Cobaan Ulama’

Written by | Opini

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

14561976_1201034336639817_7625121573942329344_nInpasonline.com-Ulama bukanlah profesi, tetapi pengemban tugas suci sebagai pengganti peran dakwah Nabi. Karena Rasulullah Saw bersabda: “Ulama itu warisan para nabi”. Tugas yang dibebankan adalah amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan, dan mencegah kemungkaran). Dua tugas yang sering kali dalam menunaikannya menemui hambatan dan rintangan. Sebabnya, nafsu manusia berkecenderungan mengabaikan yang ma’ruf dan mendorong yang munkar.

Lebih berat lagi tantangan para ulama’ bila manusia telah ‘cerdik’ menipu. Ma’ruf dibungkus munkar, dan yang munkar dibungkus ma’ruf. Talbis wa kitman al-haqq (mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran). Karakter ini disebut ‘inadiyyah (membangkang kebenaran). Menolak kebenaran demi mempertahankan nafsunya.

Perilaku homoseksual jelas sekali diharamkan dalam Islam. Tetapi, para cendekia yang sesat membungkus analisis homoseksual dengan teori-teori sosial modern  dengan kesan ilmiyah sehingga seakan-akan dibenarkan. Non-muslim tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, tetapi dengan bungkus ilmiyah seakan-akan tidak haram. Beginilah tantangan terkini para ulama. Perlu keberanian intelektual untuk menjawab kesesatan yang dibungkus ilmiyah itu.

Allah Swt pun telah mengikat janji kepada ulama agar jangan sekali-kali menyimpan ilmunya, dan menyembunyikan kebenarannya. “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima” (QS. Ali Imran: 187).

Haramnya seorang berilmu menyimpan kebenaran tersebut diperkuat hadis Rasulullah Saw: “Tidaklah Allah Swt memberi suatu ilmu kepada orang alim kecuali Dia mengambil janji kepada orang alim itu, sebagaimana para nabi, untuk menjelaskan ilmu kepada orang lain dan tidak boleh menyimpannya” (HR. Abu Nu’aim).

Tantangannya jika kebenaran itu tidak sampaikan akan dilaknat oleh Allah Swt. Nabi Saw bersabda: “Apabila telah Nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia”(Ibnu Hajar dalam al-Shawaiq al-Muhriqah).

Di saat para ulama’ menyampaikan kebenaran itulah mereka menemui cobaan-cobaan. Buya HAMKA, ulama Indonesia pernah 15 hari dipenjara penguasa karena keberanian menyampaikan kebenaran. Seperti ini yang pernah dialami imam Ahmad. Imam Ahmad pernah dipanggil gubernur Irak yang terpengaruh mu’tazilah. beliau pun di tanya tentang pendapatnya tentang al-Qur’an, Kemudian ia mengatakan bahwa al-Qu’an adalah kalam Allah bukan makhluk. aKan tetapi ia tetap di paksa untuk mengatakan bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk, akan tetapi ia tetap dengan pendiriannya. Kemudian ia di belenggu dan dikirim bersama ulama lainnya kepada Khalifah al-Ma’mun di Tarsus. Tetapi sebelum mereka sampai di Tarsus Al-Ma’mun meninggal akan tetapi Imam Ahmad tetap di tahan. Peristiwa tersebut terkenal dengan nama al-mihnah.

Imam Abu Hasan al-Syadzili menyebut cobaan yang menimpa ulama ada empat: Kegembiraan musuh karena ujian demi ujian yang menimpanya, celaan dari sahabat-sahabatnya, hinaan dari orang bodoh, dan iri hati dari orang berilmu lain.

Dengan demikian, cobaan dan ujian tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama. Tetapi, setiap cobaan atau ujian ulama dalam sejarah tidak pernah mengundurkan tugasnya sebagai penyampai risalah Nabi. Justru dalam beberapa kasus ulama, mereka tetap menulis karya di dalam penjara.

Di sisi manusia, ulama yang dicoba atau difitnah penguasa turun derajatnya. Akan tetapi, di sisi Allah Swt justru fitnah dan ujian merupakan bagian dari karomah. Allah yang memberi ujian berat pada ulama memiliki tujuan spiritual.

Karena karomah, maka ujian tersebut merupakan kenikmatan bukan kehinaan. Ibnu Athoillah al-Sakandari mengatakan: “Sesungguhnya Allah Swt sengaja melimpahkan gangguan kepadamu dari tangan-tangan manusia supaya engkau tidak jinak kepada manusia. Allah hendak membatmu jemu dari segala sesuatu agar tidak ada sesuatu yang menyibukkan engkau dari Allah Swt” (Ibnu Athoillah, al-Hikam).

Artinya, maksud Allah memberi ujian hambanya yang shalih supaya hamba tersebut tidak terlalu bergantung kepada makhluk. Mengurangi ta’alluq (ketergantungan) kepada manusia, dan menguatkan ta’alluq terhadap Allah Swt.

Seorang manusia yang terbiasa diperlakukan dengan hormat, lembut, dan penuh pujian akan membuat manusia itu tinggi hati, merasa tidak lagi butuh dengan Allah Swt. Di saat para ulama selalu dipuja-puji para pencintanya, maka Allah swt memberi ujian kehinaan supaya ulama ini tidak terlena dengan pujian pecintanya. Keterlenaan menumbuhkan kesombongan.

Seorang berilmu terbiasa dihormati orang, hidup dalam kenyamanan. Keinginannya selalu terpenuhi. Kemudian tiba-tiba mendapat musibah diganggu manusia. Maka sebenarnya itu bukan musibah. Tapi kenikmatan yang besar baginya. Sebab, gangguan itu membuatnya sadar, supaya ia tidak tergantung kepada manusia, tidak merasa bahwa manusia yang memberinya keuntungan. Akhirnya ia kembali kepada Allah Swt.

Dalam Lathaiful Minan Ibnu Athoillah mengatakan: “Ketahuilah bahwa para wali Allah pada permulannya mereka diberi oleh Allah manusia-manusia yang mengganggu mereka agar mereka bisa bersih dari sisa kotoran hati dan keistimewaan mereka menjadi sempurna. Begitupula, agar mereka tidak bersandar dan mengandalkan makhluk. Siapa saja yang mengganggumu maka ia telah memerdekakan dirimu dari perbudakaan kebaikan manusia. Barangsiapa berbuat baik kepadamu, maka ia telah memperbudak dirimu dengan hutang budi” (Habib Ahmad bin Husein Assegaf,Al-Hikam Mutiara Hikmah Kehidupan 2, hal. 245).

Maka, cobaan Allah itu ada dua macam. Pertama karomah dan kedua adalah hukuman. Bagi orang sholih, cobaan adalah karomah dan kemulyaan. Sedangkan bagi orang jahat adalah adzab yang dipercepat di dunia. Meskipun ulama mendapatkan karomah dari cobaan, umat Islam wajib memberi pembelaan.

Dalam sejarahnya, para ulama salaf yang difitnah dan dihina oleh orang tidak pernah tenggelam namanya dari hati umat Islam. Justru setelah wafat mereka menjadi masyhur. Fakta ini merupakan salah satu bukti, bahwa memang fitnah yang ditembakkan pada orang shalih itu ternyata karomah bukan kehinaan.

Last modified: 07/02/2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *