Berhijrah, Songsong Era Cerah

Written by | Opini

 

Strategi Bagus

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab RA, umat

Islam memerlukan sebuah kalender yang manfaatnya

banyak. Misalnya, untuk lebih rapinya administrasi pemerintahan.

Di sebuah musyawarah, dipilih agenda: Dari peristiwa

apa dihitung permulaan tahun baru Islam yang akan

ditetapkan itu? Muncullah berbagai ide. Ada usul, agar

dihitung dari bulan kelahiran Rasulullah Muhammad SAW.

Ada saran, supaya dihitung dari hari pertama Rasulullah

SAW menerima wahyu pertama di gua Hira’. Dan, beragam

gagasan lainnya.

Akhirnya, diputuskan, kalender Islam

dihitung dari peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari

Mekkah ke Madinah, untuk menyelamatkan dan meneruskan

perjuangan menegakkan Islam.

Umar bin Khaththab RA (dan sahabat lainnya), sadar

tentang ‘kelebihan’ peristiwa hijrah Rasulullah SAW.

Momentum itu bukan hanya sekadar peristiwa sejarah biasa.

Namun, lebih dari itu, ia mengandung nilai-nilai pendidikan

yang utama yaitu semangat iman, hijrah, dan jihad.

Ketiga komponen itu (yaitu iman, hijrah, dan jihad)

merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan sebagai

syarat tercapainya ketinggian derajat dan kemenangan.

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan

Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi

derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat

kemenangan (QS At Taubah [9]: 20).

Hijrah, secara bahasa berarti berpindah atau menyingkir.

Dan, secara maknawi dapat dijelaskan melalui sabda

Rasulullah SAW berikut ini. Orang yang berhijrah adalah orang

yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah atasnya (HR

Bukhari dan Muslim). Berhijrah adalah meninggalkan segala

kenistaan dan pelanggaran (HR Ibnu Majah).

Dengan demikian, hijrah adalah proses kepindahan

dari suatu keadaan yang tak baik (baca: tak diridhai Allah)

menuju ke yang baik (baca: diridhai Allah). Hijrah adalah

suatu tahapan peralihan dari kegelapan (minadz dzulumat)

menuju cahaya terang benderang (ilan nur).

Adapun secara khusus, hijrah adalah kepindahan

Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah semata-mata

karena menuruti titah Allah.

Terkait ini, ada baiknya kita ulang secara

singkat kisahnya. Pada masa awal, dakwah Rasulullah SAW tak

mendapat sambutan memadai. Tekanan-tekanan –fisik dan

psikis- semakin berat. Bilal dan keluarga Yasir, adalah

contoh sahabat yang merasakan tekanan itu. Bahkan,

kepada Nabi Muhammad SAW sudah diskenario: Bunuh!

Atas situasi terakhir itu, bagi Rasulullah SAW, hanya ada satu pilihan: Hijrah! Tinggalkan Mekkah, menuju Madinah. Sungguh, keputusan ini sama

sekali tidak terkait dengan rasa takut menghadapi lawan. Ini

adalah bagian dari strategi. Dan, ringkas kata, dengan

melewati perjalanan yang tak mudah, Rasulullah SAW

berhasil hijrah ke Madinah.

Ketika kaum muslimin diminta hijrah, mereka

akan berangkat walaupun harus meninggalkan seluruh hal yang

dicintainya. Ketika Ali bin Abi Thalib RA diminta

menggantikan Rasulullah SAW tidur di pembaringannya

(yaitu saat Rasulullah SAW berangkat hijrah, untuk

mengelabui para musuh), Ali bin Abi Thalib RA bersedia melakukannya.

Padahal, itu beresiko sangat besar.

Ketika kaum muslimin yang lain sudah berangkat

hijrah dan Abu Bakar RA meminta izin kepada Rasulullah

SAW untuk berangkat juga, Rasulullah SAW menahannya seraya

mengajak hijrah bersama pada kesempatan berikutnya.

Diatur demikian, Abu Bakar RA taat. Padahal dia sadar

bahwa hijrah bersama Rasulullah SAW tingkat bahayanya

jauh lebih besar karena Rasulullah SAW adalah ‘target

operasi’ kaum musyrik Quraisy.

Mengapa mereka begitu taat? Tak lain, karena iman

telah tertanam kuat. Aqidah mereka kokoh dan oleh karena

itu mereka memiliki pendirian yang teguh. Mereka telah

sampai pada tahap istiqomah. Sesungguhnya orang-orang

yang mengatakan:Tuhan kami ialah Allah kemudian mereka

meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada

mereka (dengan mengatakan): Janganlah kamu merasa takut dan

janganlah kamu merasa sedih: dan gembirakanlah mereka dengan

(memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’.(QS

Fushshilat [41]: 30).

Dalam sejarah penegakan tauhid, hijrah adalah

pilihan strategi yang ampuh. Strategi ini mampu membuat

kita berkelit dari tekanan musuh agama, yang biasanya

dikomando penguasa zalim yang suka memaksa rakyat

memaksiati Allah.

Lihatlah, Nabi Ibrahim a.s. berhijrah karena

Namrudz -sang raja- melarangnya menyebarkan agama

tauhid (lihat QS Al ‘Ankabuut [29]: 26). Juga, cermatilah

bagaimana Nabi Musa a.s. berhijrah, karena Fir’aun -sang raja

memberlakukan ketentuan-ketentuan yang berlawanan

dengan kehendak Allah (lihat QS Al Qashash [28]: 20-22).

Bagaimana dengan hijrah kita sekarang? Jika suatu

saat keadaan yang dihadapi kita (kaum muslimin) sama

seperti yang dihadapi oleh Ibrahim a.s. di bawah kesewenang-

wenangan Namrudz, sama seperti yang dihadapi

Musa a.s. di bawah kezaliman Fir’aun, maka hijrah

adalah strategi utama yang harus dipilih.

Tetapi, jika keadaan kondusif bagi terselenggaranya

dakwah, maka hijrah kita ambil ruhnya saja. Kita ambil

semangatnya saja. Orang yang berhijrah adalah orang yang

meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah atasnya (HR Bukhari

dan Muslim). Berhijrah adalah meninggalkan segala kenistaan

dan pelanggaran (HR Ibnu Majah).

Muhajirin, Bisa!

Tampak, ada pesan kuat dari dua hadits di atas bahwa kita harus hijrah dari kezaliman menuju keadilan. Kita hijrah dari kecurangan menuju kejujuran. Kita hijrah dari segala yang dilarang Allah menuju ketaatan kepada

semua perintah Allah. Dan, jika demikian halnya,

sesungguhnya diam-diam kitapun berhak mendapat

sebutan sebagai ‘muhajirin’ (orang yang berhijrah). Allahu-

Akbar! []

 

Last modified: 15/11/2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *