Oleh : M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sebelas judul lainnya

inpasonline.com – Hidup Hamka digerakkan spirit cinta kepada sesama, yang tentu untuk meraih ridho Allah. Di antara unsur cinta adalah bersikap kasih-sayang kepada semua orang, untuk semua lapisan umur. Unsur cinta yang lain, bersikap pemaaf untuk semua kesalahan orang lain sebesar apapun.
Sebuah Pandangan
Di salah satu buku karyanya, Falsafah Hidup, Hamka secara khusus menulis bahasan “Cinta”. Dalam pandangannya, ada dua macam cinta. Pertama. cinta seseorang kepada seorang lainnya seperti, misalnya: Cinta ibu kepada anak, cinta ayah kepada anak, cinta suami kepada istri atau sebaliknya.
Kedua, cinta seseorang kepada orang banyak. Cinta jenis ini berkehendak kepada pendidikan dan perjuangan. Cinta yang berdasar kepada budi yang mulia ini, memandang sesama manusia sebagai kecintaan/kekasih yang perlu dibela.
Cinta itu mengandung kejujuran dan amanat, lanjut Hamka. Sedangkan jujur dan amanat itu tiang dari keadilan (adil, memberikan sesuatu kepada yang berhak menerimanya). Kalau cinta telah tumbuh maka mengandung pula hikmat (hikmat, menuntun diri kepada kebenaran).
Cinta-kasih itu punya pengaruh yang besar bagi performa kehidupan anggota masyarakat. Hal yang menonjol, seseorang yang memiliki cinta-kasih merasa bahwa segenap gerak-geriknya di muka umum ialah hanya untuk kebaikan umum (Hamka, 2002: 87-88).
Setinggi-tinggi pemahaman keagamaan, kata Hamka, tidak lain yang dijaga ialah pertalian di antara anggota masyarakat dengan masyarakat. Segenap rukun Islam yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji mengandung pendidikan berupa pertalian antara seseorang dengan masyarakat.
Cinta dan Cinta
Hamka memang senantiasa hidup dalam cinta, dalam artian luas. Muhammad Zein Hasan, kerabat dekat sekaligus sahabat sekampung Hamka, menyampaikan beberapa kisah.
Pertama, dulu, saat salah satu putera Zein Hasan masih kecil. Tiap Jum’at, di Masjid Al-Azhar Jakarta (tempat Hamka banyak berkegiatan), si anak kecil itu menyurusi sela-sela jamaah shalat Jum’at yang sudah mulai penuh. Dia terus ke shaf pertama. Untuk apa? Rupanya, dia ingin terus menikmati ciuman penuh kasih-sayang dari Pak Tuo-nya.
Kedua, tentang seorang kerabat Hamka yang berubah dan kembali sadar. Alkisah, seseorang yang masih kerabat, dibina Hamka. Dia lalu berkembang dan sukses. Tetapi ketika sudah di posisi sukses (berhasil di karirnya), di depan Hamka dia lalu bersikap seolah-olah itu semua karena usahanya sendiri.
Atas performa kerabatnya yang tidak semestinya itu, tidak ada rasa masygul apalagi marah pada diri Hamka. Hanya satu kata yang sempat keluar dari lisannya, “Sayang” (kok bisa begitu perangai dari si kerabat, berubah setelah sukses).
Suatu saat si kerabat yang sukses itu kena musibah. Apa yang terjadi berikutnya? Ternyata, Hamka dan isterinya menjadi orang/pihak pertama yang mengunjungi si kerabat tadi untuk menghibur sekaligus mendorong agar bangkit lagi.
Sejak itu si kerabat sadar dan kembali ke sifat awal. Dia menjalin hubungan kekerabatan yang baik kepada seluruh keluarga besar Hamka.
Ketiga, Hamka cinta kemerdekaan dan kebebasan. Ini tentu hasil ajaran Islam yang Hamka hayati. Dulu, Hamka pernah menjadi Pejabat Tinggi Agama di Kementerian Agama.
Ketika kemudian pegawai tinggi pemerintah diminta memilih antara tetap menjadi pegawai negeri atau memilih satu partai politik yang ada, tanpa ragu Hamka memilih yang kedua. Itu, bukan saja karena pilihan yang kedua memenuhi hasrat politik Hamka tetapi lebih dari itu karena cinta Hamka kepada kebebasan bertindak dan berpikir.
Keempat, tentang seorang pejabat di zaman Orde Lama yang menjadi berubah. Si pejabat, rupanya, ditugasi rezim untuk “menguasai” Masjid Al-Azhar Jakarta yang Hamka pimpin. Waktu itu, Masjid Al-Azhar dipandang sebagai penyuara sikap dari kelompok kritis.
Usaha si pejabat, lewat berbagai cara, tidak berhasil. Tahu tentang hal itu, apakah Hamka membenci atau memusuhi si pejabat? Tidak, bahkan sebaliknya, senyum mesra tetap selalu menghiasi wajah Hamka setiap kali berjumpa dengan si pejabat.
Belakangan, setelah dia kehilangan kekuasaan (bersamaan dengan berakhirnya rezim Orde Lama), sikap ukhuwah Islamiyah yang Hamka perlihatkan dengan terbuka telah dibalas si orang tersebut dengan sikap yang serupa.
Kelima, Hamka dipenjara lebih dari dua tahun oleh rezim Orde Lama pimpinan Soekarno. Hamka ditahan secara zalim, tanpa pernah diadili karena memang tak punya salah. Hamka menderita. Lalu, apakah Hamka melampiaskan dendam setelah penguasa otoriter itu jatuh?
Sebaliknya, saat Soekarno meninggal, Hamka berdiri paling dekat dengan jenazahnya. Dia mengimami shalat jenazahnya. Dia memohon kepada Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang agar melimpahkan kepada Soekarno ampunan dan rahmat.
Waktu itu banyak pengamat menganggap haram menyalati seorang yang dianggap mereka munafik. Atas pandangan pengamat, Hamka bergeming. Bahkan, di sisi lain, sering Hamka bersyukur kepada Allah karena di dalam kesunyian penjara (dulu, di masa Soekarno berkuasa) dia mendapat peluang emas untuk melengkapi Tafsir Al-Qur’an yang disusunnya.
Keenam, Hamka cinta terhadap bangsa dan Tanah Air. Cinta itu, Hamka wujudkan dengan lisan, tulisan, dan perbuatan. Hamka meyakini bahwa agama Islam sungguh-sungguh telah mempersatukan kepulauan Indonesia. Hamka yakin pula bahwa umat Islam yang mayoritas penghuni negeri kepulauan ini pula yang benar-benar menentang penjajahan sejak Indonesia dikotori oleh penjajahan Barat. Islam selalu menjiwai perjuangan Indonesia, baik di masa penjajahan atau di zaman revolusi fisik apalagi di saat membangun.
Tulisan dan lisan Hamka selalu mengumandangkan semangat cinta Tanah Air. Terkait berjuang lewat tulisan, buku yang Hamka tulis di masa penjajahan dan yang menyebabkan diejek sebagai ulama roman, bahkan dinilai oleh sebagian yang lain sebagai telah ikut mempersatukan bangsa Indonesia yang berbagai-bagai suku.
Dokter Sudarsono yang pernah menjadi Menteri Dalam Negeri RI pada 1946 mengatakan, bahwa dia membaca semua buku roman karya Hamka. Secara jujur dia menilai bahwa hasil karya Hamka itu telah ikut mengukuhkan persatuan bangsa Indonesia. Hal ini karena buku-buku yang bermutu sastra tinggi itu, katanya, telah ikut membongkar pagar-pagar adat kesukuan yang membatasi hubungan antarsuku di Indonesia. Ditambahkan, sekiranya dia berkuasa akan berbahagia jika bisa menyematkan bintang jasa nasional utama kepada Hamka.
Hamka gunakan keahlian menulis dan berpidato (suatu keahlian rangkap yang jarang didapat pada rata-rata orang) untuk mengobarkan semangat jihad. Hal ini, menjadi tambahan contoh bahwa Hamka cinta terhadap bangsa dan Tanah Air.
Ketujuh, bahkan ekspresi cinta kepada negeri ini Hamka tunjukkan lewat keikutsertaannya berjuang secara fisik. Lihatlah, setelah tentara sekutu masuk di Padang dan Bukittinggi, bersama-sama teman seperjuangan Hamka menaiki bukit dan menuruni lembah. Dia menyusuri rimba belukar mendatangi kampung-kampung dan kota-kota untuk memompa semangat jihad, membela kemerdekaan yang telah diproklamasikan. Padahal, Hamka waktu itu sedang menderita penyakit wasir yang sangat mengganggu (Tim Panjimas, 1981: 119-126).
Cinta, Selalu!
Memang, pada Hamka ada cinta yang mengandung kasih-sayang sekaligus sikap pemaaf. Lihat, sosok Pramoedya Ananta Toer yang pernah tak henti-henti menyerang Hamka. Novel Hamka dituding sebagai plagiat, pribadinya diserang sedemikian rupa. Fitnah dan penghinaan itu tak lain karena Hamka adalah seorang sastrawan yang antikomunis, tokoh Muhammadiyah, dan aktivis Masyumi.
Di belakang tahun, Pramoedya meminta puterinya datang menemui Hamka untuk belajar Islam. Lalu, setelah sempat tertegun sejenak karena terharu, Hamka Ikhlas, berkenan membimbing si tamu. Tak lupa pula, kala itu, Hamka menitipkan salam untuk Pramoedya.
Demikianlah, sekadar catatan atas performa Hamka yang selalu hidup dalam bingkai cinta. Tentu, catatan di atas sangat sedikit sebab hidup Hamka ibarat orang yang selalu berada di atas sajadah, yang terbentang sejak mukallaf sampai kepada hembusan nafas terakhir. Allahummaghfirlahu, aamiin. []