Oleh : M. Anwar Djaelani, penulis buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah dan sebelas judul lainnya
inpasonline.com – Semerbak wangi terus berhembus dari “Taman Hamka”. Taman yang dimaksud terdiri dari dua unsur berupa, pertama, keteladanan nan elok Hamka pribadi. Kedua, nasihat-nasihat nan teduh dalam karya-karya Hamka terutama di Tafsir Al-Azhar. Kesemuanya, dalam spirit cinta.
Memang, Hamka adalah sosok fenomenal. Hal itu, antara lain karena di antara jejak kebaikannya adalah karya abadi berupa lebih dari seratus judul karya tulis. Sebagai pemikir, karya-karya intelektualnya seperti empat seri Mutiara Falsafat (yaitu Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, dan Lembaga Budi) masih akan terus menginspirasi masyarakat luas. Sebagai sastrawan, karya-karya fiksinya (seperti ”Di bawah Lindungan Ka’bah” dan ”Tenggelamnya Kapan Van der Wijck”) telah puluhan tahun mempesona sekaligus menggugah siapapun yang membacanya. Sebagai ulama, Tafsir Al-Azhar karyanya, masih dan akan terus dibaca serta dikaji orang banyak.
Di Tafsir Al-Azhar, perihal doa dibahas secara mengesankan oleh Hamka. Mengesankan, karena Hamka menghubungkannya dengan cinta. Tentu, di sini, cinta kepada Allah.
Tak Terbandingkan
Tak seorangpun dari kaum beriman yang tak pernah berdoa. Masya Allah, keseharian mereka tak pernah lepas dari aktivitas berdoa. Mereka memohon, hanya kepada Allah lewat doa.
Doa terbaik bagi seorang Muslim ada di QS Al-Baqarah [2]: 201, yaitu: “Yaa Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka”.
Doa meminta “kebaikan di akhirat”, kata Hamka, hendaklah dibangun dari sekarang. Hal ini, karena kita harus sadar bahwa kesehatan, kekayaan (dan lain-lain kebaikan dari Allah) dapat kita jadikan sebagai modal dalam melakukan berbagai amal untuk bekal hidup kelak di akhirat. Ujung doa, kata Hamka, permohonan kepada Allah agar kita di akhirat terhindar dari azab api neraka (2003: 470).
Kebaikan, di doa yang kita minta itu, akan kita dapat jika aturan Allah dan Rasul-Nya kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Bahwa, kita tidak akan tersesat (alias selamat dan bahagia) selama kita berpegang kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Referensi Penting
Agar lebih bisa memahami isi Al-Qur’an, untuk kemudian kita amalkan, kita memerlukan tafsir yang ditulis ulama berkompeten. Di negeri ini, Tafsir Al-Azhar karya Hamka adalah salah satu yang bisa kita jadikan rujukan.
Banyak sisi menarik dari Tafsir Al-Azhar, antara lain: Pertama, disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh berbagai lapisan sosial.
Kedua, riwayat penulisannya yang sebagian diselesaikan Hamka saat dia ditahan rezim Orde Lama yang zalim, tergolong penuh ibrah. Di antara pelajaran yang dimaksud adalah bahwa di tengah berbagai keterbatasan (karena berada di tahanan) timbul keyakinan Hamka bahwa cintanya kepada Allah tak ada bandingannya.
Lihatlah, performa Hamka yang tegar meski dia disakiti secara sewenang-wenang. “Aku difitnah, dizalimi, dan dipisahkan dari masyarakat. Namun, imanku bertambah dalam kepada-Nya. Cintaku (kepada Allah) tidak dapat lagi diperbandingkan dengan segala macam cinta,” tutur Hamka (2003: 57-58).
Soal Kepatuhan
Hidup itu perjuangan! Tak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Selanjutnya, perjuangan tak boleh kendur dan apalagi mati. Untuk itu, terus nyalakan api ghirah.
Seperti Hamka, teruslah menyala semangat berkarya kita di mana saja dan kapan saja. Itu, bisa terjadi jika kita cinta Allah dan bukan kepada yang selain itu.
Perhatikan ayat ini: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali-‘Imraan [3]: 31).
Atas ayat di atas, Hamka menjelaskan bahwa cinta dalam ucapan saja tidak cukup. Bahkan, cinta hati yang tidak diikuti pengorbanan tidaklah cukup. Menyatakan cinta, padahal kehendak hati yang dicintai tidak diikuti, adalah cinta palsu. Allah tidak menyukai kepalsuan, tegas Hamka (2003: 757).
Hamka lalu mengutip syair:
Kamu durhakai Allah, padahal kamu menyatakan cinta kepada-Nya//
Ini adalah mustahil dalam kejadian dan ini adalah ganjil//
Jika memang cintamu itu cinta sejati, niscaya kamu taat kepada-Nya//
Sebab orang yang bercinta, terhadap yang dicintai selalu patuh//.
Alhasil, jika kita cinta Allah maka ikutilah Rasulullah Saw. Caranya, tegakkan risalah Islam yang dibawanya. Tentang ini, sambungan dari ayat QS Ali-‘Imraan [3]: 31 di atas yaitu ayat 32, lebih mempertegas lagi: “Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya’; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”
Semoga tersebab cinta kepada Allah, hari-hari yang sedang dan akan kita lalui, selalu sesuai dengan syariat Allah. Untuk itu, kita harus selalu bisa tegar di jalan yang benar. Jika sudah demikian, insya Allah kita berhak merasakan bahagia dalam naungan Ridha Allah. []