Kerancuan Konsep Historisitas Al-Qur’an Kaum Liberal

Oleh: Pahriannor

history of al quranInpasonline.com-Konsep historisitas al-Qur’an sebelumnya tidak pernah muncul dalam diskusi ulumul qur’an, kecuali setelah beberapa tahun terakhir sejumlah pemikir liberal muslim belajar kepada orientalis tentang Islam dan al-Qur’an. Konsep ini terpengaruh dengan filsafat sejarah yang selalu diusung oleh orientalis barat, termasuk ketika mereka mengkaji Bibel dan al-Qur’an.[1] Filsafat sejarah menyatakan bahwa sebuah teks tidak muncul dalam ruang hampa, ia selalu dilingkupi oleh ruang, waktu dan budaya yang mengitari teks tersebut muncul.[2] Terpengaruh dengan teori itu, pemikir liberal kemudian menyatakan bahwa Al-Qur’an sebagai sebuah teks juga tidak dapat mengelak dari kenyataan ini, dan karenanya ia dapat dikatakan produk budaya dan sekaligus sebagai produsen budaya.[3]

Dari sisi kritik sejarah, orientalis tidak dapat menggoyahkan otentisitas al-Qur’an. Semua tudingan orientalis tentang kemungkinan ketidakotentikan al-Qur’an mampu dibantah oleh ulama Islam. Muhammad Mushtafâ al-A’zamî merupakan salah satu tokoh ulama Islam yang banyak mematahkan tudingan-tudingan orientalis tersebut. Ia membuktikan bahwa secara kritik sejarah, al-Qur’an terbukti otentik tanpa ada pemalsuan sedikitpun. Satu persatu A’zami membantah tudingan ketidakotentikan al-Qur’an, hingga tidak ada celah lagi untuk meragukannya.[4] Karena itu wajar jika banyak ulama berkesimpulan bahwa peperangan antara orientalis dengan ulama al-Qur’an telah usai dengan kemunculan A’zami beserta karya-karya besarnya.[5] Orientalis dalam hal ini kalah telak dan semua tudingan-tudingan mereka terhadap al-Qur’an seperti menjadi sampah, karena hampir tidak pernah dikutip lagi oleh siapapun, kecuali hanya sekedar untuk menganalisis kekeliruan faham mereka.

Berangkat dari kekalahan tersebut, yaitu setelah secara kritik sejarah al-Qur’an terbukti valid dan otentik, maka kemudian dimunculkan wacana historisitas al-Qur’an. Berbeda dengan wacana kritik sejarah yang secara terang-terangan meragukan otentisitas al-Qur’an, wacana historisitas ini lebih banyak menyerang persentuhan antara konsep wahyu yang transenden dengan evolusinya menjadi berbahasa manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Wacana ini tidak secara langsung meragukan otentisitas al-Qur’an, tetapi hanya menyatakan bahwa al-Qur’an terkait ruang dan waktu, dan karenanya ia memiliki unsur relatif ketika dipahami oleh manusia.[6] Wacana ini tidak diusung langsung oleh orientalis, tidak hanya karena mereka sudah terlanjur mengingkari otentisitas al-Qur’an, tapi juga karena mengingat nama orientalis sudah telanjur buruk bagi umat Islam. Cara lain adalah dengan mengajarkan wacana itu kepada pemikir-pemikir liberal muslim, untuk kemudian disebarkan kepada umat Islam.

Konsep historisitas itu sendiri bagi para pemikir liberal memiliki makna yang berbeda-beda, meskipun dalam istilah yang sama. Perbedaan itu bersumber dari cara pandang mereka terhadap al-Qur’an, baik dari cara turunnya maupun dari konsep al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an yang turun dengan cara berangsur-angsur (tanjîm/tanzîl) menjadi argumen utama pemikir liberal mengenai historisitas al-Qur’an. Ini diperkuat pula dengan adanya perhatian ulama klasik terhadap sebab-sebab historis turunnya ayat al-Qur’an atau sering disebut asbabun nuzul. Dengan adanya perhatian terhadap asbabun nuzul itu kemudian muncul pula klasifikasi seperti makkî, madanî, safarî, hadharî, lailî, nahârî dan beberapa klasifikasi berdasarkan waktu turun lainnya.[7] Dalam hal ini para pemikir liberal mengklaim bahwa al-Qur’an, kendati memiliki nilai sakral-absolut sebagai wahyu Allah, tetapi ia juga memiliki nilai historis-relatif ketika bersentuhan dengan bahasa manusia (bahasa Arab). Karena itulah ia diturunkan dengan sebab dan ruang waktu-budaya tertentu.[8]

Hakekat al-Qur’an, bagi pemikir liberal umumnya dipahami secara dualistik-dikotomik antara wahyu yang immateri dengan bahasa manusia yang relatif dan berbentuk materi. Al-Qur’an bagi mereka seperti sesuatu yang berdimensi ganda. Di satu sisi ia termasuk sesuatu yang disakralkan, berasal dari dunia seberang sana, di sisi lain ia berwujud dalam fakta yang materi, menggunakan sarana-sarana manusia dalam perwujudannya. Allah SWT menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Saw. dalam bentuk kalam yang tidak dapat dikenali dan diketahui bagaimana dan seperti apa kalam itu, karena belum berwujud materi yang dapat ditangkap oleh siapa saja ketika proses pewahyuan tersebut berlangsung. Baru setelah disampaikan oleh Nabi kepada sahabat, kalam tersebut berwujud, pertama dalam bentuk bahasa lisan, kemudian dalam bentuk tulisan.[9]

Dua dimensi al-Qur’an tersebut membuatnya dapat dilihat dari dua sisi terpisah. Pertama, ia dilihat dari sisi asal-usul keberadaannya, yaitu Allah. Kedua, ia dilihat dari fakta materiilnya, yang berupa suara tertentu ketika dibaca dan berupa rangkaian huruf-huruf ketika ditulis. Yang pertama bersipat teologis, sementara yang kedua bersipat historis linguistik. Konsekuensi dari pembedaan cara pandang ini adalah munculnya dikotomi makna al-Qur’an. Makna yang diperoleh dari kalam Allah akan dianggap bersipat absolut karena ia berasal dari Allah yang absolut, sebaliknya makna-makna tersebut akan bersipat relatif apabila dipandang sebagai fakta linguistik.[10]

Dampak dari dualisme konsep ini, al-Qur’an yang sudah berbentuk linguistik menjadi tidak sakral dan terpisah dari kesucian Kalam-Nya. Syahrur dalam hal ini menganalogikannya dengan sebuah foto cetak atau digital. Ketika fisik seseorang dipotret menjadi foto, maka foto itu bukanlah ia sendiri, melainkan sudah terpisah darinya dan hanya sebagai gambaran fisual tentangnya. Begitu pula al-Qur’an, ketika ia difisualkan berbentuk tulisan, buku ataupun video, maka kesakralannya menjadi hilang, karena bentuk fisual itu bukan al-Qur’an itu sendiri, melainkan hanya gambaran yang sudah direkam dalam bentuk media kertas dan tinta. Oleh karena itu, al-Qur’an dalam bentuk ini boleh disentuh oleh siapa saja, meskipun ia tidak suci, baik dalam keadaan tidak berwudhu, sedang junub, atau bahkan oleh orang kafir sekalipun.[11]

Konsep al-Qur’an dalam pandangan liberal seperti itu tidak pernah ada dalam sejarah pemikiran Islam. Mu’tazilah yang dianggap paling ekstrim dalam menggunakan rasio sekalipun tetap mengakui bahwa al-Qur’an, meski tidak qadim, tetap sebagai kalam Allah yang suci baik lafal maupun maknanya.[12] Tidak ada dikotomi antara esensi kalam itu dengan bahasa yang digunakan. Allah SWT sendiri telah menegaskan bahwa al-Qur’an diturunkan berbahasa Arab dengan maksud agar manusia dapat memahaminya (QS Yusuf [12]: 2). Dia juga tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa masyarakat dimana rasul tersebut diutus (QS Ibrahim [14]: 4). Fakta ini menjelaskan bahwa meskipun menggunakan bahasa manusia, al-Qur’an tidak lantas berkurang maknanya, atau menjadi luntur hanya karena bersentuhan dengan bahasa manusia.

Selain itu, tidak dapat dibenarkan klaim adanya perbedaan antara bahasa al-Qur’an dalam dimensinya sebagai kalam Allah dengan dimensinya sebagai teks berbahasa manusia. Tidak ada argumen yang dapat digunakan untuk mendukung asumsi tersebut kecuali hanya sebatas dugaan tanpa dasar. Sementara konsep yang menyatakan lafal dan maknanya bersumber dari Allah, argumennya tidak terbantahkan, baik secara naql maupun rasio. Secara eksplisit al-Qur’an telah menegaskan bahwa ia bersumber dari Allah baik secara lafal maupun makna. Misalnya ayat-ayat berikut; QS Ăli Imrân [3]: 164; QS al-Baqarah [2]: 151. Dalam ayat-ayat ini Allah menegaskan bahwa diantara fungsi Rasulullah adalah membacakan ayat-ayat Allah kepada umat manusia. Redaksinya secara tegas menyebutkan “يتلو عليهم آياته” (membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka). Dua hal yang dapat dicermati dari redaksi ayat ini adalah; pertama, lafal “yatlû” yang berarti membaca, dan; kedua redaksi mudhâf antara “ayât” dengan dhamîrhi” yang berarti Dia (Allah). Jika memahami ayat ini dengan pendekatan semantik, maka kata “yatlû” berarti membaca secara literlik seperti apa adanya tanpa ada interpretasi atau pengubahan redaksi.[13] Berbeda dengan “qara’a-yaqra’u” yang oleh ulama disepakati menjadi kata asal al-Qur’an, ia tidak hanya berarti membaca secara literlik, tapi juga membaca dengan memahami atau menafsirkan. Objeknya juga luas, tidak hanya terpaku pada apa yang ada. Karena itu, perintah “Iqra” pada wahyu yang turun pertama kali, tidak hanya berarti membaca al-Qur’an, tetapi juga membaca disertai dengan memahami apa saja, baik berupa ayat-ayat Qur’aniyah, ayat-ayat insaniyah, maupun ayat-ayat kauniyah.[14]

Syahrur sendiri, salah seorang tokoh liberal yang diakui sebagai peletak dasar hermeneutika juga mengatakan hal ini. Dalam salah satu analisis semantiknya mengenai asal kata al-Qur’an ia mengatakan, bahwa perbedaan mendasar antara “qara’a-yaqra’u-qirâ’atan” dengan “talâ-yatlû-tilâwatan” adalah pada model bacaan. Qara’a lebih bersipat umum, tidak hanya membaca secara literlik apa yang ada, tetapi juga memiliki makna membaca dengan pemahaman, penafsiran atau interpretasi. Ia menegaskan, ketika al-Qur’an memerintahkan manusia untuk berlindung kepada Allah saat membaca al-Qur’an (QS an-Nahl [16]: 98: ), maksudnya tidak hanya ketika membaca ayat-ayatnya secara literlik, tetapi juga ketika akan mengajar al-Qur’an, atau ketika akan memahami al-Qur’an. Itulah esensi mendalam dari kata “Qara’a”. Begitu juga ketika al-Qur’an secara tegas memerintahkan manusia agar berdiam ketika dibacakan al-Qur’an (QS al-A’raf [7]: 104:), maksudnya tidak hanya ketika ayat-ayat itu dibacakan, tetapi juga ketika pemahamannya diajarkan. Lebih khusus dari itu, “talâ-yatlû” menurut Syahrur hanya khusus berarti membaca sesuatu secara literlik, tanpa ada peranan pemahaman atau penafsiran dari pembaca. Ia menganalogikan, seorang pembaca berita di televisi berarti baru melakukan bacaan dalam kontekts tilâwah, bukan qirâ’ah. Berbeda dengan seorang dosen yang mengajar di universitas, ia sudah membaca dalam konteks qirâ’ah, karena harus menjelaskan pemahaman yang terdapat dalam bacaan.[15]

Penjelasan semantik Syahrur tersebut telah membantah asusmi kolega-koleganya sendiri tentang dikotomisasi antara wahyu sebagai kalam Allah dengan teksnya ketika telah berbentuk bahasa manusia. Berdasarkan penjelasan Syahrur, redaksi ayat yang menggunakan kata “yatlû” dalam firman Allah “(Rasul) yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka” maksudnya adalah membacakan ayat-ayat al-Qur’an itu secara apa adanya, tanpa ada sedikitpun penambahan berupa interpretasi ataupun pengubahan baik pada huruf, kata, kalimat, maupun pada maknanya. Berdasarkan argumen ini, berarti ayat-ayat yang Rasulullah bacakan kepada umatnya sama persis dengan ayat-ayat yang Allah wahyukan kepadanya, tanpa sedikitpun pengubahan, baik secara bahasa maupun secara makna.

Selain itu, hal kedua yang penting dicermati pada ayat tersebut adalah redaksi mudhâfayât” kepada “hi” (Dia) dan “” (Kami). Secara literlik ayat itu berarti “ayat-Nya” dan “ayat Kami”. Dalam bahasa Arab, kata yang di mudhâf-kan kepada isim ‘alam atau dhamîr yang menjadi penggantinya hanya memiliki satu kemungkinan makna, yaitu kepemilikan.[16] Seperti kalimat “كتاب محمد” atau “كتابه” maksudnya adalah buku milik Muhammad atau buku miliknya. Dengan demikian, ketika al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa tugas Rasulullah Saw. adalah membacakan ayat-ayat Allah dalam redaksi “آياتنا/آياته” maka maksudnya adalah membacakan ayat-ayat yang betul-betul milik Allah baik secara bahasa maupun secara makna. Tidak ada kemungkinan lain dalam hal ini. Tidak dapat diklaim, bahwa karena bahasa tersebut adalah milik manusia atau milik orang Arab, maka kemudian satu dimensi al-Qur’an menjadi milik orang Arab, dan satu dimensi lainnya milik Allah.

Selain ayat-ayat di atas, masih banyak ayat-ayat lain yang menjadi argumen kesatuan sumber al-Qur’an antara lafal dengan makna, yaitu dari Allah. Diantara ayat-ayat itu ada yang menegaskan tentang turunnya al-Qur’an dalam bahasa Arab (QS Yûsuf [12]: 2, QS ar-Ra’d [13]: 37, QS Thâhâ [20]:113, QS az-Zumar [39]:28, QS Fushilat [41]:3, QS asy-Syûra [42]: 7, QS az-Zukhruf [43]: 3, QS al-Ahqâf [46]:12), menegaskan al-Qur’an betul-betul kalam Allah, bukan kata-kata Rasulullah, atau kata-kata tukang tenung dan orang gila (QS al-Hâqqah [69]: 40-43, QS as-Sajâdah [32]: 2-3, QS az-Zumar [39]: 2, QS Fushilat [41]: 42), menegaskan bahwa ia betul-betul disampaikan oleh Jibril, bukan berasal dari Rasulullah sendiri (QS al-Hâaqqah [69]: 40, QS at-Takwîr[81]: 19), dan banyak lagi. Bahkan seluruh isi al-Qur’an itu sendiri dapat menjadi argumen bahwa ia betul-betul kalam Allah, karena keimu’jizatannya baik dari segi bahasa maupun isi, bahkan dari segala sisi.

[1] Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta: Sulthan Thaha Press, 2007), h. 69.

[2]Nourouzzaman Shiddiqi, “sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman”, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Kencanam 1989), h. 70-73.

[3]Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhûm an-Nas: Dirâsat fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Markaz as-Shaqâfi al-‘Arabî, 1998), h. 24.

[4]Lihat misalnya dalam, MM. Azami, The History of The Quranic Text: from revelation to Compilation, (Depok, Gema Insani, 2007).

[5]MM. Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, Kata Pengantar oleh Muhammad Kamal Hassan dalamedisi terj. (Depok: Gema Insani, 2007), h. XX.

[6]Nashr Hamid Abu Zaid, An-Nash, as-Sulthah al-Hakîkah, (Beirut: Markaz as-Shaqâfi al-‘Arabî, 2001), h. 74.

[7]Jalâluddîn as-Suyûthî, al-Itqân…, Jld. I, h. 15.

[8]Nashr Hamid, An-Nash,as-Sulthah…, h. 86-95.

[9]Nashr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema, (Yogyakarta: LkiS, 2012), h. v-vii.

[10]Nashr Hamid, Teks Otoritas Kebenaran…, h. vii.

[11]Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), Cet. III, h. 204-205.

[12]Amal Fathullah Zarkasyi, Dirâsah fî ‘Ilm al-Kalâm, (Ponorogo: UNIDA, 2012), Cet. VI, h. 139.

[13]Ibn al-Manzhûr, Lisân al-Arab, (Beirut: Dâr al-Ma’ârif, t. th), h. 467.

[14]Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika, h. 120-121.

[15]Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar…, h. 120-121.

[16]Mushtafa al-Ghulayaini, Jâmi’ ad-Durûs al-‘Arabiyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2014), Cet. XII, Jld. 3, h. 158.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *