Tauhid Syiah: Antara Kemutlakan Imamah dan Ideologi Takfiri

Oleh: Kholili Hasib

asyiahSebelum membahas konsep tauhid imamah, pertama-tama yang harus dipahmkan adalah, bahwa pada konteks sekarang, ketika berbicara tentang penyimpangan Syiah, maka yang dimaksud adalah Syiah Imamiyah alias Rafidhah. Sebab, Imamiyah merupakan jenis Syiah mayoritas di dunia. Negara Syiah Iran, dikendalikan oleh ideologi Imamah ini.

Hal juga yang perlu diluruskan dalam pemikiran Syiah adalah, tentang penggunaan istilah ‘syiah-moderat’ (mu’tadil). Dalam litelatur manapun tidak ada istilah ‘syiah-moderat’. Jika hendak dimunculkan istilah tersebut, haruslah didasari dari hasi kajian ilmiah dan penelitian mendalam. Jika belum ada kajian ilmiah tentang term tersebut, maka kita tidak boleh terburu-buru menggunakan term tersebut. Dari segi makna, juga rancu. Di lihar dari sisi ajaran, akidah Syiah ternyata tidak ada yang moderat.

Jika yang dimaksud adalah Syiah Zaidiyah, juga kurang tepat. Dalam litelatur, Zaidiyah tidak pernah disebut ‘moderat’. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari bahkan berfatwa, Zaidiyah bukan madzhab yang sah (baca Risalah Ahlussunnah wal Jamaah karya Hasyim Asyari). Zaidiyah memang dekat dengan Ahlussunnah. Mereka tidak merujuk al-Kafi, Bihar al-Anwar, dan lain-lain. Rujukan Zaidiyah bahkan Bukhari-Muslim. Meski begitu Hasyim Asy’ari tidak mengakuinya sebagai madzhab sah dalam Ahlussunnah.

Ketika penulis mengkaji Syiah, maka yang dimaksud adalah Syiah yang menjadikan al-Kafi, Bihar al-Anwar, al-Istibshar dan lain-lain sebagai rujukannya. Kenyataannya, Syiah saat ini tidak membuang kitab-kitab tersebut. Termasuk pengikut Syiah Indonesia.

Jika menelaah kitab-kitab induk Syiah, maka akan ditemui kejanggalan-kejanggalan ideologis. Dari segi konsep tauhid, Syiah sangat ekstrim, bahkan mengandung ideologi takfiri. Berikut, penulis bedah secara singkat konsep tuhid Syiah. Kajian ini bukan dalam tujuan memecah Islam, namun berupaya mengumpulkan kaum Muslimin dalam satu shaf Ahlussunnah. Sebab, sejak awal kelahirannya Syiah diasaskan oleh orang-orang yang hendak memecah Islam. Hal ini sesuai dengan julukan yang diberikan oleh Imam Ali Zainal Abidin, yaitu “rafidhah”, yang artinya berlepas diri.

Tauhid dalam keyakinan Syiah dan Ahlussunnah memiliki sejumlah titik pembeda. Dalam keyakinan Syiah, tauhid yang murni dikonsepsikan satu paket dengan imamah.  Imamah sendiri merupakan kepercayaan paling sentral. Kepercayaan terhadap imamah menjadi syarat mutlak untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Syiah membatalkan tauhid seseorang karena ingkar terhdap imamah. Tidak sah keimanan seseorang – meskipun secara tulus beriman kepada Allah dan Rasul–Nya jika tidak ditopang oleh kepercayaan terhadap keimamahan Syiah. Al-Majlisi, seorang ulama Syiah kenamaan mengatakan, “Ketauhilah bahwa kalimat syirik dan kufur itu ditujukan — sebagaimana termaktub dalam teks-teks Syiah — terhadap orang-orang yang tidak mempercayai keimamahan Ali dan para imam setelah beliau yang terdiri dari keturunan beliau, dan mengutamakan orang lain daripada mereka, menunjukkan bahwa orang-orang itu kafir dan kekal di neraka” (Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 23/390).

Dalam Ahlussunnah, khalifah dan imam tidak menjadi syarat sah keimanan seorang mu’min. Ia merupakan jabatan kepala Negara yang dipilih melalui syuro. Sama sekali tidak terkait dengan tauhid. Justru, tauhid seorang muslim bisa rusak jika ia mengkultuskan secara membabi buta seorang manusia melebihi Nabi dan Malaikat.

Namun, keyakinan Syiah, kultus pada imam justru menjadi pondasi keimanan. Dalam tafsir al-Qummi – kitab tafsir Syiah dikatakan bahwa apabila seseorang mengakui keimamahan selain imam Ali dan keturunannya, maka semua amal ibadahnya digugurkan Allah (Tafsir al-Qummi 2/251). Dalam akidah Syiah, mengakui kepemimpinan orang lain selain Ali dan keturunannya dicap sebagai musyrik. Di sinilah letak perbedaan tauhid yang sangat tajam ditemukan, dan saling bertoak belakang antara Syiah dan Ahlussunnah. Konsep keimanan dan syirik berbeda.

Ayat-ayat yang berkaitan dengan tauhid, syirik dan sebagainya dita’wil oleh ulama’ Syiah dengan konsep Imamah sebagai landasannya.  Umumnya ayat yang berkaitan dengan konsep syirik misalnya, ditafsirkan secara konstan tidak lepas dari kepercayaan kepada para imam Syiah.

Istilah al-Syirku dalam ayat-ayat al-Qur’an tidak dimaknai sebagaimana mufassir Ahlussunnah, bahwa artinya menyekutukan Allah, menjadikan selain Allah sebagai Tuhan. Mufassir Syiah memaknai dengan arti “menyekutukan para iman”, bukan menyekutukan Allah sebagaimana akidah Ahlussunnah.

Salah satu di antaranya, surat al-Zumar ayat 65. Terjemahan ayat tersebut adalah: “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelum kamu. Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. Al-Kulaini dalam kitab al-Kafi  menjelaskan bahwa yang dimaksud menyekutukan dalam ayat tersebut adalah mempersekutukan imam Ali dengan kepemimpinan orang lain.

Surat al-Baqarah ayat 36 yang menjelaskan tentang persaksian keimanan kepada Allah dan Rasulullah diselewengkan menjadi keimanan terhadap imam dan Ahlul Bait. Terjemahan ayat tersebut adalah, “Katakanlah (wahai orang-orang mukmin) ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”. Ayat ini ditafsirkan oleh al-Kulaini bahwa yang dimaksud beriman kepada yang diturunkan Allah adalah beriman kepada Ali, Fatimah, Hasan, Husein dan para imam setelah mereka.

Namun, pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an tersebut tidak pernah diajarkan oleh Ali dan para imam keturunannya. Hasan putra Ali, justru mengecam orang-orang yang mengkultuskan Ali r.a secara berlebihan. Hasan r.a menyebut orang-orang Syiah yang berkeyakinan bahwa Ali akan hidup kembali sebelum hari Kiamat sebagai orang-orang pembohong (Siyar a’lam al-Nubala’ 3/263). Ali Zainal Abidin, cucu Ali r.a, melarang keras kelompok yang ‘menyembah’ Ahlul Bait bak seperti berhala. Ia berkata, “Wahai penduduk Irak, cintailah kami seperti mencintai Islam. Jangan cintai kami seperti orang jahiliyah mencintai berhala. Sebab, cinta yang telah kalian tunjukkan kepada kami hanya menjadi cela bagi kami” (Siyar a’lam an-Nubala’ 4/302).

Dengan demikian, bisa menyimpulkan bahwa konsep syirik  dibongkar dengan memasukkan konsep Imamah sebagai dasarnya. Syirik, yang dalam pemahaman Ahlussunnah adalah mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain selain-Nya, diperluas maknanya sehingga menjadi orang yang mempersekutukan Allah dan yang mempersekutukan imam Ali.

Konsep syirik tidak sekedar penyekutuan terhadap Tuhan, tapi juga kepada imam yang notabene adalah manusia. Konsep seperti ini tampak mirip dengan paham ‘antroposentrisme’ –yaitu paham yang meyakini manusia sebagai kebenaran. Meski bukan persis sama dengan antroposentrisme yang berasal dari tradisi Barat. Akan tetapi, konsep akidah Syiah yang menjadikan imamah sebagai sentral keyakinan menjadikan para imam  sebagai asasnya, dapat dikatakan memiliki unsur-unsur paham antroposentrisme.

Konsep tauhid kepada Allah, ternyata tidak dapat berdiri sendiri dalam Syiah. Tauhid Syiah ternyata perlu ditopang dengan kepercayaan kepada para imam. Dengan demikian, kita bisa katakana bahwa konsep imamah menjadi pandangan hidup syiah, termasuk menjadi elemen mendasar dalam konsep tauhid. Perbedaan mendasar dalam ketuhanan ini makin memerkuat pendapat ulama’ Syiah, al-Jaza’iri yang pernah mengatakan, “Sesungguhnya kami (Syiah) tidak pernah sama dengan mereka (nawasib/golongan di luar Syiah) dalam memahami tentang Tuhan, iman dan Nabi”. Jadi, perbedaan Sunnah-Syiah, bukan sekedar perbedaan madzhab, tapi secara teologis memiliki garis demarkasi yang cukup jauh. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *