Jejak Digital Bisa Menjadi Pengganjal

Oleh : M. Anwar Djaelani

inpasonline.com – Ucapan dan tindakan kita, terutama yang tergolong sebagai tokoh publik, akan mudah dibuka ulang oleh masyarakat luas jika di belakang hari ”ada apa-apa”. Jejak digital kita akan mudah dibongkar jika diperlukan sewaktu-waktu sebagai ”barang bukti”. Intinya, di zaman digital, kalimat dan gambar (termasuk video) kita kuat terekam dan sewaktu-waktu bisa mencelakakan.

Berhati-hatilah dalam berucap dan bertindak! Sudah banyak contoh orang yang mengatakan ”A”, tapi segera ada bantahan bahwa itu tidak benar. Siapa yang membantah? Dirinya sendiri! Iya, karena dari jejak digital yang ada, orang yang sama sebelumnya menyatakan ”B”.

Berhati-hatilah dalam berucap dan bertindak, meski itu tampak sepele! Di media sosial, misalnya. Jangan mudah mengunggah kita sedang makan apa, berharga berapa, dan di mana. Jangan gampang memposting kita sedang ke mana dan naik apa.

Jejak digital yang buruk, bisa mengancam reputasi sesorang. Jejak digital yang jelek, dapat menghancurkan karir seseorang. Jejak digital yang negatif, bisa mengubur ”mimpi indah” seseorang.

Ada Bekas

          Perhatikanlah dengan seksama! Jika jejak digital versi manusia sedahsyat itu akibatnya, lalu bagaimana dengan “jejak digital” berupa jejak kehidupan yang harus kita pertanggung-jawabkan kelak di Hadapan Allah? Mari renungkan ayat ini: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan” (QS Yaasiin [36]: 65).

Atas ayat di atas, buka Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Bahwa, melihat jejak kehidupan itu tak perlu menunggu sampai kelak di akhirat. Di dunia ini, jejak kehidupan juga sudah bisa kita saksikan.

Hamka menulis, bahwa berbagai kejadian saat kita hidup di dunia, dapat dijadikan sebagai tafsir dari ayat tersebut. Hamka mengutip sebuah riwayat. Di suatu waktu, Usman bin Affan Ra–Khalifah ketika itu-sedang berada di majelis-nya bersama para Sahabat. Lalu, masuklah Anas bin Malik Ra. Sesaat setelah Anas Ra duduk, berkatalah Usman Ra kepadanya: “Aku melihat bekas zina pada mata engkau.”

“Masih adakah wahyu setelah Rasulullah, wahai Amirul Mukminin,” tanya Anas bin Malik Ra bernada tak terima dengan ucapan Usman bin Affan Ra.

Usman Ra menjelaskan bahwa hal itu bukan wahyu, hanya firasat. Kemudian, mengaku-lah Anas Ra tentang apa yang telah terjadi berupa sebuah “insiden” kecil menurut kebanyakan orang tapi tetap meninggalkan bekas. Sebuah bekas, yang jika tak segera ditobati akan membuat celaka kita.

Anas Ra lalu berkisah. Bahwa dalam perjalanan menuju majelis Amirul Mukminin, beliau berpapasan dengan seorang perempuan. Dia menyapa perempuan itu. Berikutnya, dia tertarik melihat lenggok perempuan itu saat berjalan. Hal itulah, rupanya, yang lekat di matanya. Untuk mencegah agar perasaan itu tak merasuk ke hati, dia istighfar. Setelah itu, Anas Ra bergegas masuk ke majelis Amirul Mukminin (Hamka, 2007: 6022).

Kita tahu siapa Anas Ra. Kita saksikan Anas Ra sudah istighfar. Hanya saja, sedikit ”jejak buruk” pada diri Anas Ra itu masih terlihat oleh mata Usman Ra.

Perhatikanlah, lanjut Hamka, mereka yang sedang sakit berat dan tampak dekat ajalnya. Kadang, mereka seperti bercakap-cakap mengeluarkan “apa-apa yang ada di dalam dirinya”. Rahasia-rahasia yang sebelumnya tersimpan hanya di hatinya, di luar kesadarannya, keluar. Jika tidak seperti itu, dia tampak seperti mengerjakan sesuatu yang menjadi kebiasaannya untuk waktu yang lama. Tukang cukur rambut, tampak tangannya bergerak-gerak seperti sedang memangkas rambut. Tukang sampan, terlihat seperti sedang mengayuh sampan.

          Hamka–yang di antara pekerjaan pokoknya adalah menulis-di saat menderita sakit cukup serius pada 1948, juga menunjukkah hal serupa. Istri dan anak-anaknya yang sedang menungguinya, berkisah bahwa saat itu Hamka–yang tak sadar-terlihat seperti orang yang sedang menulis (Hamka, 2007: 6023).

Pilih Jejak

Apa inti dari sejumlah ilustrasi di atas? Bahwa di saat-saat seperti itu, walau mulut membisu tetapi tangan dan kaki seolah-olah “bisa berkata-kata” lewat gerakan-gerakannya.

          Terkait, perhatikanlah hadits berikut ini. Dari Anas bin Malik, berkata dia: Kami berada di sisi Rasulullah suatu waktu. Lalu beliau tertawa. Maka berkatalah beliau, “Apakah kalian tahu apa sebab aku tertawa?” Kami jawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Lalu, sabda beliau: “Aku tertawa mengenang seorang hamba akan menghadap kepada Tuhannya”. Lalu dia berkata, “Yaa Tuhanku, bukankah Tuhan telah memastikan bahwa Tuhan tidak akan berlaku aniaya kepadaku?” Tuhan berfirman, “Memang, demikianlah!” Lalu, hamba itu berdatang sembah lagi. “Yaa Tuhanku, aku tidak hendak menerima kesaksian tentang diriku melainkan dari dalam diriku sendiri”. Lalu, Tuhan berfirman, “Cukuplah di hari ini dirimu sendiri jadi saksi atas dirimu! Dan Malaikat-Malaikat pencatat yang mulia (Kiraaman Kaatibiin) saksi luar”. Lalu, mulut si hamba itupun ditutup. Maka diperintahkan Tuhanlah anggota tubuh si hamba itu supaya bercakap. Lalu, bercakaplah anggota tubuhnya itu menjelaskan apa-apa yang telah dia amalkan. Setelah selesai, diberilah si hamba kesempatan berkata-kata kembali. Lalu dia berkata, “Celaka kalian, jauhlah kalian, sengsaralah kalian. Aku menutup mulut, kalian yang bercakap, padahal kalian yang aku perjuangkan” (HR Muslim).

Di dunia, jejak digital sangat dahsyat pengaruhnya. Misal, nasib bisa fatal buruknya jika kita tak berhati-hati. Di akhirat, jejak kehidupan kita akan berlipat tak terhingga lagi kedahsyatan akibatnya. Maka, tiada pilihan lain, buatlah jejak yang baik. Caranya, bawalah takwa di manapun kita berada. Caranya, teruslah bersikap hati-hati, yaitu hanya ajaran Allah saja yang harus kita kerjakan.

Mari, secara khusus, jika kita harus punya jejak digital maka buatlah yang baik. Secara umum, hendaknya semua jejak langkah kehidupan kita berada dalam bingkai takwa. Insya Allah hanya dengan cara itu jejak kita tak akan bisa menjadi pengganjal yang mencelakakan, baik di dunia maupun di akhirat.

Terakhir, di antara usaha agar keseharian kita selalu dalam bingkai takwa, selalu ingat-ingatlah sebagian kisah hidup Anas bin Malik Ra yang sempat khilaf seperti yang telah disampaikan ulang oleh Hamka di atas. Semoga Allah kuatkan kita agar selalu berhati-hati. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *