Ilustrasi Buku Sapiens

Oleh : Taufik Hidayat*

Ilustrasi Buku Sapiens

 sumber gambar : Wikipedia

inpasonline.com – Kehidupan manusia dipenuhi dengan pelbagai ritual komunal, mulai dari gaya hidup sekuler hingga lelaku keagamaan atau kepercayaan. Tertanam sifat di dalamnya nilai-nilai, penampakannya bisa menonjol atau tidak terlihat, dan keterlibatan kita dengan ritual komunal tersebut bisa jadi hanya sekilas atau mendalam. Saat ini, ritual komunal memiliki berbagai tujuan, diantaranya bersatu membentuk koherensi-kooperasi[1], menyalurkan pandangan keyakinan, mengurangi kecemasan individu atau kelompok, dan berperan dalam transmisi pengetahuan budaya[2]. Ritual komunal yang dijalankan oleh manusia saat ini telah tersebar dimana pun. Lalu, pertanyaannya, hal apa yang membentuk atau melandasi ritual komunal tersebut mulai dijalankan dari masa lampau.

Pertanyaan ini membawa kita untuk mengenali satu karya yang mungkin mayoritas pernah mendengarnya. Sebuah buku berjudul ‘Sapiens: A Brief History of Humankind’ yang ditulis oleh Yuval Noah Harari. Karya ini berangkat dari kerangka gagasan Harari yang mulanya membagi sejarah homo sapiens (selanjutnya ditulis ‘sapiens’) dari Zaman Batu hingga abad ke-21 menjadi empat bagian[3]. Pertama, revolusi kognitif atau era awal modernitas perilaku sapiens ketika imajinasi berkembang. Kedua, revolusi pertanian yang terjadi sekitar 11 milenium yang lalu. Lalu, periode konsolidasi secara bertahap dari organisasi politik hingga globalisasi. Dan terakhir, revolusi ilmiah yang ditandai munculnya ilmu-ilmu objektif. Pelbagai revolusi ini telah memberdayakan sapiens untuk mencipta-hubungkan ide-ide dan menempatkannya diatas daya seleksi alam.

Sapiens memiliki kapasitas bahasa yang unik, sehingga memungkinkannya untuk menaklukkan atau mengambil-alih dunia, dan memang hanya sapiens yang mampu mencapai tingkat komunikasi tersebut, alhasilnya mampu berbicara tentang hal-hal yang belum pernah dilihat, disentuh, maupun dicium, seperti pemikiran keagamaan, mitos/cerita, dan lainnya[4]. Hal ini, lalu memungkinkan sapiens berkolaborasi dalam jumlah yang besar dan cara yang fleksibel, sekaligus membedakan mereka dari makhluk hidup lainnya.[5] Dengan mitos dan kepercayaan yang sama ini, banyak manusia kemudian dapat bekerja sama hingga bertahan sampai saat ini, menurut Harari.

Di kalangan akademis, cerita tersebut dikenal sebagai fiksi, konstruksi sosial, atau realitas imajinasi. Realitas ini tidak menjadi suatu kebohongan, karena seluruh kelompok memercayainya. Realitas dimana sapiens hidup didalamnya sejak revolusi kognitif, selain realitas fisik.[6] Dengan merubah mitos/cerita yang disampaikan, maka cara sapiens bekerja sama dapat didorong untuk berubah. Melalui keyakinan yang baru tersebut, sapiens mampu beradaptasi dan menyesuaikan perilakunya dengan segera.

Dalam penelitiannya, Harari berfokus pada aspek komunikasi verbal, seperti penciptaan mitos atau semacam realitas imajiner yang mendorong sapiens menjalin kontak tidak hanya dalam kelompok mikro, melainkan juga dalam lingkup makro.[7] Kesatuan mitologi ini, bagi Harari, memungkinkan komunitas untuk mempertahankan keragaman budaya guna bersatu dalam jumlah lebih besar.[8] Perkumpulan ini membentuk sistem simbolik yang terpadu, kemudian individu-individu didalamnya mengidentifikasi diri sebagaimana kepercayaan pada realitas imajiner tersebut.

Lebih lanjut, menurut Harari, mekanisme yang menghasilkan kolaborasi massal antar manusia adalah sama saja, baik itu dalam agama maupun dalam hukum. Konsekuensinya, baik agama maupun hak asasi manusia merupakan cerita yang direkayasa, bukan realitas objektif.[9] Ya, imajinasi yang berlangsung sejak revolusi kognitif hingga saat ini, membentuk sapiens hidup dalam realitas ganda, seperti yang ditulis Harari, bahwa “Di satu sisi, realitas objektif (seperti sungai, pepohonan, dan singa); di sisi lain, realitas imajinasi (berupa para dewa, bangsa, dan korporasi). Seiring berjalannya waktu, realitas yang diimajikan menjadi semakin kuat, sehingga saat ini kelangsungan hidup sungai, pepohonan, dan singa bergantung pada “kemurahan hati” entitas yang diimajikan (seperti Amerika Serikat dan Google.)[10]

Pungkasnya, sapiens telah membangun dunia kedua (realitas imajiner) yang terdiri dari narasi fiksi dan semua sistem kerjasama yang berskala besar termasuk agama, struktur politik, jaringan perdagangan, dan lembaga hukum, muncul berkat kapasitas kognitif khas sapiens terhadap fiksi, sebagaimana tertulis berikut: “Mitos-mitos yang mengelilingi kita dan membentuk hidup kita sangat menentukan apa yang kita yakini dan lakukan. Untuk mengubah tatanan yang dibayangkan, pertama-tama Anda harus menemukan kelompok yang percaya pada tatanan yang dibayangkan saat ini. Mitos-mitos baru harus dibangun atau dikembangkan dari mitos-mitos sebelumnya.”.[11] Jika kita kembali ke pertanyaan di paragraf pertama, lalu dijawab dengan perspektif Harari, yakni fiksi. Lantas, benarkah bahwa posisi agama sebagai landasan ritual komunal adalah sebagaimana yang dibayangkan oleh Harari? Dengan pertanyaan ini, kita mencoba menggali kembali mengenai konsep agama.

Kurangnya pengetahuan kita tentang agama dan kepercayaan prasejarah adalah salah satu lubang terbesar dalam pemahaman kita tentang sejarah manusia.”, tulis Harari dalam karyanya ‘Sapiens: A Brief History of Humankind’. Kalimat ini dengan kata kunci berupa “agama” dan “kepercayaan” nampak sekaligus menjadi petunjuk bagi kita untuk mampu membedakannya dengan mitos atau narasi fiksi, sehingga tidak terjatuh dalam kesimpulan yang menyimpang ihwal agama dan kepercayaan. Ya, disamping terdapat sejumlah peneliti yang menyebut, bahwa ada kemungkinan agama adalah adaptasi evolusioner dari otak homo sapiens, tetap ada yang memandang, bahwa agama bukanlah seperti itu.

Pada tahun 1966, seorang antropolog Geertz mendefinisikan agama sebagai suatu sistem symbol yang bertindak untuk membangun suasana hati dan motivasi dalam diri manusia dengan merumuskan konsep tentang tatanan keberadaan serta membingkai konsepsinya sedemikian rupa.[12] Definisi ini kemudian dicari alternatifnya oleh Lincoln, yang menyatakan bahwa agama adalah sebuah wacana yang perhatiannya melampaui kemanusiaan, temporal, dan kontingen serta memiliki status transenden; juga seperangkat praktik untuk menghasilkan dunia yang layak termasuk manusia didalamnya sebagaimana yang ditentukan oleh wacana keagamaan terkait praktik-praktik tersebut; pun berarti komunitas yang anggotanya membangun identitas mereka dengan mengacu pada wacana keagamaan dan praktik-praktik yang menyertainya; sekaligus merupakan sebuah institusi yang mengatur wacana, praktik, dan komunitas keagamaan sembari menegaskan validitas abadi beserta nilai transendennya.[13]

Definisi singkat, dapat kita artikan dari argumen Nongbri ihwal agama. Ia menyederhanakan pandangan Armstrong, sehingga didapat kesimpulan, bahwa agama adalah keterpaduan antara liturgi, ajaran, kontemplasi, sekaligus eksplorasi/pengalaman lahir-batin. Agama, bagi Nongbri, bukan hanya semacam watak batin dan kepedulian terhadap keselamatan, pun bukan sekadar kebudayaan manusia.[14] Jadi, dari argumentasi ketiga tokoh diatas nampak jelas, bahwa agama bukanlah mitos yang disepakati bersama, bukan pula cerita fiksi/imajinasi hasil kemampuan kognitif manusia.

Lebih jelas lagi perbedaannya, jika kita komparasikan dengan konsep Islam. Sejarawan agama, Smith pernah menyatakan, bahwa konsep ‘Islam’ disebutkan dalam al-Qur’an sendiri dan umat Islam menggunakannya untuk mengatur sistem kepercayaan mereka. Bagi Smith, kata ‘Islam’ digunakan dalam tiga arti yang berbeda namun terkait. Pertama, berarti ketundukan individu seorang muslim. Kedua, adalah entitas yang dilembagakan ditandai cita-cita dan realitas praktis dari sistem Islam yang holistik. Dan terakhir, sebagai sebuah agama yang paling sesuai dengan akal manusia.[15]

Masih menurut Smith, lebih lanjut ia menjelaskan. Dalam pengertian pertama, ‘Islam’ adalah sebuah infinitif, kata benda verbal, dan tindakan. Keseluruhan eksistensi seorang muslim terhimpun dalam ekspresi antara jiwanya dan alam semesta serta keyakinan maupun takdir akhirnya yang semua itu bergantung pada-Nya. Hal ini menyiratkan keputusan pribadi maupun kebenaran keyakinan pribadi yang harus didasarkan iman.[16] Kemudian, dalam arti kedua dan ketiga, ‘Islam’ adalah nama suatu agama. Artinya di tahap ini, umat Islam cenderung menggunakan konsep ‘Islam’ pada posisi kedua (yaitu sebagai cita-cita), sebaliknya bagi sebagian yang lain Islam cenderung diletakkan pada posisi ketiga (yaitu sebagai realitas historis-sosiologis)[17], tulis Smith.

Selain menyinggung konsepsi agama, Harari juga menyinggung soal korelasinya dengan konsepsi ihwal manusia. Dikatakan, bahwa “Tahap lanjutan dalam sejarah manusia tidak hanya melibatkan perubahan biologis dan teknologi, namun juga perubahan kesadaran dan identitas manusia. Perubahan mendasar ini, akan mendorong untuk mempertanyakan istilah ‘manusia’. Banyak orang berpikir bahwa pertanyaan yang harus kita ajukan untuk memandu pencarian ilmiah kita adalah, “Kita ingin menjadi apa?” dan “Apa yang ingin kita inginkan?[18]. Satu kutipan menarik ini, mengingatkan kita kembali pada satu ayat dalam al-Qur’an yang kira-kira demikian:

Tuhan sebagai Yang Maha Besar dan Maha Mulia dari sudut pandang umat Islam, menyapa para malaikat untuk memperkenalkan khalifah-Nya. Dengan amanat ini, misi manusia di bumi menjadi lebih jelas, yakni menggenapi karya penciptaan Tuhan di alam semesta. Oleh karenanya, keunggulan pertama manusia adalah ia mewakili Tuhan di bumi. Para malaikat lalu keberatan, “Apakah kamu ingin menciptakan makhluk pendendam, melakukan kejahatan, dan pertumpahan darah di muka bumi?” Namun, Tuhan menjawab, “Aku mengetahui sesuatu yang tidak kamu ketahui.” Maka dari sini, Tuhan terlibat dalam penciptaan manusia.

Simbol-simbol yang sarat dengan konotasi antropologis mendalam pun kemudian muncul. Karena Tuhan ingin menciptakan khalifah bagi diri-Nya di bumi, Dia harus memilih bahan yang paling berharga dan suci. Akan tetapi, Dia memilih hal yang paling dasar. Disebutkan dalam al-Qur’an, ada tiga referensi bahan untuk menciptakan manusia, yakni tanah liat (seperti tembikar) dan lumpur. Akhirnya, Tuhan menghembuskan roh-Nya ke dalam lumpur kering tersebut dan manusia pun tercipta.

Dengan kata lain, Tuhan adalah wujud yang paling suci dan agung, sedangkan lumpur melambangkan hal yang paling hina. Artinya, Roh Tuhan adalah “bagian” yang paling suci, mengagungkan, dan paling mulia dari keberadaan-Nya. Oleh sebab itu, dalam menciptakan manusia, Tuhan tidak menggunakan “nafas, darah, atau daging”-Nya. Sebaliknya, Dia meniupkan jiwa-Nya sendiri ke dalam manusia. Jadi, manusia yang terbentuk dari lumpur dan ruh Tuhan merupakan wujud dua dimensi. Manusia terdiri dari dua kontradiksi (lumpur dan roh Tuhan). Arti penting dan keagungan manusia terletak pada pilihan kemana harus pergi, menuju lumpur atau roh Tuhan, dan selama dia belum memilih salah satu kutub sebagai takdirnya, maka perjuangan manusia akan terus berlangsung pada dirinya.[19]

Catatan Kaki :

[1] Whitehouse H., 2004, “Modes of Religiosity: a Cognitive Theory of Religious Transmission”.

[2] Kapitány R, Kavanagh C, Whitehouse H, Nielsen M., 2018, “Examining Memory for Ritualized Gesture in Complex Causal Sequences”.

[3] Ben Shephard, 2014, “Sapiens: A Brief History of Humankind Review: Thrilling Story, Dark Message”.

[4] Panasyuk N.V., 2018, “Review of The Book by Yuval Noah Harari “Sapiens: A Brief History of Humanity”.

[5] Sinta Herindrasti V.L., 2019, “Sapiens: A Brief History of Humankind, Story about Human Evolution and Challenges Ahead”.

[6] Drew J., 2015, “Review of Yuval Noah Harari. Sapiens: A Brief History of Humankind”

[7] Parrish S., 2014, “Yuval Noah Harari: Why We Dominate the Earth”.

[8] Parrish S., 2014, “Yuval Noah Harari on Why Humans Dominate the Earth: Myth-Making”.

[9] Langa L., 2021, “Yuval Noah Harari – “Sapiens: A Brief History of Humankind”.

[10] Campani G., 2014, “Review of Sapiens: A Brief History of Humankind di Yuval Noah Harari”.

[11] Clear J., 2014, “Review of Sapiens by Yuval Noah Harari”.

[12] Clifford Geertz, 1966, “Religion as a Cultural System”.

[13] Lincoln B., 2006, “Holy Terrors: Thinking about Religion after September 11”.

[14] Nongbri B., 2013, “Before Religion: A History of a Modern Concept”.

[15] Smith W. C., 1981, “On Understanding Islam”.

[16] Smith W. C., 1979, “Faith and Belief”.

[17] Smith W. C., 1991, “The Meaning and End of Religion”.

[18] Luskin C., 2021, “A Scientifically Weak and Ethically Uninspiring Vision of Human Origins: Review of Yuval Noah Harari’s Sapiens”.

[19] Shariati A., 1981, “Man and Islam”.

*Penulis merupakan jamaah InPAS dan ITJ Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *