebagai cerminan dari kebenaran Tuhan.[36] Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa kaum perennialis memahami konsep wahdah al-adyan, yang mereka yakini sebagai implikasi dari konsep wah}dah al-wujud.

            Selain dari kaum perennialis, pernyataan bahwa wahdah al-wujud adalah implikasi dari wahdah al-adyan pernah disimpulkan oleh Abu al-‘Ala al-‘Afifi, salah satu ilmuwan Tasawuf ternama, ketika ia menta’liq kitab Fusul al-Hikam. Menurutnya Ibn ‘Arabi memandang bahwa semua sesembahan di dalam semua kepercayaan (agama) adalah sama benarnya. Ia mengambil dari Fas al-Haruniyyah yang mengatakan bahwa pengetahuan yang sempurna adalah ketika telah tampak dalam diri seorang hamba ‘al-Haq’ di dalam semua sesembahan (ma’bud).[37] Akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh teks yang ada di dalam Fas al-Harniyyah penjelasan Ibn ‘Arabi sangat filosofis terkait dengan kisah Nabi Harun dan Samiri. Lalu ia mengambil hikmah dari kisah Nabi Harun, di mana Samiri menciptakan sesembahannya sendiri dan ketika Nabi Musa sedang pergi kemudian Nabi Harun yang telah tua tidak sanggup membendung keadaan yang terjadi dikalangan bani Isra’il.

            Selanjutnya, Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa para penganut perennialis mengakui semua bentuk penyembahan berada pada tataran surah atau cerminan Tuhan, hal ini merupakan pengembangan dari pendapat Ibn ‘Arabi yang menyatakan bahwa segala sesuatu adalah cerminan dari wujud Tuhan. Dalam masalah penyembahan, Ibn ‘Arabi menetapkan bahwa seorang hamba dalam beribadah kepada Allah harus menggunakan al-Hawa yang dimaksud di sini adalah al-iradah bi al-ma habah atau kehendak untuk mencintai. Dalam ‘al-Hub’ seorang hamba akan tersingkap baginya Al-Haq dan penampakan al-Haq ada di dalam alam semesta (di sini ia menyebutkan batu, kayu dsb). Oleh karena itu orang yang menyembah Allah melalui nama-namanya atau pada penampakannya di dalam alam semesta, menurut Ibn ‘Arabi dalam Fas al-Haruniyyah adalah benar. Di sinilah Ibn ‘Arabi melakukan analisis psikologis, bahwa manusia yang menyembah berhala sebenarnya melihat sisi-sisi ke-Tuhan-an di dalam alam semesta. Dalam hal ini Ibn ‘Arabi mengutip ayat, bahwa para penyembah berhala sebenarnya berniat untuk mendekatkan diri mereka dengan Allah: “و ما نعبدهم إلّا ليقربونا إلى الله زلفى”. Pernyataan ini kemudian diteruskan oleh Ibn ‘Arabi bahwa mereka para penyembah berhala takjub dengan model penyembahan yang dibawa oleh para Rasul, yaitu menyembah Allah yang satu, karena mereka terbiasa dengan Tuhan yang banyak, Ia menukil ayat: “أ تجعل آلهة إلها واحدا إن هذا إلّا شيء عجاب”. Dari penjelasan ini Ibn ‘Arabi mengkritisi sikap dan cara pandang paganisme bahwa mereka hanya mencukupkan diri dengan menyembah dari cerminan Allah yang menjelma di dalam alam semesta. Tapi mereka lupa dengan apa yang menjadi essensi dari alam semesta itu yaitu wujud Allah itu sendiri. Dan yang Allahlah yang sebenarnya menjadi tujuan penyembahan.[38]

            Dari penjelasan di atas bisa dilihat bahwa pembacaan dan pemahaman Abu al-‘Ala al-‘Afifi terhadap Ibn ‘Arabi dalam Fas al-Haruniyyah, bahwa Ibn ‘Arabi adalah penganut wahdah al-adyan, tidak sepenuhnya benar. Tapi perlu dilihat pula, bahwa apa yang dijelaskan oleh Ibn ‘Arabi tidak lain untuk menetapkan teorinya bahwa gambaran Tuhan menjelma di dalam alam semesta. Selain itu, Ibn ‘Arabi dalam Fas al-Haruniyyah belum menjelaskan posisinya tentang penyembahan kepada selain Tuhan dalam bahasanya, ‘hanya menyembah surah-nya saja’. Walau demikian, Ibn ‘Arabi sesungguhnya telah menjelaskan masalah ini dalam Fas al-‘Isawiyyah di mana ia mengatakan bahwa orang yang menyembah ‘Isa adalah Kafir, karena mereka telah menyembah surah Allah yang ada di dalam diri ‘Isa.  Ibn ‘Arabi mengutip sebuah ayat, و لقد كفر الذين قالوا إن الله هو المسيح عيسى ابن مريم, dari ayat ini Ibn ‘Arabi melihat bahwa kekafiran mereka bukan karena mereka menyebut ‘dia adalah Allah’ atau menyebutnya ‘dia anak Maryam’, akan tetapi kekafirannya disebabkan karena penisbatan Dzat ke-Tuhan-an pada shurah-nya yang ada di dalam diri ‘Isa.[39] Oleh karena itu dapat dilihat bahwa Ibn ‘Arabi menolak penyembahan shurah Allah, karena yang berhak disembah hanyalah Dzat Allah semata.

            Demikianlah Ibn ‘Arabi sebenarnya bukan penggagas atau tokoh pluralisme sebagaimana yang di sampaikan oleh kalangan pluralis – transendentialis, hal ini karena ia telah memposisikan dirinya yang menolak kebenaran agama lainnya. Selain itu studi kaum perennialis juga sering mengambil teksnya dan melakukan pemaknaan yang tidak sesuai dengan makna teks sebenarnya. Sehingga study yang mereka lakukan terhadap sufisme dan Ibn ‘Arabi khususnya, dalam mempertemukan kebenaran agama-agama, tidak objektif yang tidak lain untuk membenarkan keyakinan yang mereka anut.[40]

Pemahaman S.H. Nasr Terhadap Teks Maulana Jaluddin Al-Rumi [41]

            Maulana Jalaluddin al-Rumi menjadi salah satu tokoh favorit dalam kajian filsafat perennial, terbukti dari banyaknya karya yang ditulis tentang al-Rumi khususnya oleh Prof. William C. Chittick, di antaranya: The Sufi Path of Love The Spiritual Teachings of Rumi, Me & Rumi – The Autobiography of Shams i Tabrizi, dan The Sufi Doctrine of Rumi. Dalam studinya mengenai al-Rumi, Prof. W.C. Chittick tidak melakukan penyimpangan makna pada teks dalam permasalahan diversitas agama-agama, sebagaimana yang ia lakukan kepada Ibn ‘Arabi. Hal ini jelas terlihat dari studinya yang hanya fokus pada pemikiran al-Rumi dan hanya menjelaskan teks-teks yang ada dalam buku-bukunya. Dalam The Sufi Path Of Love dan The Sufi Doctrine Of Rumi ia mengumpulkan teks-teks karangan al-Rumi berdasarkan judul lalu menjelaskan teks-teks tersebut lalu mengkajinya secara teoritis, tanpa menyentuh masalah kebenaran agama-agama, sebagaimana yang ia lakukan terhadap Ibn ‘Arabi. Bahkan ia menjelaskan bahwa al-Rumi mengakui kebenaran semua Nabi-nabi tapi Nabi yang utama baginya adalah Nabi Muhammad.[42] Sehingga study Chittick terhadap al-Rumi tidak banyak mengandung muatan ideologis, walaupun dalam penjelasannya ia tidak melepaskan diri sebagai penganut perennialisme.

            Walaupun demikian, Selain W.C. Chittick ada S.H. Nasr yang mengidentifikasi bahwa al-Rumi sebagai salah satu pelopor dari teori Transendence Unity of Religions.[43] Untuk membenarkan teori di atas S.H Nasr mengutip pernyataan al-Rumi lalu mengaitkannya dengan doktrin pluralisme agama. Teks itu tertulis di dalam Fihi Ma Fihi di dalam bab ‘Abir al-Ma’shuq di mana al-Rumi berkisah tatkala ia pergi ke Antolia di Romawi, ia berbicara di dalam sebuah perkumpulan, di mana ada di antara mereka yang mu’min dan yang kafir. Tiba-tiba dipertengahan pembicaraan orang mu’min dan kafir sama-sama menangis. Kemudian ada orang yang terheran-heran dengan kisah tersebut dan kepada al-Rum: “apa yang mereka ketahui dan mereka kenal? Sesungguhnya engkau satu di antara seribu Muslim yang memahami perkataan ini, dan apa yang mereka ketahui hingga, mereka menangis?”. Lalu al-Rumi berkata:

“tidak perlu bagi mereka mengerti inti dari perkataan ini. Akar permasalahannya adalah kalimat itu sendiri, dan mereka memahaminya, yang paling penting bahwa setiap manusia menetapkan ke-esaan Allah, bahwa ia adalah pencipta dan pemberi rezeki, dan ialah yang mengatur segala hal, dan kepadanyalah segala sesuatu akan kembali, dan ialah yang menghukum dan mema’afkan. Dan ketika seseorang mendengar kalimat ini, yaitu yang berbicara tentang kebenarannya dan mengingat atasnya, maka ia akan merasakan kebingungan dan kerinduannya, karena dari kalimat ini telah datang harum sang kekasih dan kedambaan atasnya.

Walaupun jalannya berbeda, tapi tujuannya tetap satu. Tidakkah kau melihat banyaknya jalan menuju Ka’bah? – dan menurut sebagaian mereka ada jalan dari Roma… (dan banyak lainnya). Dan demikianlah jika kau tunjukkan jalan maka akan kau dapatkan perbedaan yang banyak tak terhingga. Akan tetapi ketika kau melihat dari pada maksudnya, maka kau akan mendapatkan disemua perbedaan itu sependapat dan satu. Semua hati manusia ingin menuju pada Ka’bah. Semua hati telah terikat, rindu dan cinta atas Ka’bah dan tidak ada perbedaan di dalamnya. Dan keterkaitan ini tidak bisa disebut Kafir atau Mu’min…

Walaupun jalannya berbeda tapi maksudnya tetap satu. Semuanya mencintai dan mendambakan Kebenaran/ Allah al-Haq), dan semuanya memiliki kebutuhan dan harapan atasnya. Mereka melihat bahwa tak seorangpun yang dapat mengatur permasalahan mereka kecuali Allah. Hal  ini bukan mu’min atau kafir…

Ketika seorang mu’min dan kafir duduk berdua dan mereka tak berucap apa-apa, maka mereka adalah sama saja.Tidak ada yang bisa memisahkan fikiran, dan alam bathin adalah alam yang bebas, karena fikiran sangat lembut dan tidak bisa di paksa. “kita menghukumi dengan apa yang nyata, dan Allah menguasai yang tersembunyi”. Kebenaran Allah SWT telah Nampak dalam fikiranmu, dan engkau tidak memiliki kekuatan untuk menjauhkannya dari fikiranmu dengan ribuan usaha sekalipun…

Oleh karena itu, fikiran ketika ia masih ada di dalam bathin tidak bernama dan tak ber-tanda, tak mungkin menghukumi kafir atau Islam. Tidak mungkin seorang hakim berkata: “di dalam hatimu apakah kau menetapkan ini atau kau menjual ini?” atau “bersumpahlah bahwa kau telah berfikir begini?” tidak mungkin ada Hakim yang berkata demikian, maka tidak ada justifikasi sesuatu yang ada di dalam hati. fikiran selalu terbang diudara, dan ketika ia terucapkan dalam pernyataan, ia menjadi mungkin untuk dihukumi kafir, Islam, baik atau buruk.”[44]

Dari teks di atas terlihat bahwa al-Ru@mi@ ingin berbicara tentang kebenaran, ia meyakini bahwa semua manusia memiliki kecenderungan terhadap kebenaran, dan manusia tidak dapat keluar dari kebenaran itu. Dari pernyataan al-Ru@mi@ di atas S.H. Nasr mencari pembenaran untuk menyatakan bahwa kebenaran Isla@m adalah universal, yang dimaksud dari universalitas di sini adalah bertemunya semua kebenaran. Sehingga tidak ada kebenaran berdiri di atas yang lainnya dan semuanya adalah sama benarnya.[45] Jika dilihat dari cara pengutipannya, S.H. Nasr tidak melakukan kesalahan, tapi ia salah dalam memahami makna dari pernyataan al-Ru@mi@ di atas. Sehingga pemahamannya terhadap teks perlu untuk diteliti ulang, dari maksud dari al-Ru@mi@ yang sebenarnya.

            Pendapat S.H. Nasr bisa dibuktikan dari analisis teks di atas tentang pandangan al-Ru@mi@ terhadap orang Ka@fir. Pertama perlu dipertanyakan mengapa ia menyebutkan Ka@fir?!, maka diawal terlihat bahwa al-Ru@mi@ telah melakukan dikotomi antara orang muslim dan orang kafi@r. Selanjutnya kalimat, “setiap manusia menetapkan ke-esaan Alla@h, bahwa ia adalah pencipta…” jelas bahwa al-Ru@mi@ yakin jika setiap orang mengakui akan ke-esaan dan kebenaran Alla@h, dan pandangan ini diakui oleh setiap Muslim dan Kafir. Pandangan al-Ru@mi@ tidak bertentangan dengan firman Alla@h:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ (Al-Zukhruf: 87)

Dapat dilihat bahwa keyakinan terhadap Alla@h sebagai Sang Pencipta telah diyakini oleh semua orang. Oleh karena itu ia mengatakan bahwa “Semua hati manusia ingin menuju pada Ka’bah.” Ka’bah menjadi sebuah acuan dari kebenaran, tapi mengapa al-Ru@mi@ menggunakan kata-kata ‘Ka’bah’, yang merupakan tempat suci umat Isla@m? Hal ini tidak lain adalah agama Isla@m, bahwa Isla@m adalah tempat di mana manusia sanggup mencapai al-H}aq. Selanjutnya, ketika dikatakan “Kebenaran Alla@h SWT telah Nampak dalam fikiranmu, dan engkau tidak memiliki kekuatan untuk menjauhkannya dari fikiranmu walau dengan ribuan usaha sekalipun” maka dapat dimaknai bahwa kebenaran Alla@h adalah nyata dan ia telah ada difikiran manusia sejak awal. Dan tentunya dalam alam fikirannya manusia mengamini ke-esaan Tuhan, sehingga pada tataran bat}in tidak ada muslim atau ka@fir. Tapi ketika diucapkan dalam perkataan, barulah dapat dihukumi antara orang yang muslim dan ka@fir, oleh karena itu al-Ru@mi@ mengutip pernyataan: “kita menghukumi dengan apa yang nyata, dan Alla@h menguasai yang tersembunyi”. Yang berarti menghukumi ka@fir hanya bisa dilakukan jika telah diucapkan dalam kata-kata atau sudah nyata dan jelas. Di dalam fikiran sesuatu tak bisa di identifikasi, tapi ketika sudah diucapkan dalam pernyataan atau perbuatan maka dapat dihukumi. Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa al-Ru@mi@ pada dasarnya bukan ingin menetapkan bahwa semua agama sama, tapi ia bahkan menganalisis psikologi manusia yang semuanya memiliki kecenderungan terhadap Kebenaran eksistensi Alla@h.

            Selain dari teks di atas S.H. Nasr juga menukil teks yang diambil dari Sya’ir yang ditulis oleh al-Ru@mi@. Dalam hal ini S.H. Nasr menukil dari al-Ru@mi@, dalam karyanya Religion and The Order of Nature, ia menyebutkan sebuah Sya’ir dari al-Ru@mi@:

The difference among creatures issues from forms (surah)

When one reaches the world of meaning (ma’na) there is peace

O pith of existence, it is as a result of the difference in perspective

That contention has come about between Muslims, Zoroastrians, and Jews.[46]

Seperti teks sebelumnya, dari teks ini S.H. Nasr ingin menekankan pentingnya konsep kesatuan agama-agama, dalam realitas keber-agamaan. Ia melihat keharusan praktek beragama pada tataran esoteric, yang tidak lagi mengintimidasi terhadap bentuk ke-agamaan yang lainnya, karena semua perbedaan disatukan dalam makna yang esoteric. Yang berarti semua kebenaran agama-agama sama dan setara.[47]

            Dalam menerjemahkan teks di atas, S.H. Nasr langsung mengambil dari teks aslinya dalam bahasa Persia, dan ia tidak menulis rujukan yang digunakannya. Akan tetapi jika ditelusuri dari terjemahan Raymond A. Nicholson akan didapati kemiripan dengan terjemahannya, bahwa teks tersebut merupakan kitab al-Matsnawi@ juz ke III dalam Sya’ir No. 1259, ia menerjemahkan:

The lamps are different, but the Light is the same: (it comes from Beyond)

If thou keep looking at the lamp, thou art lost: for thence arises the appreance of number and plurality

Fix the gaze upon the Light, and thou art delivered from the dualism inherent in the finite body

O thou who art the kernel of Existence, the disagreement between Moslem, Zoroastrian and Jew depends on the standpoint.

Dari kalimat ini R.A. Nicholson memberikan sebuah catatan kaki yang merupakan pendapatnya mengenai teks, bahwa “agama itu banyak tapi Tuhan itu Satu. Daya intellect hanya meraba di kegelapan, ia tidak bisa menemukan bentuk untuk Realitas-Nya. Hanya mata peramal dan pengelihatan mistis, yang bisa melihat-Nya secara nyata.” Yang berarti Tuhan yang satu tidak bisa dicapai dengan daya intelektual dalam agama-agama, dan ia hanya dapat dicapai melalui jalan mistisme, yang melampaui semua agama.[48] Pernyataan R.A. Nicholson, sebagai seorang orientalis yang banyak mengkaji tentang tas}awuf, serupa dengan pendapat S.H. Nasr, bahwa al-Ru@mi@ adalah seorang yang pluralis.

            Teks di atas ditulis oleh al-Ru@mi@ ketika ia berkisah tentang pergolakan antara Fir’aun dan Nabi@ Mu@sa@. Dari kisah ini al-Ru@mi@ mengambil sebuah hikmah tentang perbedaan sudut pandang antara manusia. Nicholson memang telah menerjemahkan teks al-Ru@mi@ dalam al-Matsnawi@ secara keseluruhan, akan tetapi dalam menilai teks ini ia terkesan terlalu cepat dalam menyimpulkan makna dari teks yang ada. Apa lagi jika ia berpendapat ‘agama itu banyak tapi Tuhan itu Satu’ dan serta merta melihat bahwa al-Ru@mi@ adalah pluralis. Oleh karena itu, untuk memahami al-Ru@mi@ perlu dilihat makna dari teks secara keseluruhan.

            Untuk memahami secara keseluruhan untuk menentukan dimana al-Ru@mi berposisi. Perlu dilihat bahwa al-Ru@mi@ mencari hikmah dari kisah Mu@sa@ dan Fir’an. Kemudian al-Ru@mi@ menjelaskan bahwa yang terjadi antara Mu@sa@ dan Fir’aun adalah perbedaan sudut pandangan. Dan bukan berarti al-Ru@mi@ meng-iya-kan ke-kafir-an Fir’aun, akan tetapi al-Ru@mi@ hanya ingin melihat bahwa disitu ada dua sudut pandang yang berbeda antara Mu@sa@ dan Fir’aun atau antara mu’min dan kafir.[49] Bahkan masalah mu’min dan ka@fir telah dijelaskan oleh al-Ru@mi@, setelah ia bercerita tentang kisah Mu@sa@ dan Fir’aun. Hal ini bisa dilihat dari teks yang ditulisnya ia mengatakan bahwa cinta/ ‘Ishq hanya dibolehkan kepada Allah semata tidak dibenarkan adanya cinta kepada benda ciptaan sebagaimana orang Majusi yang menyembah dan mencintai berhalanya. Selain itu ia juga menceritakan sebuah kisah ketika ada seseorang yang bertanya kepadanya dengan nada ingin berdebat, dan ia mempertanyakan dua Hadits yang bertentangan. Yang pertama adalah Hadits, الرضا بالكفر كفر dan yang kedua من لم يرض بقضائي فليطلب ربا سواي. yang satu berkata bahwa siapa yang ridha dengan kekafirannya orang ka@fir maka ia telah ka@fir, dan yang lainnya berkata, barang siapa yang tidak ridha dengan qad}a’-Ku maka agar mencari Tuhan selain Aku. Dua teks ini bertentangan dalam masalah qad}a’ dan ka@fir, pertanyaannya, bagaimanakah jika kekafiran itu bagian dari qad}a’ Alla@h SWT?! Dalam hal ini al-Ru@mi@ memberikan jawabannya, bahwa ia ridha dengan ‘ke-kafir-an’, dalam konteks, ia adalah qad}a’ dari Alla@h. Akan tetapi ia menolak ke-ka@fir-an yang merupakan hasil dari perdebatan dan kekejian.[50] Oleh karena itu bisa dilihat posisi al-Ru@mi@, yang dengan jelas menolak kekafiran terhadap ajaran Isla@m.

            Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa penisbatan al-Ru@mi@ terhadap konsep Transendence unity of Religions tidak benar dan hanya muncul dari pemahaman yang salah terhadapnya. Walau demikian usaha yang dilakukan kaum perennialis tidak hanya berhenti disitu, selain mengkaji karya al-Ru@mi@ seperti Fi@hi ma@ Fi@hi dan Matsnawi@ mereka juga sering menukil dari Diwan Shams i al-Tabri@zi@,[51] dan ia mengambil kata-kata yang bisa ditafsirkan bermacam-macam makna, yaitu hasil dari potongan teks yang menyeluruh. Setelah itu tanpa dilandasi dengan penjelasan yang menyeluruh kemudian dikaitkan dengan konsep kesatuan agama-agama. Sehingga al-Ru@mi@ ketika dipahami dari karya-karya kalangan perennialis terkesan bahwa ia adalah penganut konsep kesatuan agama-agama.

  1. A.    Abd l-Kari@m al-Ji@lli@ Dalam Memandang Agama Selain Isla@m

              Al-Ji@lli@[52] sebagai seorang tokoh sufi terbesar dizamannya, jarang sekali disebutkan dikalangan perennialisme sebagaimana para pendahulunya yaitu Ibn ‘Arabi@ dan al-Ru@mi@. Begitu juga tentang karya-karya di antara kalangan perennialis belum ada satupun yang menulis tentangnya. Namun, ia pernah sekali disebutkan di dalam karya yang ditulis oleh S.H. Nasr dalam Living Sufism yang menyebut bahwa al-Jilli dalam kajiannya dikitab Insa@n al-Ka@mil fi@ Ma’rifah al-Awa@khir wa al-Awa@’il tentang agama-agama selain Isla@m. Dalam kajiannya, al-Ji@lli@ menurut S.H. Nasr mengakui kebenaran di dalam agama Hindu. Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh Nasr:

ahli kitab dibedakan kedalam banyak golongan. Mengenai orang barahiman (Hindu) diakui bahwa mereka termasuk penganut Ibra@him dan bahwa mereka adalah keturunannya dan memiliki cara beribadah sendiri… orang barahimah memuja Tuhan tanpa mengikuti petunjuk nabi@ atau rasu@l. Dalam kenyataannya, mereka menyatakan bahwa dunia wujud ini tidak lain adalah ciptaan Tuhan. Mereka mengakui ke-esaan Wuju@d-Nya, namun nabi@-nabi@ dan rasu@l sama sekali. Pemujaan mereka terhadap Yang Benar, serupa dengan pemujaan yang dilakukan oleh nabi@-nabi@ sebelum memperoleh nubuwat. Mereka mengaku sebagai putera Ibra@him AS, dan menyatakan bahwa mereka memiliki kitab yang ditulis oleh Ibra@him sendiri, selain itu mereka mengatakan bahwa kitabnya berasal dari Tuhan. Di dalamnya kebenaran dibicarakan dan terdiri dari lima bagian. Mengenai yang empat bagian setiap orang diperbolehkan membacanya. Namun bagian yang kelima, tidak diperbolehkan dibaca oleh semua orang kecuali sebagian kecil kelompok mereka, disebabkan kedalamannya dan kandungannya yang tak terhingga. Mereka tahu bahwa siapa yang membaca bagian kelima dari kitab mereka akan dipeluk oleh Isla@m dan masuk agama Muhammad SWT.”[53]

Dari teks di atas S.H. Nasr ingin menyebutkan bahwa di dalam agama Hindu merupakan Di@n al-H{ani@f  dan dalam hal ini Isla@m mengakui kebenaran agama Hindu. Berdasarkan teks inilah lalu Nasr menggenarilisir terhadap semua Sufi, bahwa ketika mereka mengkaji tentang Hindu dan Kristen maka mereka menyelami metafisikanya serta mencari unsure-unsur ke-Tawh}i@d-an dan kebenaran di dalamnya.[54] Di sinilah S.H. Nasr ingin mencari pembenaran, bahwa kaum sufi pun mengakui kebenaran agama lainnya.

            Menarik untuk dilihat bahwa teks yang dikutip oleh S.H. Nasr pada dasarnya telah menjadi senjata balik baginya, karena apa yang dimaksudkan al-Ji@lli@ bukanlah demikian. S.H Nasr dalam menukil teks Insa@n al-ka@mil telah melakukan penyimpangan makna yang telah menjadi inti dari pendapat al-Jilli, ia berkata:

… و هم معروفون بينهم بعبادة الوثن فمن عبد منهم الوثن فلا يعد منهم طائفة عنده، و كل هذه الأجناس السابق ذكرها لما ابتدعوا هذه التعبدات من أنفسهم كانت سببا لشقوتهم

Terjemahan bebasnya: dan mereka dikenal sebagai penyembah berhala, dan di antara para penyembah berhala mereka masih terhitung salah satunya, dan setiap kepercayaan yang telah disebutkan (di sini al-Jilli menyebutkan kaum Naturalis, Filosof, Tsanawyah, Maju@si, al-Hayu@la, al-Dahriyah dan salah satunya Barahmiyah), ketika mereka menciptakan peribadatan baru maka itulah yang menyebabkan kesengsaraan mereka. Di sini al-Ji@lli@ menyebutkan bahwa agama Hindu adalah agama yang celaka dan sengsara (shaqa@wah), salah satu penyebabnya, karena mereka menolak daripada ajaran para rasulnya. Kemudian al-Ji@lli@ menyimpulkan, bahwa kesengsaraan itu dikarenakan mereka meninggalkan ajaran para Rasu@l dan mulai menyembah berhala, sedangkan para Rasu@l diutus karena membawa kebahagiaan yang terus menerus.[55]

              Selain dari pada agama-agama di atas, al-Ji@lli@ juga berbicara tentang agama Yahu@di dan Nas}rani. Agama Yahu@di menurutnya adalah agama yang beriman kepada Alla@h dan S{alat sehari dua kali, dan mereka adalah umat yang selalu beribadah kepada Alla@h. Dan ia mengungkapkan, bahwa ada hal-hal yang tersembunyi dari peribadatan kaum Yahu@di. Selain itu Al-Ji@lli@ juga mengatakan tentang agama Nas}rani di mana agama itu menurutnya lebih mendekati Kebenaran (Al-H{aq) dibanding agama lainnya.[56] Tapi pada akhirnya dia menetapkan bahwa shari’ah agama sebelumnya belum sempurna, dan shari’ah Muh}ammad-lah yang telah sempurna, sehingga mengikutinya adalah kewajiban. Hal ini sebagaimana yang ia tulis tentang Isla@m:

“و أمّا المسلمون فاعلم أنهم كما أخبر الله تعالى عنهم بقوله: (كنتم خير أمة أخرجت للناس) لأن نبيهم محمدا ص م خير الأنبياء، و دينه خير الأديان، و كل من هو بخلافهم من سائر الأمم بعد نبوة محمد ص م و بعثه بالرسالة كائنا من كان فإنه ضالّ شقيّ معذّب بالنار.[57]

Dalam pernyataan ini jelas sekali bahwa al-Ji@lli@ ingin menetapkan bahwa siapa saja yang telah mendengar tentang ke-nabi@an Muh}ammad dan belum beriman maka ia akan berada di dalam kesesatan (d}a@l) dan kesengsaraan (Shaqiy), serta akan diadzab dihari akhir (mu’adhab bi al-Na@r). Oleh karena itu dapat dilihat bahwa al-Ji@lli@ menyatakan bahwa semua shari@’ah yang telah ada sebelum Nabi@ Muh}ammad telah terhapus, dan penolakan atas kenabi@annya adalah dosa dan akan di siksa di dalam api neraka.

  1. B.     Kesimpulan

            Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam pembacaannya, setidaknya ada dua jenis model pendistorsian teks Tas}awuf ketika dinukil kedalam karya-karya mereka, yang pertama distorsi secara tekstual, di mana di sini sang pengkaji dari kalangan perennialis, biasanya menggunting teks menjadi setengah, atau melakukan penyusupan kata yang seharusnya tidak ada. Dan yang kedua adalah distorsi secara konseptual, yaitu merubah makna yang ada, atau hanya mengambil bagian dari teks yang maknanya bisa ditarik sesuka hati tanpa menjelaskan teks itu secara keseluruhan. Distorsi ini terjadi, khususnya ketika mereka membaca teks untuk membenarkan konsep Transendent Unity of Religions, atau ide menyatukan kebenaran agama-agama. Sehingga pembahasan mereka bukanlah pembahasan yang objektif dan memaksa sang objek atau teks itu sendiri untuk tunduk terhadap ideology yang mereka bawa. Di sini perlu dicermati pernyataan Dr. Syamsuddin Arif terhadap kajian-kajian tasawuf gaya perennialisme, khususnya yang dibawa oleh F. Schuon, S.H. Nasr, H. Smith dan W.C. Chittick:

Kaum pluralis transendentialis (atau disebut juga Perennialis) juga giat mencari pernyataan-pernyataan Ibn ‘Arabi yang dapat diplintir sesuka hati. Ini biasanya disertai dengan interpretasi yang bersifat rekaan. Lebih kacau lagi, dan ini yang perlu dicermati, adalah praktik menggunting dan membuang bagian asli dari teks asli yang tidak mendukung asumsi mereka.”[58]

Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa kaum perennialis hanya mengambil pembenaran dari ajaran Isla@m, khususnya dari ajaran sufisme.

            Diakhir kalimat perlu ditekankan bahwa, kaum sufisme tidak menggagas ide pluralisme. Mereka meyakini bahwa semua orang baik kafir atau mu’min memiliki kecenderungan mengesakan Alla@h, dan mereka tahu akan kebenaran ajaran yang dibawa oleh nabi@ Muh}ammad. Akan tetapi mereka kafara atau menutupi (satara) kebenaran yang seharusnya. Inilah pemahaman kaum Sufisme terhadap kebenaran, di mana semua kebenaran dalam agama-agama telah dihapus dengan datangnya ajaran Isla@m.



                [1] Filsafat Perennial sebagai perspektif. lihat di Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyudi Nafis. Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Cet: 1. 2003) p. 151 – …

                [2] Dr. Jami@l S{a@liba memaknai kata al-h{ikmah dalam 5 arti: 1. Menurut orang Yunani al-h{ikmah berarti Ilmu. 2. Al-h{ikmah berarti sifat yang bijaksana yang merupakan bentuk dari kekuatan akal yang menengahi antara sifat keji dan kebodohan. 3. Al-h{ikmah disebut juga sebagai pernyataan yang singkat tapi maknanya luas. 4. Al-h{ikmah al-Ila@hiyyah (Theosophy). berarti ilmu yang berbicara tentang wujud. 5. al-h{ikmah al-mant}uq yaitu ilmu shari’ah dan t}ariqah, sedangkan al-h{ikmah al-maskut. yaitu ilmu yang tersembunyi dari t}ariqah. yang tidak bisa dikenali oleh orang biasa. Dan kata h}ikmah sering disamakan dengan kata Filsafat. Lihat di al-Mu’jam al-Falsafi@. (Beirut-Lebanon: Da@r Al-Kutub. Cet:1 1971).  p. 491-493.

[3] Oxford Advanced Learner’s Dictonary Of Current English. (New York: Oxford University Press. 8th edition 2010) p. 1088

                [4] Karl Jasper, The Perennial Scope Of Philosophy. (London:Routledge & Kegan Paul LTD. 1st Published. 1950). p. 24-25, filsafat perennial ia sebut juga dengan nama the philosophy of faith, yaitu filsafat tentang ke imanan yang ada di dalam setiap filsafat.

            [5] Aldous Huxley, The Perennial Philosophy. (London: Chatto & Windus & Oxford University Press. 2nd impression. 1947) p. 1, ia berkata: “Philosophia Perennis –  the phrase was coined by Leibniz ; but the thing the metaphysic that recognizes a divine Reality substantial to the world of things and lives and minds ; the psychology that finds in the soul something similar to, or even identical with, divine Reality; the ethic that places man’s final end in the knowledge of the immanent and transcendent Ground of all being the thing is immemorial and universal. Rudiments of the Perennial Philosophy may be found among the traditionary lore of primitive peoples in every region of the world, and in its fully developed forms it has a place in every one of the higher religions.”

[6] Seyyed Hossein Nasr. Knowledge And The Sacred. (Edinburgh University Press). p. p. 67

[7] Lihat di Abu@ ‘Ali Ah}mad Bin Muh}ammad Miskawaih. al-H{ikmah Al-Kha@lidah / Javidan Khirad. Tah}qiq: ‘Abd Al-Rahma@n Al-Bada@wi@. (Beirut: Da@r al-Andalu@s. 2000)

                [8] Lihat di preface yang ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr. di dalam buku karya Frithjof Schuon. Islam And The Perennial Philosophy. (Lahore. Pakistan: Suhail Academy. 2nd Impression. 1999). p. vii – …

                [9] Lihat dibukunya Frithjof Schuon. Transcendence Unity of Religions. (USA: Quest Book. 2nd printing 2005) P. 40-41.

                [10] Pandangan yang menyatakan bahwa gerakan Theosophy berkaitan erat dengan Freemasonry, dan keduanya sangat berkaitan erat dengan gerakan Filsafat Perennial, dapat dilihat di Henrik Bogdan, Western Esotericism and Rituals of Initiation, (New York: University of New York, 2007)

                [11] Lihat di Adnin Armas. ‘Gagasan Frithjof Schuon tentang Titik Temu Agama-Agama’. di jurnal Islamia – Di Balik Paham Pluralisme Agama. (Jakarta: Khairul Bayan Thn 1 No 3. September – November 2004) p. 9 – 18. Dan lihat juga dalam makalah yang ditulisnya, berjudul: Freemason dan Gagasan Pluralisme Agama, (Kemang Pratama, Bekasi: Makalah ini disampaikan di Mesjid BAbu@t Taubah, pada tanggal 12 Mei 2007) Adnin Armas menyebutkan bahwa René Guénon adalah penggiat freemasonry dan penganut theosophy yang kuat, sehingga sangat dimungkinkan bahwa Guénon membawa ide di freemasonry dan memperkenalkannya dalam bentuk filsafat perennial.

                [12] Lihat di René Guénon. Fundamental Symbols The Universal Language of Sacred Science. (Lahore. Pakistan: Suhail Academy. 1st Published. 2001).

                [13] Kevin L. Gest. The Secrets Of Solomon Temple. Discover The Hidden Truth That Lies At The Heart Of Freemasonry. (USA: Fair Winds Press. 1st Published. 2007). p. 107 atau lihat juga karya Seyyed Hossein Nasr yang banyak mengutip ajaran-ajaran kuno sebagai landasan. Religions And The Order Of Nature. (New York: Oxford Press. 1996) p. 29.

                [14] René Guénon. The Crisis Of The Modern World. (Lahore. Pakistan: Suhail Academy. 2nd Impression. 2001). p. 37 – … bisa dilihat bahwa Seyyed Hossein Nasr sangat terpengaruh oleh René Guénon ketika berbicara tentang the sacred science atau traditional science.

                [15] Kevin L. Gest. The Secrets… p. 149.

                [16] dari karya Frithjof Schuon. Light On The Ancient Worlds. (Lahore. Pakistan: Suhail Academy. 1st Published. 2004). p. 136 – …

                [17] Lihat di John Fellows. A.M. The History of Freemasonry or An Exposition of Religious Dogmas And Custom of The Ancient Egyptians…. (London: William Reefes 185 Fleet Street. E.C) p. 9-…

                [18] Lihat di René Guénon. The Crisis Of The Modern World …

                [19] Lihat di Whitall N. Perry. Challenges to a Secular Society. (Lahore. Pakistan: Suhail Academy. 1st Published. 2005).

                [20] Frithjof Schuon. Esoterism As Principle And As Way. (Lahore. Pakistan: Suhail Academy. 1st Published. 2005). p. 1-45. Atau lihat juga di J. B. Aymard & P. Laude. Frithjof Schuon Life And Teachings. (Lahore. Pakistan: Suhail Academy. 1st Published. 2005) p. 79-106.

                [21] Untuk lebih lengkapnya pembahasan Frithjof Schuon terhadap ortodoksi agama-agama dapat dilihat di. Stations Of Wisdom. (Lahore. Pakistan: Suhail Academy. 1st Published. 2001). p. 13 – …

                [22] Pembahasan Guénon dapat dengan jelas dilihat dalam tulisannya di The Crisis Of The Modern World … p. 15 – … yang berjudul: The Opposition Between East and West. Atau lihat juga artikel yang ditulis oleh Renaud Fabbri.. Introduction to the Perennialist School. Religioperennis.org. diakses pada: 1 Mei 2011.

                [23] Lihat di Frithjof Schuon. Islam And The Perennial Philosophy. (Lahore. Pakistan: Suhail Academy. 2nd Impression. 2001) p. 119.

                [24] Schuon ketika berbicara tentang Al-Ghazali. ia berkata bahwa ada dua jenis model cara orang dalam beragama: “this means that in Islam. two “religions” meet. combine. and sometimes confront one another: to outward religion – that of revelation and the law – and the religion of the heart. of intellection. of immanent liberty; they combine inasmuch as the outward religion procceds from the inward religion. but they are in opposition inasmuch as the inward and essential religion is independent of the outward and formal religion.” Lihat di Frithjof Schuon. Esoterism As Principle… p. 230.

                [25] R.A.  Nicholson. al-Shu@fiyah Fi@ al-Isla@m. (Kairo: Maktabah Al-Khanji. Tab’ah 2. 2002)  p. 19 – …

                [26] Abu@ al-Wafa@’ al-Ghaynami@ al-Taftaza@ni@. Madkhal Ila@ al-Tas}awuf al-Isla@miy. (Kairo: Da@r Al-Thaqafah li@ al-Nashr wa al-Tauzi’, Tab’ah 3) p. 34. Pandangan ini juga ditulis oleh Syamsuddin Arif. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. (Jakarta: Gema Insasi Press. Cet: 1. 2008) p. 58-74

                [27] Seyyed Hossein Nasr. The Need for a Sacred Science. (USA: Curzon Press Ltd. 1st published, 1995) p. 6-…

                [28] Nama aslinya adalah Abu@ ‘Abd Alla@h Muh}yi Al-Di@n Ibn ‘Aly Ibn Muh}ammad Ibn ‘Arabi@ Al-Hatimy. dilahirkan tanggal 18/ 28 Ramad}an tahun 560 H atau 28 juli 1165. Beberapa karya besar telah ditulisnya. di antaranya karya-karya besarnya adalah Futuh}a@t al-Makkiyyah. Fus}u@s} al-H{ika@m. dan Tarjuma@n al-Ashwa@q. Lihat di Nas}r H}a@mid Abu@ Zayd. Hakadha Takallama Ibn ‘Arabi@. (Mesir: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A@mmah li al-Kita@b. 2002)  p. 39 – …

[29] William C. Chittick. Imaginal Worlds : Ibn ‘Arabi@ and the Problem of Religious Diversity SUNY Series in Islam. State University of New York Press. 1994. hal: 125. Dan ia juga menulis ulang kata-kata ini dalam, Faith and Practice of Islam, Three Thirteen Century Sufi Texts, (Lahore. Pakistan: Suhail Academy. 1st Published. 2004). p. 184. Terjemahan bebasnya; “Semua agama wahyu (Syar’i) adalah cahaya. Di antara agama-agama tersebut. agama yang dibawa nabi Muh}ammad adalah seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang-bintang. Ketika matahari menampakkan dirinya. cahaya bintang-bintang akan tersembunyi dan cahaya mereka menyatu dengan cahaya matahari. Cahaya mereka yang tersembunyi seakan-akan terbatalkan oleh munculnya agama yang lainnya yaitu agama yang dibawa oleh Muh}ammad. Walaupun demikian. mereka tetap eksis. sebagaimana eksistensi cahaya bintang-bintang yang nyata. Ini menjelaskan mengapa “kita seharusnya memerlukan dengan segala keterbukaan hati kita terhadap inklusifitas agama” agar kita beriman dengan semua utusan dan semua wujud dari agama. Penyembunyian cahaya itu. tidak menjadikan agama yang lalu terbatalkan – pembatalan itu tidak lain adalah pernyataan dari orang yang bodoh.”

Lihat teks aslinya di Ibn ‘Arabi@. Futuh}a@t al-Makkiyyah. diambil dari University Of Toronto Libarary. tanpa penerbit dan Tanggal. Hal: 176. bab: 339. Ibn ‘Arabi@ mengatakan:

“و الشرائع كلها أنوار و شرع محمد صلي الله عليه و سلم بين هذه الأنوار كنور الشمس بين أنوار الكواكب و إذا ظهرت الشمس خفت أنوار الكواكب و اندرجت أنوارها في نور الشمس فكان خفاؤها تطير ما نسخ من الشرائع بشرعه النبي ص م مع وجود اعيانها كما يتحقق وجود انوار الكواكب و لهذا ألزمنا في شرعنا العام ان نؤمن بجميع الرسل و جميع شرائعهم إنها حق فلم يرجع بنسخ باطلا ذالك ظن الذين جهلوا فرجعت الطرق كلها إلي طريق النبي ص م فلو كانت الرسل في زمانه لتبعه كما تبعت شرائعهم شرعه فإنه أوتي جوامع الكلم و ينصرك الله نصرا عزيزا

            [30] William C. Chittick. Imaginal Worlds… p. 145-146. Terjemahan bebasnya; “Semua jalan adalah jalan yang di rahmati. hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Tuhan. “kepada setiap dari kalian (para utusan). telah kami tetapkan jalan yang benar (Shir’ah) dan hukum-hukum wahyu (Minhaj). Pemimpin Muh}ammad memilih jalan Muh}ammad dan meninggalkan jalan yang lainnya. walaupun di antara mereka ada yang mengakui dan beriman terhadap kebenaran yang lain. Bagaimanapun juga ia tidak menjadikan dirinya ‘hamba’ kecuali melalui jalan Muh}ammad. Mereka telah melalui atribut di setiap jalan telah kembali kepada jalan Muhammad. karena agama wahyu milik Muh}ammad. bersifat inklusif. Karenanya jika doktrin semua agama wahyu ditransfer kedalam agama Muhammad. Agamanya akan merangkul semua keyakinan agama yang ada. walau  mereka tidak memeluknya.”

Lihat teks aslinya di Muh}yi l-Di@n Ibn ‘Arabi@. Futuh}a@t al-Makkiyyah al-Safar al-Ra@bi’ ‘Ashar (14).  dengan tah{qi@q: Dr. Uthman Yah}ya (Mesir: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A@mah li al-Kita@b. cet: 2. 1985)  p. 295-296

“قال تعالى: (لكل جعلنا منكم شرعة و منهاجا) و الشرعة هي أحكام الطريقة التي في قوله: و منهاجا. فكل مجعولة بجعل الله. فمن مشى في غير طريقه التي عين الله له المشي عليها. فقد حاد عن “سواء السبيل” التي عين الله له المشي عليها. كما أن ذلك الآخر لو ترك سبيله التي شرع الله له المشي عليها. و سلك على سبيل هذا. سميناه “حائدا عن سبيل الله” و الكلّ. بالنسبة إلى واحدا واحد “على صراط المستقيم” فيما شرع له.

و لهذا “خطّ رسول الله ص م خطّا و خطّ عن جنبتى ذلك الخطّ خطوطا” فكان ذلك “الخط” شرعه و منهجه الذي بعث به. و قيل له: “قل لأمتك تسلك عليه و لا تعدل عنه” و كانت تلك “الخطوط” (التي) عن جنبتيه شرائع الأنبياء التي تقدمته. و النوامس الحكمية الموضوعة (التي سبقته) – ثم و ضع يجه على الخط و تلا (و أن هذا صراطي مستقيما) = فأضافه إليه. و لم يقل “صراط الله”؛ و وصفه بالاستقامة. و ما تعرض لنعت تلك الخطوط. بل سكت عنها. ثمّ قال: “فاتبعوه” = الضمير يعود على “صراطه”؛ – “و لا تتبعوا السبل” = يعني شرائع ما تقدمه و مناهجهم. من حيث ما هو شرع لنا. لا من حيث ما كان شرعا لهم؛ – “فتفترقوابكم عن سبيله” = يعني تلك الشرائع (تبعدكم) عن “سبيله”. أي عن طريق الذي جاء به محمد ص م. و لم يقل : “عن سبيل الله” = لأن الكلّ سبيل الله. إذ كان الله غايتها. – “ذالكم وصاكم به لعلكم تتقون” = أي تتخذون تلك السبيل وقاية تحول بينكم و بين المشي على غيره من السبل.”

Jika dibandingkan dari teks di atas dengan teks kutipan banyak sekali pernyataan-pernyataan yang dikutip atau dikutip tapi di jauhkan oleh W.C Chittick. dan membuat makna di dalam teks aslinya tidak lagi kelihatan. Tentang صراط المستقيم Ibn ‘Arabi@ telah menjelaskan bahwa jalan kebenaran yang berasal dari Tuhan. (Lihat di p. 294) dan di sini Ibn ‘Arabi@ meyakini jalan yang lurus atau jalan menuju Tuhan hanya dapat ditempuh melalui risalah yang dibawa oleh nabi Muh}ammad. SAW.

                [31] Teks ini pernah dikutip oleh Seyyed Hossein Nasr. lihat di Thalathah al-Hukama@’ al-Muslimi@n. Diterjemahkan oleh S}alah} S{alwi dari judul aslinya: Three Muslims Sages (Beirut: Da@r al-Naha@r li al-Nashr. cet: 1. 1971) p.152-153 dan di buku The Garden Of Truth, The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition, diterjemahkan oleh: Yuliani Liputo, dalam judul: The Garden Of Truth, Mereguk Sari Tasawuf (Bandung: Mizan Media Utama, Cet: 1, 2007) p. 261, atau lihat juga di Lihat di Huston Smith, Islam a Conscise Introduction, (USA: Harper Collins.Inc, 2007) p. 87. Atau di Frithjof Schuon. Understanding Islam. (USA: World Wisdom. 1998) p. 36-37. Di Indonesia teks ini pernah dinukil oleh Fatimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama, (Yogyakarta: LKiS, Cet:1, 2002), p. 18. Teks aslinya bisa dilihat di dalam Muh}yi l-Di@n Ibn ‘Arabi@, The Tarjuma@n al-Ashwa@q, A Collection by Mystical Odes, Edited By: Reynold A. Nicholson, M.A. (London: Royal Asiatic Society, 1991), No: 11, hal: 19. Ia menuliskan:

لقد صار قلبي قابلا كلّ صورة – فمرعى لغزلان و دير لرهبان

و بيت لأوثان و كعبة طائف – و ألواح التورات و مصحف القرآن

أدين بدين الحب أنّى توجهت – ركايبه فالدين ديني و إيماني

Terjemahan bebasnya; “hatiku telah terbuka terhadap semua jenis bentuk; padang rumput untuk rusa-rusa dan gereja untuk biarawan. kuil untuk berhala-berhala dan Ka’bah bagi para peziarah (orang yang thawaf). lembaran-lembaran Tawra@h dan mushaf al-Qura@n. aku beriman dengan agama cinta. kemanapun kendaraannya akan pergi maka agamanyalah agamaku dan imanku.

[32] Untuk semua penjelasan yang akan disebutkan lihat di Muh}yi l-Di@n Ibn ‘Arabi@. Dakha@ir al-A’la@q fi@ Sharh Tarjuma@n al-Ashwa@q. (Beirut: Mathba’ al-Ansi@yah. 1312 H) p. 39-40.

                [33] Pandangan dalam Dakha@ir al-A’la@q juga diakui oleh F. Schuon, bahwa agama Cinta adalah agama Islam, akan tetapi ia berasumsi bahwa Islam yang dimaksud Ibn ‘Arabi@ di sini, menurutnya, adalah Islam yang Universal. Padahal jelas apa yang dimaksudkan Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Lihar di Frithjof Schuon, From and Substance In Religion, (Canada: World Wisdom, 2002). p. 118. Di Indonesia penjelasan ini diambil oleh K.H. Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme, Kepada Maha Guru Pencerahan, (Bandung: Mizan Media Utama, Cet: 1, 2011) p. 152-157.

                [34] Seyyed Hossein Nasr. lihat di Thalathah al-H@ukama’… p. 135

                [35] William C. Chittick menjelaskan tentang konsep ini dalam bukunya. The Self Disclosure of God Princle of Ibn ‘Arabi@’s Cosmology. (Albany: State University of New York press. 1998) p. 3-…

                [36] William C. Chittick. Imaginal Worlds… p. 139. Dalam masalah kebenaran semua agama adalah sama. W.C. Chittick berkata:

If everyone has a belief. can we say that all beliefs are true? Most Muslim theologians would immediately say.”No. only belief in a true religion is a true belief.” The Shaykh. however. would not be so precipitous. He would most likely say that the answer depends on what we mean by “true.” If “true” means that a knotting corresponds to reality. then of course all beliefs are true. since each belief represents some aspect of reality. however limited and distorted that aspect might be. If a belief did not correspond to reality in some way. it would not exist. Each belief represents the subjective side of an existential state. The fact that someone holds a belief proves that the belief coincides in some manner with the way things are. whether or not the believer’s mind establishes a real contact with what lies outside of itself. Hence. we can reach a preliminary conclusion that all beliefs are true. no matter what their content. There can be no error in existence. because everything that exists is demanded by the Real. which is wujud.”

                [37] Muh}yi l-Di@n Ibn ‘Arabi@. Fus}u@s} al-H}ika@m. Ta’li@q: Abu@ al-‘Ala@ al-‘Afi@fi@. (Beirut-Lebanon. Da@r al-Kutub ‘Arabi. tanpa tanggal) p. 32-35.

                [38] Ibid. P. 191-196. selain yang ditahqi@q al-‘Afi@fi@ bisa juga dilihat Sharh yang ditulis oleh: Syaikh ‘Abd al-Raza@q al-Qa@sha@ni@. Sharah ‘Ala@ al-Kita@b Fus}u@s} al-H}ika@m li al-Usta@dz al-Akbar al-Syaikh Muh}yi l-Di@n  Ibn ‘Arabi@. (Mesir: al-Mathba’ al-Maymaniyah). p. 241-247.

                [39] Ibid. p. 141.

                [40] Terkait dengan hal ini lihat juga tulisan Abdl Karim Abdl Halim, Ibn ‘Arabi@ and the Question of Religious Pluralism: Some Preliminary Clarifications (Kuala Lumpur, Malaysia : Paper presented at the South-East Asian Regional Conference on Philosophy: Philosophy in the New Age of Religious and Cultural Pluralism organized by The Council for Research in Values and Philosophy (RVP) and International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 6th-7th July 2007) yang mengkonklusikan bahwa Ibn ‘Arabi@ bukan penganut pluralisme agama akan tetapi ia meyakini Multy-Religious. Keyakinan pluralisme atas Ibn ‘Arabi@ merupakan kesalahan pemahaman atas teksnya.

                [41] Namanya adalah Jala@l al-Di@n Muh}ammad yang kemudian dikenal dengan nama Jala@l al-Di@n Al-Ru@mi@ dilahirkan 6 Rabi’ Al-Awal 604 H / 1208 M. Ia adalah sufi besar yang terkenal dengan tariannya yang berputar (The Whirling Of Dervishes). karya-karya ditulis dengan bahasa Persia. di antaranya adalah. Matsnawi@. Shams l-Di@n Al-Tabri@zi@. Fi@hi ma@ Fi@hi. buku yang terakhir ini diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi The Discourse of Ru@mi@. Lihat kehidupan Ru@mi@ di Musthafa Ghalib. Jala@l l-Di@n al-Ru@mi@. (Beirut. Lebanon: I’z Al-Din. 1986)

                [42] Lihat di William C. Chittick, The Sufi Parh of Love The Spiritual Teaching of Ru@mi@, (Lahore. Pakistan: Suhail Academy. 2nd Impression. 2005), atau lihat juga di The Sufi Doctrine of Ru@mi@, Bloomington – Indiana: World Wisdom. Inc. 2005)

                [43] Seyyed Hossein Nasr. Living Sufism. diterjemahan oleh:Abdl Hadi. M.W. yang berjudul: Tasauf Dulu dan Sekarang. (Jakarta: Pustaka Firdaus. Cet: 1. 1985) p. 36, Selain itu perlu diketahui bahwa al-Ru@mi@ menulis semua karyanya di dalam bahasa Persia, yang kemudian karya-karyanya diterjemahkan kedalam bahasa Arab dan Inggris. Dan S.H. Nasr adalah orang Persia yang sering menerjemahkan dari teks al-Ru@mi@ yang asli, tanpa meminjam terjemahan yang lainnya.

                [44] Jala@l l-Di@n al-Ru@mi@. Fi@hi Maa Fi@hi. di terjemahkan dari bahasa Persia oleh: ‘Isa@ ‘Ali@ al’Aqubi@. (Beirut – Lebanon: Da@r al-Fikr al-Mu’a@s}ir. dan Damaskus: Da@r al-Fikr) p. 152. Atau lihat terjemahan dari A.J. Arbery, di Discourse of Rumi, Fi@hi Ma Fi@hi, (Ames – Iowa, Omphaloskepsis) p.  174-184. Dan lihat juga kutipan dari S.H. Nasr dalam Living Sufism… p. 177-180. Di Indonesia teks ini pernah di nukil oleh, Budhy Munwar-Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cet:1, 2004) p. 38, atau lihat juga di K.H. Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme… p. 77.

   [45] Seyyed Hossein Nasr. Living Sufism… p. 177

                [46] Seyyed Hossein Nasr. Religion and The Order of Nature. (Lahore-Pakistan: Suhail Academy. 1st published, 2004) p.17.

                [47] Ibid, 16.

                [48] Teks ini bisa dilihat di R.A. Nicholson, Ru@mi@ Poet and Mystic, (Lahore-Pakistan: Suhail Academy, 1st Published, 2000), p. 166. Atau lihat juga terjemahan darinya secara lengkap di R.A. Nicholson, The Mathnawi of Jala@l l-Di@n al-Ru@mi@, Vol III & IV, (Cambridge University) teks No: 1259. Selain itu juga pernah dikutip oleh Ayatullah Murthada Mutahhari, Isla@m and Religious Pluralism, (USA: The World Federation of KSIMC, 2006) p. xi. Atau lihat juga terjemahan dalam bahasa arabnya oleh Dr. Ibrahim Dasuki Shata dalam Jalal al-Din al-Ru@mi@, al-Matsnawi@,III (Kairo: al-Maktabah ‘Arabiyyah al-Sharqiyyah) p. 122-133, berbunyi:

و هناك نتاج من موسى حتى القيامة، و ليس نورا آخر و إن تغير السراج.

فهذه المشكاة و هذه الفتيلة من نوع آخر، لكن نورها لم يتغير لأنه من تلك الناحية.

و إذا نظرت إلى الزجاجة فإنك تضل، ففي الزجاجة توجد الأعداد و الإثنينية.

و إذا نظرت إلى النور تنجو من الإثنتينية و أعداد الجسد المنتهى المحدود.

و يا لب الوجود، إن الخلاف بين المؤمن و المجوسي و اليهودي نتيجة لاختلاف وجهات النظر.

Terjemahannya; Dan di sana ada intisari dari kisah Musa hingga hari kiamat, dan bukanlah cahaya berubah walaupun lampunya berbeda; Maka inilah Mishkat (tempat lampu) dan inilah sumbunya dari jenis yang lain, walaupun demikian cahayanya tetap sama tidak berubah, karena ini dari segi yang lain; Dan tatkala kau melihat di dalam kaca lampu, maka kau akan tersesat, karena akan banyak angka dari penampakan dan dualitas; Dan jika kau melihat cahayanya maka kau telah selamat dari dualitas dan tak terhitungnya penampakan tubuh/ materi; Wahai engkau sang Inti dari segala Wujud, sesungguhnya perbedaan antara Mu’min, Majusi, dan Yahudi adalah hasil dari perbedaan sudut pandang.

Argumentasi ini juga pernah dikemukakan oleh Anwar Ibrahim dalam pidatonya Ibrahim di London School of Economics, 18 Maret 2010. Dalam hal ini lihat di tulisan Adian Husaini, Wacana Pluralisme Agama, lihat di http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=418:wacana-pluralisme-agama-di-malaysia-&catid=27:mengenal-ahmadiyah&Itemid=28 di update Thursday, 11 October 2012 01:53 Thursday, 11 October 2012 01:44.

[49] Jala@l l-Di@n al-Ru@mi@, al-Matsnawi@, III… p. 111-123, kisah ini khusus berbicara tentang pengumpulan Fir’aun terhadap bala tentara sihirnya untuk melawan Mu@sa@.

                [50] Ibid, p. 131-132

                [51] Dalam karya yang satu ini sering dinukil oleh F. Schuon, S.H. Nasr dan H. Smith, akan tetapi karena keterbatasan referensi, sehingga belum bisa untuk dikaji. Teks itu berbunyi; “apa yang harus dilakukan wahai kaum Muslim, karena aku tidak mengenal diriku sendiri. Aku bukan Kristen, bukan pula yahu@di, bukan Maju@si dan Muslim…”

                [52] Namanya adalah ‘Abd l-Kari@m ibn Ibrahi@m ibn Abd l-Kari@m ibn Khali@fah ibn Ah}mad, julukannya Qut}ub al-Di@n, dan sering juga disebut dengan al-Ji@lli@, al-Jailani atau al-Kilani, yang dinisbatkan dengan daerahnya. Lahir tahun 767H / 1435 M, ia adalah ulama’ sufi terkemuka dengan karyanya al-Insa@n al-Ka@mil, al-Kahfi@ wa@ al-Raqi@m, al-Manaz}ir al-Ilahiyyah dan banyak yang lainnya. Ia meninggal tahun 821 H. selengkapnya lihat di Yusu@f Zaydan, ‘Abd l-Kari@m al-Ji@lli@ Faylasuf Su@fiyah, (Mesir: al-Hay’ah al-Mishriyah al-‘A@mah, al-Maktabah, 2005) p. 11-72.

                [53] Seyyed Hossein Nasr. Living Sufism… p. 165. Mengenai kutipan dari S.H Nasr, ia telah memotong tulisan tersebut dan tidak menampakkan ide asli dari al-Ji@lli@. lihat juga teks aslinya dalam ‘Abd l-Kari@m al-Ji@lli@. Insan al-Ka@mil fi@ Ma’rifah al-Awa@khir wa al-Awa@’il. (Beirut-Lebanon: Da@r al-Kutub al-‘Ilmi. cet:1. 1998). p. 259. ia menulis:

“…إن أهل الكتاب متفرقون فبراهمة و هؤلاء يزعمون أنهم على دين إبراهيم و أنهم من ذريته و لهم عبادة مخصوصة… ص: 255.  و أما البراهمة فإنهم يعبدون الله مطلقا لا من حيث نبيّ و لا من حيث رسول. بل يقولون إن ما في الوجود شيء إلا و هو مخلوق لله. فهم مقرون بوحدانية الله تعالى في الوجود. لكنهم ينكرون الأنبياء و الرسل مطلقا. فعبادتهم للحق نوع من عبادة الرسل قبل الإرسال. و هم يزعمون أنهم أولاد إبراهيم عليه الصلاة و السلام. و يقولون إن عندهم كتابا كتبه لهم إبراهيم الخليل عليه السلام من نفسه من غير أن يقولوا أنه من عند ربه. فيه ذكر الحقائق و هو خمسةأجزاء. فأما الأربعة أجزاء فإنهم يبيحون قرآئتها لكل أحد. و أما الجزء الخامس فإنهم لا يبيحون إلا للآحاد منهم لبعد غوره. و قد اشتهر بينهم أن من قرأ الجزء الخامس من كتابهم لابدّ أن يئول أمره إلى الإسلام فيدخل في دين محمّد ص م…”

Bandingkan di teks terakhir antara terjemahan dari Abdul Hadi, MW, yang menyebut ‘akan dipeluk oleh Islam’, dengan teks dari al-Ji@lli@, yang menyebutkan bahwa yang membaca buku kelima dari kitab Hindu akan kembali kepada Islam dan memeluk agama Nabi Muh}ammad.

[54] Seyyed Hossein Nasr. Living Sufism… p. 165.

[55] Abd al-Karim al-Jilli. Insa@n al-Ka@mil… p. 259.

[56] Ibid. p. 260-261

[57] Ibid. p. 261

[58] Syamsuddin Arif. Orientalis & Diabolisme Pemikiran… P. 264

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *