Inpasonline.com-Tantangan pendidikan Islam saat ini menurut Prof. Sayid M. Naquib al-Attas adalah hilangnya adab (loss of adab). Terjadinya loss of adab dalam pendidikan karena dua hal; pertama gencarnya sekularisasi dalam pendidikan Islam, kedua kebiasaan meninggalkan tradisi pendidikan para ulama yang akibatnya menurunkan otoritas ulama Islam.
Sekitar awal tahuan 70-an terjadi gelombang besar-besaran pengiriman mahasiswa dan dosen ke negeri-negeri non-Muslim (Barat) untuk mempelajari agama Islam (dirasah Islamiyah). Cendekiawan Muslim alumnus perguruan tinggi Barat kemudian membawa metodologi studi agama yang baru. Dari sinilah sekularisasi pendidikan Islam terjadi.
Para mahasiswa ini belajar ilmu tafsir, ilmu fiqih, hadis, tasawwuf, kalam dan lain-lain kepada ilmuan non-Muslim (Yahudi, Nasrani dan lain-lain) dengan perspektif orientalis.
Karena itu, pembelajaran ilmuan non Muslim tentang studi Islam perlu dilihat, dikaji dan dibaca secara kritis. Tidak serta merta ‘ditelan’. Harap difahami sebelumnya, bahwa ilmu dalam pandangan Barat sekuler tidak dibangun di atas wahyu namun berdasarkan spekulasi filosofis.
Prinsip utama ilmu Barat tidak dikaitkan dengan agama. Rasio menjadi sumber utama kebenaran, bukan wahyu. Relativisme dan skeptisisme (keragu-raguan) diangkat menjadi metodologi ilmiah. Bahwa, untuk menguji suatu objek ilmu misalnya harus menggunakan paradigma ‘keragu-raguan’ agar disebut ilmiah, adil dan netral. Metodologi Barat yang seperti ini tidak akan bisa diterapkan dalam studi Islam. Sebab, seorang Muslim belajar Islam bertujuan agar keimanannya kepada Allah Swt meningkat, dekat dengan-Nya, dan Dia ridha kepadanya. Bukan sebaliknya menjadi ragu.
Jika paradigma ‘keragu-raguan’ diterapkan dalam studi Syariah. Mereka menjadi tidak yakin terhadap prinsip-prinsip Islam. Bahkan konsep keimanan pun bisa diragukan. Padahal, dalam konsep Islam antara syariah dan akidah saling terkait dan merupakan satu jaringan konsep Islam. Ironisnya, pandangan sekuler ini dianut sebagaian cendekiawan Muslim dalam studi agama.
Pada dasarnya, poin mendasar perbedaan metodologi Islam dan metodologi Barat sekuler adalah cara mendapatkan kebenaran pengetahuan. Filsafat Barat sekuler menggunakan metode rasionalis-empiris (mengandalkan akal dan fenomena belaka), menolak wahyu, serta menjadikan skeptisisme (keraguan) sebagai metode mendapatkan ilmu.
Dalam ajaran Islam, pencarian ilmu dalam rangka untuk memenuhi keperluan spiritual dan meraih kebahagiaan (al-sa’adah) akhirat. Kebahagiaan yang hakiki adalah hakikat spiritual yang kekal. Jika suatu ilmu justru menjauhkan dari jalan kebahagiaan akhirat, maka ada kemungkinan, niatnya salah atau ilmunya yang keliru. Dua-duanya mendatangkan kesesatan.
Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah mengidentifikasi seorang pencari ilmu yang salah. Diantaranya belajar semata-mata karena ingin mendapatkan popularitas dan memperbanyak kepuasaan duniawi. Pelajar yang demikian menurut Imam al-Ghazali berpotensi kuat menjadi pemimpin yang tersesat.
Umar bin Khattab ra pernah mengingatkan fenomena cendekiawan yang tidak beradab. Dikutip oleh imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin beliau berkata: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap umat ini adalah orang pintar yang munafik. Para sahabat bertanya: Bagaimana bisa seseorang itu menjadi munafik yang pintar? Umar menjawab: Yaitu orang yang pandai berbicara (bak seorang alim), tapi hati dan perilakunya jahil”.
Orang yang disebut Umar ra tersebut merupakan orang yang pandai, intelektualnya tinggi, akan tetapi hatinya kotor. Niat berilmu bukan mencari kebahagiaan akhirat. Sehingga antara ilmu dan amal tidak berkorelasi. Perawakannya berilmu akan tetapi perilakunya tidak beradab. Fenomena seperti inilah yang oleh Umar ra. dikhawatirkan akan merusak etika umat manusia. Seperti itulah gambarannya produk dari materialism pendidikan yang asasnya adalah ideologi sekularisme. Inilah produk materialisme pendidikan yang asasnya adalah ideologi sekularisme.
Sebetulnya, jika digali secara serius, tradisi para ulama Islam kaya dengan metodologi canggih. Hanya saja, dikarenakan hegemoni metode Barat sekuler yang mendominasi dunia akademis, akhirnya metodologi para ulama Islam pelan-pelan tenggelam. Tidak dikenal banyak oleh para akademisi.
Tugas calon ulama dan calon intelektual adalah menggali kembali konsepsi-konsepsi Islam dalam tradisi ulama dahulu. Kemudian disesuaikan dengan ‘nafas’ dan kebutuhan sekarang ini.
Tetapi, tidak semua dilarang mutlak belajar Islam ke Barat. Banyak ilmuan Muslim alumni pusat-pusat studi Islam di Barat yang kebal terhadap ‘virus’ pemikiran. Mereka misalnya, Muhammad Musthofa al-A’zhami alumni Cambride University, Syed M Naquib al-Attas alumni SOAS London dan lain-lain. Harapa dicatat, mereka yang tetap istiqamah meskipun bertahun-tahun studi Islam di Barat. Karena tujuan mereka bukan ‘menelan’ mentah ilmu non Islam, tetapi mengetahui seluk-beluk metodologi asing dalam belajar Islam, sehingga diketahui motif dan hakikatnya. Ada hal yang bisa diambil, ada pula yang harus ditolak.
Mereka tidak terpengaruh, tetapi bahkan bersikap kritis terhadap orientalis pengkaji Islam karena tokoh-tokoh ini memiliki bekal yang benar tentang ilmu Islam. Mereka juga tidak mengidap penyakit ‘minder’, atau mudah terpukau. Bekal yang wajib dan paling dasar adalah akidah kuat dan niat yang benar.
Tetapi jika hanya bekal bahasa Arab “syukron”, “ahlan wa sahlan”, “kaifa haluk” dan lain-lain sudah tentu tidak benar belajar Islam kepada non-Muslim. Namun, yang sering diketahui, belum tuntas ilmu akidah dengan bangganya belajar di pusat-pusat studi Islam di negeri Barat. Ini ada dua kekeliruan. Pertama, niat yang tidak betul. Untuk kebanggan diri. Kedua, bekal ilmu akidah yang lemah.
Wal hasil, bagi kita yang masih benar-benar awam,belajar sesuatu harus kepada orang yang ahli dan kompeten. Belajar ilmu komputer tentu kepada ahli komputer, bukan ahli teknik bangunan. Begitu pula belajar agama tepatnya kepada ulama yang diakui keilmuannya. Mau belajar, telitilah gurunya terlebih dahulu. Supaya kita selamat.