Ironisnya, tawaran tersebut disambut sangat baik oleh para sarjana muslim. Mereka berlomba-lomba mendapatkan beasiswa ke Barat. “Sebenarnya hal itu tidak ada masalah jika mereka yang hendak ke sana membekali diri dengan ilmu dan iman yang kuat,”terang dosen Universitas Antar Bangsa Malaysia ini.
Yang menjadi persoalan, menurut Syamsudin, jika yang ke sana adalah mereka yang ‘ignorant’, jahil mengenai agamanya sendiri dan buta akan tradisi intelektual Islam. Apalagi kalau sudah kemasukan inferiority complex alias minder, sehingga mudah sekali terpukau dan terpengaruh oleh hasil kajian islamolog Barat.
Menurut Syamsuddin, kampus-kampus di Barat mempelajari Islam dengan framework (cara berfikir) orientalis. Dimana framework orientalis itu begitu detail dan rumit, sehingga kalau tidak cermat, orang yang sedang belajar Islam di sana tidak akan menyadarinya. Padahal, cara orientalis dalam mempelajari Islam ini sangat berbahaya. Pasalnya, mereka mempelajari Islam bukan untuk mencari kebenaran, melainkan semata-mata untuk ilmu.
“Islam tidak dipelajari berdasarkan iman, bertambahnya ilmu tidak menjadikan bertambahnya iman. Bahkan sebaliknya, dapat makin menjauhkan orang dari Tuhan,” ulas Syamsuddin.
Sebab, menurut Syamsuddin, orang Islam yang belajar Islam dengan menggunakan framework orientalis akan menjadi Muslim yang kritis terhadap tradisi intelektual Islam, tetapi apresiatif terhadap tradisi intelektual Barat. Ini karena Islam dipelajari secara telanjang, tidak dengan iman.
Perubahan cara pandang ini pada akhirnya akan merubah banyak hal, termasuk merubah cara berfikir dan merubah cara berislam orang yang bersangkutan. Karena itu menurut Syamsuddin, efek negatif belajar Islam di Barat adalah orang bisa menjadi skeptis (senantiasa meragukan), agnostik (selalu mencari tapi tidak pernah menemukan), pedantik (cenderung berbelit-belit), reduksionistik (suka mengerucutkan permasalahan), dan lain sebagainya.
Berikut penjelasan Dr. Syamsuddin yang diwawancari Majalah Hidayatullah yang dikutip Inpasonline.com
Menurut Anda, perlukah kaum Muslim belajar studi Islam di Barat?
Menurut saya, tetap perlu. Tapi sebelum pergi ke sana harus punya bekal yang matang. Yang bersangkutan harus diikat dengan niat dan syarat yang jelas.
Niatnya meningkatkan pengetahuan, menambah pengalaman dan memperluas wawasan lillahi ta’ala, bukan li-dun-ya yushibuha. Kita harus akui bahwa Barat unggul dalam metodologi riset yang biasa disebut technique of scholarship. Metode ini menggabungkan penguasaan bahasa, budaya, dan sejarah dengan kecakapan filologi dan ketajaman analisis falsafi. Adapun syaratnya, yang bersangkutan harus sudah matang dulu secara intelektual maupun spiritual.
Apakah karena alasan Barat unggul dalam metolodogi kemudian Anda juga belajar ke sana?
Itu yang pertama. Selama ini banyak orang beranggapan studi Islam di Barat lebih unggul dibanding di Timur Tengah, terutama dalam hal metodologi. Nah, saya ingin membuktikan sendiri sejauh mana kebenaran asumsi tersebut. Apakah itu kenyataan atau mitos belaka. Kedua, saya juga ingin membuktikan apakah benar yang sering dikatakan selama ini, bahwa orientalis Islam untuk menghancurkannya. Hemat saya, agar tidak dituduh bersikap a priori oleh para pengikut orientalis, adalah penting untuk memiliki pengalaman sendiri. Ini penting supaya tidak terkena peribahasa, “man jahila syay’an ‘adahu”, bahwa orang yang belum mengenal sesuatu cenderung memusuhinya. Terakhir, untuk legimitasi dan otoritas. Sebab, disadari atau tidak, bangsa kita masih percaya bahwa lulusan Barat konon lebih paham dan menguasai. Lebih qualified dibanding lulusan dalam negeri atau Timur Tengah. Karena itu, menurut saya, ada untungnya kalau kita pernah studi di Barat, terutama ketika kita menghadapi para pengagum Barat yang arogan dan merasa ‘superior’. Kata hadits sombong kepada orang sombong adalah sedekah.
Apa yang Anda pelajari di sana?
Semula saya ingin belajar paleografi dan filologi bahasa Arab, khususnya yang berkaitan dengan teknik dan seluk beluk penyuntingan manuskrip. Handsschrifkunde istilahnya. Sekaligus mempelajari metodologi riset orientalis. Untuk itu saya berniat mengedit kitab Abkar al-Afkar karya Saifudin Al-Amidi, yang juga pengarang kitab al-Ihkam fi Ushulil –Ahkam. Jadi dirasah wa tahqiq. Sebagian besar manuskripnya sudah saya teliti waktu di Istanbul. Namun rencana tersebut berubah, karena belakangan saya dapat info, ternyata kitab tersebut sudah diterbitkan di Kairo. Akhirnya saya memutsukan untuk mengkaji satu bagian saja dari kitab tersebut, yakni Qaidah ke-4, seputar masalah-masalah teologi. Saya beruntung karena pembimbing saya, Profesor Hands Daiber, tidak mempersoalkan topic dan judul yang saya pilih.
Anda belajar kepada orietalis. Apa tidak takut terpengaruh?
Kalau pengaruh positif, seperti keseriusan dan ketelitian dalam mengkaji sebuah masalah, justru saya harapkan. Dalam hal ini saya harus belajar banyak pada mereka. Dalam menganalisa sebuah masalah mereka betul-betul all-out dan tidak kenal lelah. Ini kan sangat positif.
Tapi jika pengaruh negative, seperti sikap arogan, double-standard, pedantic, reduksionistik, biased dan lain sebagainya yang melatarbelakangi berbagai asumsi dan pendapat mereka, tentu saya berharap tidak. Memang harus kita akui banyak di kalangan kaum muslim yang terpengaruh bahkan mengusung dan menyebarkan pikiran-pikiran dan gagasan mereka.
Namun yang kritis terhadap orientalis juga banyak. Contohnya, Syaikh Abdul Halim Mahmud lulusan Sorbone, Mustafa A’zami dari Cambridge atau Syed Naquib Al-Attas lulusan London.
Jadi masalah terpengaruh atau tidak, menurut saya, tergantung orangnya. Kalau kita ignorant’, tidak mengerti tentang agama kita sendiri apalagi sampai mengidap penyakit minder terhadap Barat, tentu mudah sekali terpengaruh dan terpukau mereka. Pendek kata jangan seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh tukang sihir.
Dalam beberapa kasus, orang mengaku menemukan Islam di Barat. Bagaimana ini bisa terjadi?
Saya kira itu ungkapan frustasi yang berlebihan. Sebuah jawaban untuk pertanyaan yang telah menggangu para pemikir Muslim dari mulai Abduh, Iqbal, Rahman hingga al-Attas: limaadza ta’akhkhara l-muslimun wa taqaddama ghayruhum? Mengapa umat Islam tertinggal, sementara umat-umat lain maju pesat?
Keterbelakangan umat bukan disebabkan oleh ajaran Islam, sebagaimana kemajuan Barat bukan dikarenakan agamanya. Kemajuan, kebersihan, kesehatan, ketertiban, itu soal mentalitas, soal disiplin, kejujuran dan kerja keras.
Menurut Anda, apakah studi Islam di Barat itu selalu kental misi orientalisme?
Saya tidak ingin memukul-rata. Namun, pada banyak kasus memang tak dapat dipisahkan dari agenda-agenda tertentu yang jelas berpihak pada kepentingan politik, ekonomi, dan budaya mereka. Hal ini dapat dimaklumi dan terlalu naif untuk kita pungkiri.
Menurut pengamatan Anda, sikap orientalis terhadap Islam itu seperti apa?
Mereka sebenarnya ada yang halus dan ada yang kasar (dalam memusuhi Islam). Kalau yang halus itu seperti profesor saya. Ia mengatakan, meskipun kita tidak sependapat dengan orang Islam, kita sebaiknya menjaga hati orang Islam, jangan melukai hati orang Islam. Yang halus seperti ini biasanya dengan bahasa diplomatis. Kalau di Inggris ada Montogomerry Wat, dan di Jerman ada Annimarie Schimmmel. Karena begitu simpatiknya terhadap Islam, Schimmel sampai dikenal sebagai ahli Pakistan, India, Parsia, dan sufistik Timur. Ia pernah dianugerahi Pen Award. Itu anugerah penulis internasional berbasis di Perancis.
Ketika diwawancarai tentang Salman Rushdie, ia bilang, Salman itu salah. Menurutnya, tindakan si penulis buku Ayat–ayat Setan (The Stanic Verses) itu tidak bisa dibenarkan. Sebab berarti melukai hati orang Islam. Tapi akibat komentarnya itu, ia diprotes, serta seketika itu pula penghargaan yang ia terima ditarik. Memang ada yang bilang Schimmel sudah masuk Islam, tapi bukan itu yang penting. Tapi sikap dan komentar dia yang mengatakan Salman Rushdie itu salah dan melukai umat Islam. Di sini ada ketegangan antara umat Islam dan Kristen.