Pola Relasi antara Mursyid Dan Murid dalam Pendidikan Tasawuf

Oleh: Moh. Ishom Mudin

Pendahuluan

  halaqahRelasi dan interaksi mursyid dan murid dalam tasawwuf biasa disebut ‘shuhbah’. Hubungan terpancar dari esensi tasawwuf itu sendiri, yaitu ihsan. Ihsan sendiri tidak sendiri, melainkan puncak spiritual yang melewati Islam dan Iman. Berislam merupakan ‘inisial’seseorang yang masuk ke dalam lingkaran peraturan Ilahi. Berucap kemudian bermal secara ‘dhâhir’.[1] Hanya`tunduk, patuh dan pasrah secara lahiriah.[2] Beriman adalah terbangun dari keyakinan hati, lalu berbuat sesuai dengan pondasi pilar yang pertama. Ber’ihsan’, adalah gabungan keduanya, ditambah keyakinan karena menyaksikan. Ihsan digambarkan oleh Abu `Abbas al-Mursi dengan `ubûdah (penghambaan) dan ‘tahaqquq’.[3] Jibril mendefiniskan ‘Ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau negkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau’.[4] Untuk itu, al-Attas mengungkapkan bahwa bertasawwwuf sebenarnya adalah ‘mengaplikasikan syari`at dengan derajat ihsan (the practice of shari`ah at the station of excelence).[5]

Tingkatan ini tidak diperoleh dengan serta merta, melainkan membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dalam beribadah dan memerangi musuh, baik itu egoisme diri sendiri ataupun godaan-godaan setan sebagi musuh abadi. Untuk itu, para ulama yang menekuni bidang ini memberikan metode dan jalan yang harus ditempuh. Adanya bimbingan dan interaksi secara terus menurus dengan sesorang guru spiritual adalah salah satunya. Interaksi ini biasa disebut ‘shuhbah’. Metode ini kemudian banyak dikembangkan oleh sekelompok sufi yang tergabung dalam madrasah tasawwuf yang lebih dikenal dengan ‘Tharîqah’ (tarekat) yang berkonsentrasi dalam bidang pendidikan spiritual (tarbiyyah rûhiyyah). Tulisan ini mencoba menelaah secara mendalam bagaimana sistem ‘shuhbah’ tarikat tasawwuf, kedudukan murid dan mursyid, bentuk ikatan antara keduanya.

 

Karektieristik dan Perkembangan Tarekat Sufi

            Kata ‘tharîq’ dengan bentuk jamak ‘thuruq’, secara bahasa berarti jalan yang dilalui dengan kaki. Kemudian kata ini digunakan untuk menunjukkan jalan hidup baik itu positif atau negatife. Seperti dalam ayat; ‘sesungguhnya orang-orang kafir dan dhalim, Allah tidak mengampuni dan menunjukkanya jalan‘.[6] Juga ayat; ‘…dia menunjukkan kebenaran dan jalan yang lurus’.[7] Adapun ‘tharîqah’ dengan bentuk jama ‘tharâiq’, mempunyai arti yang sama, hanya saja kata yang kedua ini lebih menekankan stratifikasi jalan hidup.[8] Seperti ayat: ‘dan sebagian dari kita ada orang-orang yang shalih, adapula yang lebih rendah di bawahnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda’.[9]

Dalam istilah tasawwuf, sebagaimana yang didefinisikan Sayyid al-Jurjani (w. 815 H) kata Tharîqah berarti ‘metode khusus yang dipakai oleh salik menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan spiritual (maqâmât)’.[10]Definisi ini pun berkembang dengan adanya seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukan ijtihad spiritual dalam menentukan metode yang ditempuh dalam jalan itu. Untuk itu, Dr. Abdul Halim al-Hifny mendefinisakanya sebagai ‘kumpulan kaidah-kaidah- dan aturan-aturan yang dikodifikasikan oleh para syaikh agar tercapaiya tujuan para murid, beserta interaksi keduanya, untuk mencapai derajat hakikat dengan Allah’.[11] at-Taftazany (W. 1994 M) mensinyalir, para muryid tarekat banyak terpengaruh oleh tasawwuf yang dikonsepsikan oleh Imam al-Ghazali (W. 505 H).[12]   Kemudian istilah Tharîqah (baca: tarekat) banyak dikenal sebagai bentuk ‘madrasah’,ri`âyah’ atau organisasi sufi yang terlembaga dengan adanya mursyid, murid dan beberapa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang dimiliki.

            Mustaha Hilmy (w. 1969 M) menengarai bahwa munculnya embrio tarekat sufi ini bermula pada abad ketiga Hijriyyah, namun dalam bentuk yang sederhana. Para pelajar tasawwuf berkumpul di ‘zâwiyyah’, ‘ribâth’, atau ‘khanîqah’ sebagai tempat khsusus penempaan spiritual didampingi guru sufi untuk mengadakan kajian-kajian ruhani. Adapun tokoh-tokohnya diantaranya Junaid al-Baghdadi (w. 297 H), Sarry as-Saqathy (W. 251 H), Abu Husain an-Nuri (W.295 H). [13] Tokoh-tokoh ini nantinya merupakan penyambung sanad beberapa tarekat sufi. Beberapa tarekat sufi ini i mencapai bentuknya pada abad kelima hijriyyah, ditandai dengan terbentuknya tarekat besar seperti tarekat al-Qadiryyah yang didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H) dan tarikat ar-Rifiyyah yang digagas oleh Imam ar-Rifa`I (W. 578 H).[14] Kemudian tarekat-tarekat bermunculan, dan setiap tarekat besar bercabang sehingga melahirkan anak-anak tarikat.

Setiap tarekat mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan tarekat yang lain, namun ada garis irisan karakteriktik yang menjadi persamaan. Diantaranya adalah: seluruh tarekat menjadikan ‘shuhhah’ sebagai relasi antara mursyid dan murid. Relasi ini terjalin karena adanya Inisiasi atau bai`at. Pemakaian ‘khirqah’ sufi sebagai identitas dhahir yang mudah dikenal. Adapun aktifitas yang menonjol adalah adanya bentuk-bentuk wirid, dzikir, atau ‘hizib’ baik yang ‘ma`tsur’ berasal dari Nabi atau hasil karya para pendirinya. Selain itu juga sering diadakan acara-acara spiritual sufi yang biasa disebut ‘simâ’.[15] Adapun perbedaan antara tarekat itu hanya terletak pada rincian dari kesamaan-kesamaan itu. Oleh sebab itu, corak bertasawwuf seperti ini sangat khas dimiliki oleh tarekat-tarekat tersebut.

Secara umum, inti tujuan ‘tharîqah ssufi dan syari`ah oleh fuqaha sebenarnya tidak berbeda, yaitu ‘wushul’ kepada Allah dengan penerapan prinsip taqwa. Namun, yang pertama mempunyai penekanan yang lebih kepada pendidikan aktifitas batin, bentuk olah jiwa (riyâdhah), dan prinsip-prinsip keyakinan bagi anggotanya,[16] Yang kedua berkonsentrasi dalam isntimbat hukum-hukum dhahir. Namun, tidak berarti ada pembuangan pada salah satu keduanya.[17] Hal ini dibuktikan, para tokoh pendiri tarekat atau pimpinanya adalah ulama yang mengusai berbagai disiplin ilmu seperti aqidah, Syari`at, dan penyucian jiwa.

Oleh sebab itu, mengikuti madrasah tarekat merupakan salah satu bentuk jalan bertasawwuf dari sekian bentuk yang lain. Namun bukan berarti beraviliasi dengan tarekat tertentu juga bukan bentuk kesalahan. Bahkan seseorang bisa baraviliasi lebih dari satu tarekat. Yang menjadi kewajiban bagi muslim adalah bertaqwa, yakni menjalani segala bentuk perintah, dan menjauhi segala bentuk larangan. Dua hal ini meliputi tiga rukun agama; yakni iman, Islam dan Ihsan. Yang menjadi kesalahan adalah mengabaikan prinsip-prinsip takwa itu. Kehadiran madrasah sufi ini sebagai metode ilmiah-spiritual untuk melaksanakan takwa itu.

 

Definisi dan Cakupan Shuhbah

al-Qur`an menggunakan kata ‘shahiba’ untuk menunjukkan hubungan yang sangat erat antara kedua orang karena seringnya berinteraksi (katsurat mulâzamah), pemilik barang biasa disebut ‘shâhibuhu’.[18] Beberapa ayat al-Qur`an menunjukkan hal ini, misalnya perkataan Nabi Muhhamad kepada Abu Bakar dengan menyebutnya sebagai ‘shâhibih’,[19] kerena memang Abu Bakar adalah teman yang banyak berkumpul bersama Nabi. Sekelompok pemuda yang tertidur bertahun-tahun di dalam goa Kahfi disebut ‘ashbâb al-Kahfi’.[20] Dari beberapa sturktur ini, kata ‘shahiba’ digunakan untuk menunjukkan hubungan erat antara dua hal yang dibuktikan dengan seringnya berinteraksi.

Ilmu tasaawuf menggunakan istilah Shuhbah secara resmi yang utnuk menggambarkan hubungan antara “murid” dan “mursyid”, juga orang-orang yang berkecimpung dalam tarekat. Hubungan ini digambarkan dengan hubungan persahabatan karena terilhami dari proses hubungan antara Rasulullah dengan para pengikutnya dan pendampingya. Rasul menyebut mereka dengan ‘sahabat’, bukan tilmîdz atau thâlib, walaupun mereka sebenarnya adalah orang-orang yang mengambil ilmu pengetahuan dari Beliau. Pemberian istilah ini lebih didasarkan pada kedekatan hubungan spiritual yang saling mempengaruhi, proses hubungan yang terus menerus, dan tujuan hubungan yang murni karena Allah SWT.

Penggunaan istilah ini lebih juga berkaitan erat dengan tujuan tasawwuf itu sendiri, yaitu memiliki pribadi rabbani dan akhlak yang terpancar dari akhlak Rasulullah SAW dalam tingkatan Ihsan.[21] Jalan yang terbaik untuk mencapainya dengan melakukan pertemanan dengan seseorang yang mempunyai akhlak seperti itu, tidak hanya terbatas dengan membaca melalui buku-buku. Hal ini dipandang sebagai cara yang paling efektif, karena karena watak dan karakter manusia itu cepat ‘menular’ pada orang lain, baik itu karakter baik atau buruk. Dengan demikian, pribadi baik seperti taqwa, wara`, zuhd akan mudah diterima oleh murid yang berkedudukan seperti sahabat.[22]

Pemakaian istilah ini juga terilhami dari padangan al-Qur`an, al-Hadits dan perkataan para ulama. Misalnya perintah untuk selalu bersama-sama golongan yang bersungguh-sungguh dalam kebenaran (shadiqin),[23] turut serta mengikuti metode orang-orang yang kembali pada Allah,[24] perintah terus bersabar bersama-sama orang yang selalu berdzikir pagi maupn petang.[25] Semantara sebuah hadits yang sangat masyhur menyebutkan efektifitas hubungan pertemanan seperti bau pemilik minyak misik dan bau asap pandai besi. Siapa saja sering bergaul dengan salah satu dari keduanya, akang mendapatkan percikan aromanaya.[26] Inilah sebabnya, kaum sufi lebih suka menggunakan istilah ‘shuhbah’ dapri pada istilah yang lain.

Sebagaimana disinggung, dalam teori shuhbah tidak hanya mengatur hubungan mursyid dan murid, melainkan juga mengatur hubungan orang-orang yang terlibat di dalamnya baik secara langsung atau tidak. Orang yang terlibat secara langsung seperti mursyid, murid dan sahabat-sahabat se-almamater tarekat. Adapun yang terlibat tidak langsung adalah orang-orang lain selain itu. Setiap eleman ini mempunyai cara berinteraksi spiritual yang berbeda. Misalnya saja, prinsip shuhbah dengan orang-orang secara umum yang tidak bertarekat (al-Ajânib) dengan bersikap ramah dan penuh kasih sayang, menjaga rahasia teman-teman se-almamter, tidak banyak menyinggung aturan ber-tarikat, dan sabar dengan sikapnya jika berbuat jelek.[27] Adapun prinsip shuhbah dengan orang-orang yang berpengatahuan rendah dengan mengedepankan kesabaran, perilaku yang baik, beramah tamah, serta menancapkan dalam pikiran bahwa para murid diberi nikmat yang besar dengan berkecimpung dalam pendidikan spiritual yang belum mereka dapatkan.[28]

Adapun berbagai aktififitas dalam proses shuhbah yang dikhususkan antara mursyid dan murid. Dimulai dengan adanya seorang mursyid yang benar-benar berkompeten. Seorang murid yang bersungguh dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan bimbingan mursyid. Hubungan keduanya diikat melalui inisiasi dan baiat. Proses ini ditandai dengan pemakian khirqah sufi. Dengan terlaksananya berbagai hal ini, maka proses shuhbah akan benar-benar berjalan. Setiap poin dalam tulisan ini akan memabahas masalah ini.

 

Urgensi Mursyid

Secara psikologis, manusia membutuhkan seorang motifator yang bisa memberinya semangat dalam berbagai hal, termasuk dalam beribadah kepada Allah. Bila dalam posisi labil, motifator bisa mendampinginya untuk bangkit. Bila dalam kondisi stabil, dia akan terus memompa semangatnya. Dalam tasawwuf, motifator itu biasa disebut, mursyîd (pembimbing), ‘syaikh’ (guru), ‘thabîb al-arwâh’ (dokter ruh), ‘Thabîb al-anfâs’(dokter jiwa), ‘imâm’ (pemimpin),‘wâlid as-sirr’ (orang tua mata hati).[29] Istilah-istlah ini berhulu pada satu titik, yaitu objek pendidikan tasawwuf adalah pendidiakan jiwa spiritual; ‘tarbiyyah rûhiyyah’. Adapun seseorang yang mendalami tasawwuf yang berada dibawah bimbingan mursyid dan nama-nama tersebut biasa disebut dengan ‘murîd’ (yang berkehendak dibimbing),‘sâlik’ (penempuh jalan berTharîqah), atau ‘mutashawwif’(pelajar tasawwuf).

al-Qur`an menginformasikan pentingnya seorang pembimbing dalam berbagai bidang. Dalam firma-Nya “…dan setiap kaum itu mempunyai seorang yang memberi petunjuk’.[30] Mengomentari ayat ini, Syekh Yusuf mengemukakan dalil psikologis, bahwa secara kejiwaan manusia membutuhan seorang pembimbing spiritual. Oleh sebab itu diutuslah para Rasul-rasul untuk membimbing manusia ke jalan yang benar. Hal ini dikarenakan, walaupun manusia mempunyai kemampuan berfikir dengan akal dan pengetahuanya, namun kemampuan tersebut sangatlah terbatas dan tidak jarang terdapat kesalahan-kesalahan penyimpulan.[31]

Sebagaimana informasi yang ditulis Syaikh Muhammad Zadah al-Utsmani, bahwa para ahli tasawwuf ber-ijmak bahwa memiliki seorang guru spiritual adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dalil rasional bahwa sesuatu yang secara pasti menjadi sebab terealisasinya suatu kewajiban, maka hal itu secara otomatis juga menjadi wajib (mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fa huwa wâjib). Gambaranya adalah seluruh bentuk perbuatan manusia haruslah bersih dari penyakit hati yang telah diharamkan oleh al-Qur`an seperti cinta dunia, takabbur, ujub, riyak, menghasud dll. Untuk membersihkanya diperlukan seorang dokter jiwa yang dalam hal ini adalah adanya seorang syaikh. Seseorang tidak cukup hanya belajar secara otodidak untuk mengobati penyakitnya. Bagaikan seorang pasien yang belajar ilmu kesehatan bahkan sanggup menghapal teori-teori pengobatan. Namun, ia tidak dibimbing seorang dokter. Maka dikhawatirkan akan terjadi ‘mall’ praktek.[32]

Urgensi adanya seorang mursyid juga terkait dengan tujuan utama yaitu mencapai derajat ma`rifat dengan ‘wushûl’ kepadanya.  Dalam perjalanan menuju ‘maqam’ ini, seorang murid akan menemukan berbagai hal yang perlu dikonsultasikan dengan orang yang lebih berpengalaman dan juga ‘mungkin’ pernah mengalaminya. Dengan adanya konsultasi ini tentu akan mempermudah jalan untuk mencapai tujuan dan mencegah dari salah jalan. Sebagai contoh, dalam ‘tadabbur’ seorang salik bukan tidak mungkin akan datang bisikan-bisikan berbentuk ‘malakiyyah atau ‘syaithaniyyah. Maka, untuk itu perlu berkonsultasi dengan mursyid.

Imam al-Ghazali (w.505 H) dalam berbagai karyanya menekankan pentingnya seorang mursyid bagi salik dalam perjalanan tasawwufnya. Hal ini lebih disebabkan jalan terjal, bisikan setan juga menghadanganya dan sanggup menyesatkanya. Tanpa guru, murid Ibarat pohon yang tumbuh sendiri, akan kering, bahkan tidak berdaun dan mati.[33] Posisi guru ibarat seorang pertain yang merawat sawahnya, jika ada hama atau tanaman berbahaya, dia langsung mencabutnya. Dia juga menyirami, merawat dan memupuknya.[34]

                       

Komptensi dan Adab Mursyid                         

Sebagaimana ungkap Imam al-Qasyani, ‘syaikh’ atau mursyid secara definitif adalah ‘seseorang yang telah menguasai tahap kesempurnaan dalam trilogi disiplin keilmuan; syari`at, tariqat dan hakikat, sangat pakar dalam mengetahui seluk beluk nafsu dan penyakit-penyakitnya, berikut cara penangulangan dan penyembuhanya’.[35] Dengan kepakaran dalam trilogi ilmu ini, seorang mursyid bisa memberikan jawaban-jawaban atau solusi berkenaan dengan masalah tauhid, fiqh, atau penyucian yang dihadapi murid.[36]

Selain kepakaran dalam tiga ilmu, ada beberapa kompetensi yang harus dipenuhi. Pertama, pandangan rohani yang jelas (dzauq sharîh). Kedua, pengetahuan yang benar (ilm shahîh). Ketiga, Cita-cita yang tinggi (himmah aliyyah). Keempat, kondisi jiwa yang diridlai (hâlah mardliyyah). Kelima, mata batin yang tajam (bashîrah nâqidah). Kelima syarat ini memberikan pengertian bahwa ada lima hal lain lagi sebagai lawan dari hal tersebut yang menjadikan seseorang gugur dan tidak bersertifiaksi sebagai mursyid. Diantaranya adalah; pertama, bodoh dalam urusan agama (jahl bi ad-dîn). Kedua, menjatuhkan kehormatan orang Islam (isqât hurmat al-muslimîn). Ketiga, berkecimpung dalam hal-hal yang tidak bermafaat. Keempat, mengikuti hawa nafsu. Kelima, berperangai buruk.[37]

Seorang mursyid juga dituntut untuk selalu menjaga hati dari sifat takabbur dan membanggakan diri sendiri dengan kedudukan mursyid yang dimiliki. Apalagi dengan meningkatnya jumlah murid dan orang-orang yang berdatangan untuk meminta bimbingan. Dalam hal ini, Imam Abdul Wahhan as-Sya`rani menungkapkan:

Pakaian, hiasan, perangai (dhahir) sufi, menghadiri berbagai pertemuan tidaklah cukup. Ketika kepercayaan dan bertambahnya banyaknya murid yang ikut, nafsunya berkata: “Engkau dalam (tokoh) kebaikan besar”. Dengan banyaknya pengikut ia tertipu bahkan memuji Allah. Ketika jumlah pengikut dan muridnya menurun, (secara diam-diam) ada perasaan benci kepada Allah. Seharusnya dia tidak memperdulikan hal itu atau hal-hal sejenisnya. Sikap seorang faqir adalah selalu menghadapkan jiwa kepada Allah secara dhahir dan batin dengan berbagai bentuk pendekatan dan ibadah..”.[38]

 

Adapun tujuan adanya berbagai kompetensi dan adap yang harus dipenuhi mursyid adalah untuk menjaga otentisitas Ilmu tasawwuf agar tidak menyimpang dari aturan-aturan dalam ilmu syari`ah dan hakikat. Hal ini karena dijumpai adanya, ‘pseudo sufi’ atau “sufi jahil” yang melakukan kesalahan fatal dalam aktifitas tasawwuf, seperti menggugurkan ibadah-ibadah dhahir, mengeluarkan kata-kata yang menjurus kepada ‘syirik’. Seandainya kelompok sufi ini mempunyai pengikut dan mendirikan ‘zawiyyah’ tentu akan membuat citra buruk tasawwuf. Jika seorang murid menjumpai berbagain bentuk penyelewengan syari`at, maka seorang murid bisa meninggalkan sang mursyid dan mencari guru yang lebih berkompenten.[39]

 

Adab Murid

            Sebebelum melakukan syuhbah dengan dengan seorang muryid, murid terlebih dahulu harus benar-benar memilih mursyid yang berkopenten sebagai mana yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya. Standarnya adalah adanya tanda-tanda semua nasihat-nasihat mursyid bisa membuatnya selalu bersemangat untuk melaksanakan berbagai ketentuan dalam tasawwuf. Ini bisa dibuktikan dengan berbagai pengalaman murid-murid yang bershuhbah denganya. Selain itu, juga ada indikasi seluruh tindakanya bisa mengantarkan kepada Allah. hal ini dilenkapi dengan shalat Istikharah. Sebagaimana ungkapan Ibn Athaillah: “Janganlah bersuhbah dengan siapapuun yang yang kondisinya tidak membuatmu semangat, dan perangainya tidak mengantarkanmu kepada Allah”(la tashhab man lâ yunhidluka hâluh, wa layadlull alâ allâh maqâluh ).[40]

Ibn Athaillah as-Sakandari juga menggambarkan bagaimana model pendidikan mursyid terhadap murid:

Gurumu bukan hanya kau dengar. Tetapi adalah orang yang kau ambil darinya. Gurumu bukan saja orang yang penjelasanya mengarah padamu. Tetapi, gurumu adalah yang isyaratnya mengalir kepadamu. Gurumu bukan hanya yang mengajakmu ke pintu. Akan tetapi, gurumu adalah orang yang mengangkat hijab antara dirimu dan dia. Gurumu bukan saja orang yag ucapanya tertuju kepadamu. Akan tetapi, gurumu adalah yang ruhaninya membangkitkan semangatmu. Gurumu adalah orang yang membebaskanmu dari penjara nafsu, dan mengantarmu menemui Tuan yang Maha Tinggi.[41]

 

Apabila sudah menemukan mursyid dan bersedia menjadi muridnya, maka murid melakukan insiasi spiritual (pentahbisan) sebagaimana yang akan dibahas selanjutnya atau tanpa melakukan insiasi spiritual. Setelah proses seremonial selesai maka murid harus mematuhi peratura-peraturan yang ditetapkan oleh mursyid. Proses interaksi antara salik dan mursyid digambarkan seperti hubungan antara ayah dan anak, seperti mayat yang dimandikan mursyid.[42] Seluruh perbuatanya merupakan rujukan utama dalam tinsdakan salik. Perumpamaanya seperti Ka`bah sebagai qiblat Shalat.[43]

Seorang murid juga tidak segan-segan menceritakan pengalaman spiritual baik itu positif maupun negatife. Proses ini hampir sama dengan proses pengobatan dalam ilmu kedokteran atau penyembuhan psikis oleh psikiater. Dengan adanya keterbukan, seorang mursyid bisa mendiaknosa apa masalah-masalah yang dihadapi dan bagaimana cara menyelesaikanya, tentu dengan adanya beberapa hal yang dijauhi.[44]

Walaupun murid harus mematuhi dan menjalankan motifasi spiritual, namun mereka tidak boleh meyakini bahwa mursyid terjaga dari dosa (ma`shûm). Murid juga mengedepankan perasangka baik kepadanya.[45] Juga tdak bisa dikatakan peran mursyid ini seperti peran para pendeta dan lembaga patoral yang diberi wewenang memberikan pengampunan sebagai ‘wakil’ Tuhan dengan kompensasi tertentu. Mursyid hanya seorang pembimbing spiritual.

 

Insiasi Spiritual

Inisiasi spiritual merupakan bentuk pelantikan atau peresmian seorang murid atau salik untuk bersungguh-sungguh melakukan usaha yang gigih (mujâhadah) dalam memerangi hawa nafsunya sehingga mampu memperolah kedekatan dengan Allah didepan seorang mursyid. Beberapa proses ceremonial inisiasi ini biasa disebut ‘bai`at’ atau ‘talqin’ yang berarti komitmen kesetiaan.

Adapaun bentuk bai`atnya berbeda-beda disesuaikan dengan masing-masing tarekat (madrasah shufiyyah). Ada tarikat yang menenentukan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Misalnya; berjabat tangan antara murid atau mursyid, atau mursyid meletakkan tangan kananya di atas tangan kanan murid dengan membaca beberapa ayat al-Qur`an. Lalu murid melafalkan do`a dengan bimbingan muryid. Ada juga yang dilakukan dengan pergantian nama atau menaambahkan panggilan bagi murid yang mengikuti inisiasi tersebut. Namun, ada titik persamaan dari semua madrasah sufi; kondisi salik harus suci dari hadats dan menyicikan jiwanya sehingga benar-benar siap. Bertawassul kepada Nabi Muhamad saw. [46]

Para sufi menjelaskan bahwa pelaksanaan inisiasi ini berdasarkan keterangan baik dari al-Qur`an maupun penjelasan Rasulullah. Misalnya; Orang-orang yang berjanji setia kepadamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Tuhan di atas tangan mereka. Barang siapa melanggar janjinya, niscaya akibat dia melanggar janji itu akan menimpa dirinya. Dan barang siapa menetapi janjinya kepada Allah, Allah akan memberinya pahala yang besar”.[47] Keberadaan inisiasi ini kemudian bersifat mengikat, “Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji, dan janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah kalian,[48] sehingga keistiqamahan dalam berislam bisa terbentuk.

Adapun sejumlah hadits membenarkan adanya baiat rasululllah dengan para sahabatnya. Sebuah hadits dari Ubaidah bin Samit; “Berjanjilah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak berbuat bohong di antara (dengan berbagai perbuatan) tangan dan kaki kalian, dan tidak mendurhakai aku dalam kebaikan. Barang siapa di antara kalian menepati janji ini, dia akan mendapatkan pahala dari Allah. Barang siapa yang melanggar sebagian darinya lalu Allah menutupinya, hukumannya bergantung pada Allah. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengam-puninya. Dan jika tidak. Dia akan menghukumnya”. Maka kami pun membaiat beliau dengan hal itu”.[49]

            Dalam dunia pendidikan modern, model inisiasi ini diadopsi namun dengan bentuk yang lain. Misalnya seorang siswa atau mahasiswa dituntut untuk memenuhi syarat pendaftaran sebagai seorang mahasisiwa dan mengisi blanko pendaftaran. Berbagai betuk orientasi pun dilaksanakan. Hal ini sebagai konsekwensi resmi bahwa mahasiswa tersebut secara resmi diterima sebagai anak didik dalam sebuah sekolah atau universitas. Setelah itu dia di diperbolehkan mengikuti berbaai perkuliahan yang ada. Disamping itu, ada beberapa kode etik universtas yang harus dipatuhi. Inilah bentuk gambaran mudahnya.

 

 

 

Pemakaian Khirqah

Pemakaian khirqah merupakan salah satu bentuk ceremonial insiasai. Secara bahasa ‘khirqah berarti selendang, kain, atau sobekan kain baju. Selain kata ‘khirqah’, ada pila istilah-istilah lain yang digunakan seperti adalah ‘ar-râyah’; bendera, ‘al-hizâm’; sabuk, ‘al-ilbâs’; pemakaian surban, jubah, peci, atau yang lainnya. Sedangkan dalam istilah para sufi, khirqah merupakan cenderamata sebagai bentuk ketersambungan dan ijazah sanad dalam tasawwuf. Juga, pemakaian ini bukan tujuan utama karena hanya benda-benda dhahir. Namun, intinya adalah memerangi hawa nafsu dan berpegang teguh dengan al-Qur`an dan as-Sunnah dengan penggunaan sanad sebagai bentuk otentisitas ajaran.

As-Suhrawardi (w. 632 H)[50] menjelaskan bahwa sanad khirqah dalam bidang ini terbagi menjadi dua; khirqah iradah atau shuhbah dan khirqah tabarruk atau tasyabbuh. Yang pertama, diperuntukkan untuk murid resmi yang telah ber-shuhbah dengan guru. Adapun yang kedua hanya mengikuti konsep-konsep suluk sang guru saja, tanpa bergaul secara langsung dan memasrahkan diri. [51] Sebagai contoh, Tharîqah Syadzliyyah mempunyai dua sanad ini dan dengan jalan yang berbeda. Sanad ‘khirqah iradah’ berujung kepada Hasan al-Basri dari Ali Bin Abi Thalib. Sanad Khirqah tabarruk berujung kepada Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib.[52]

Beberapa kalangan Muhadditsîn ada yang mengingkari sanad dalam tasawwuf karena Hasan al-Bashri tidak pernah berjumpa dengan Ali Bin Abi Thalib. Namun, al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi (w.911 M) telah menjawabnya secara detail dalam Fatawi-nya bahwa mereka berdua bertemu, sehingga sanad dalam tasawwuf juga benar bila ditakar dengan ilmu musthalah hadits. Beliau mengatakan:

Sekelompok Huffâdz mengingkari bahwa Hasan al-Bashri mendengar dari Ali Bin Abi Thalib, begitu juga beberapa kalanga mutaakhhirin, sehinga mereka menolak khirqah. Tetapi, beberapa yang lain menetapkanya. Pendapat yang kedua inilah yang kuat menurut pendapat saya, juga dikuatkan oleh al-Hafidz al-Maqdisi dalam al-Mukhtâr, kemudian diikuti oleh Ibn Hajar al-Atsqalâni dalam Athraf al-Mukhtârah” . Lalu beliau menjelaska buktinya secara panjang lebar.[53]

 

Selain mempunyai tujuan menyambngkan sanad, Pemakaian khirqah ini memiliki makna tersendiri. Pertama, gambaran bahwa murid benar-benar memasrahkan dirinya kepada syaikh (yadhul fi irâdatih). Kedua, gambaran bahwa ia bertaubat kepada Allah dibawah bimbingan seorang syaikh. [54] Kedua, pemakaian khirqah ini sebagai bentuk wasilah agar murid benar-benar menghiasi batinya dengan hiasan batin yang dipakai syaikh. Dengan tujuan murid benar-benar berpakaian taqwa ( taqwa) baik dhahir ataupun batin.[55] Ketiga, murid mendapatkan tambahan kebaikan melalui bimbingan syaikh. Keempat, agar murid juga memperoleh dan merasakan apa yang dirasakan dan disaksikan mursyid ketika memakai khirqah. Ketika memakai khirqah, penglihatan mursyid yang telah dilimpahi cahaya suci. Oleh sebab itu, nantinya murid juga akan mendapatkan pencerahan dengan hubungan batin antar keduanya. Kelima, mempererat hungan batin antar mursyid dan murid, sehinga keduanya saling mencintai, secara otomatis murid akan mengikuti apa yang telah dilakukan mursyidnya.[56]

 

Penutup

Sistem shuhbah banyak digunakan oleh orang-orang yang tergabung dalam madrasah tasawwuf yang biasa disebut tarekat sufi. Dengan berbagai varian yang ada didalam suhbah dapat memberikan dampak yang luar biasa bagi mursyid, murid, dan tujuan pendidikan ruhani. Seorang mursyid dituntut untuk selalu melakukan bimbingan intensif dengan berlandaskan syari`ah. Adannya bai`at bukan hanya menjadi perjanjian antara mursyid dan murid, melainkan dengan Allah SWT. Oleh sebab itu, mereka benar-benar melakukan mujâhadah dengan semangat dan daya yang tinggi. Dalam syuhbah, mursyid juga berperan sangat sentral dan memiliki hak paten untuk memilih bentuk bimbingan. Namun, juga sangat memperhatikan proses mujahadah seorang salik. Disisi lain, kompetensi seorang mursyid juga akan menghalangi adanya ‘penyelewengan’ dalam proses ‘irsyad’, walaupun ini belum pernah terjadi dalam bimbingan tasawwuf. Khirqah mengindikasikan bahwa keilmuan dalam tasawwuf adalah orisinil karena didasarkan kepada sanad yang jelas. Untuk itu, maqam Ihsan yang menjadi tujuan dengan sendirinya akan bukan hanya harapan, melainkan dapat diwujudkan.

 

Penulis adalah dosen Tasawuf UNIDA Gontor

[1] Ibn Athaillah as-Sakandary, Qashd al-Mujarrad fî Ma`rifah al-Ism al-Mufrad, ed: Mahmud Taufiq al-Hakim, (Mesir: Maktabah Madbuli, 2002), 20

[2] Lihat: QS. al-Hujarat 49:14

[3] Secara kengkap trilogy tersebut menurut Syekh al-Mursy adalah, Islam, Iman dan Ihsan. Atau ibâdah, `ubûdiyyah` (pengabdian), `ubûdah (penghambaan). atau syari`ah, haqiqah, tahaqquq. Lihat: Ibn Athaillah as-Sakandary, Lathâif al-Minân. ed: Dr. abd Halim Mahmud, (Mesir: Dar al-Maarif,2006), cet: 3,105.

[4] Abi al-Husain Muslim, Shahih Muslim, Bab: al-iman, (Riyad: Bait al-fkar ad-dauliyyah, 1998 ) , 6

[5] SMN. al-Attas, The Positive Aspects of Tasawwuf, dalam Islam, Secularisme And The Philosophy Of Future, (London: Mansell Publising Limted), 207

[6] QS. an-Nisa: 168

[7] QS. Al-ahqaf: 30

[8] Râghib al-Usfahâny, al-Mufradât Fi Gharîb al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Ma`rifah, tt), 303

[9] QS. al-Jinn: 11

[10] Sayyid al-Jurjani, Kitâb at-Ta`rîfât, (Beirut: Maktabah Lubnan, 1985),126

[11] Abd al-Mun`în al-Hifny, al-Maushû`ah as-Shûfiyyah, (Kairo: Maktabah Madbûli, 2006), 1111

[12] Abû al-Wafâ al-Ghanâmy at-Taftâzâny, Madkhal Ila at-Tasawwuf al-Islamy, (Kairo: Dâr at-Tsâqafah, 1979), 234.

[13] Muhammad Mustafa Hilmy, al-Hayâh ar-Rûhiyyah fî al-Islâm, (Mesir: al-Hai`ah al-Mishriyyah, cet:2 1984), 134

[14] Abû al-Wafâ al-Ghanâmy at-Taftâzâny, Madkhal Ila at-Tasawwuf al-Islamy 236-240.

[15] Manâl abd Mun`im Sayyid Jâdullâh, Atsar ath-Tharîqah fâ Hayâh al-Ijtimâiyyah li A`dlâihâ, Disertasi Doctoral, Universitas Iskandaria, 205-226

[16] Abd al-Mun`în al-Hifny, al-Maushû`ah as-Shûfiyyah, 1112

[17] Ibn Âbidîn, Hâsyiyah Radd Al-Mukhtâr, Jilid: III(Mesir: Bulaq, 1323 H), 303

[18] Râghib al-Usfahâny, al-Mufradât Fi Gharîb al-Qur`ân, 275

[19] QS. At-Taubah: 40

[20] QS. Al-Kahfi: 34

[21] Misalnya Ibn Ajibah mengatakan: “Tasawwuf adalah Ilmu yang membahas metode melangkah menuju Allah, atau pembersihan diri dari segala hal yang buruk dan menghiasainya dengan keutamaan-keutamaan, atau sirnanya makhluk (pent: Hinanya diri karena hanya ciptaan yang berasal dari ketiadaan) dalam menyaksikan Yang maha benar, atau dengan kembali ke makhluk. Awalnya ilmu, pertangahnya amal dan berakhir dengan karunia”. (Ibn Ajibah, Mi`raj Tasyawwuf ila Haqâiq Tasawwuf, ed. Abd Majid Khayyaly, (Magrib: Dar al-Baidla, tt) ,25-26

[22] Abdul Qadir Isa, Haqâiq an at-Tashawwuf, (Kairo: al-Maqthom Li an-Nasyr wa at-Tawzi,2009),21

[23] QS. At-Taubah : 119

[24] QS. Luqman: 15

[25] QS. Al-Kahfi: 15

[26] Muhammad Bin Isma`il al-Bukhari, al-Jâmi as-Shahîh, ed: Fuad Abd a-Baqi (Kairo: Mathba`ah Salafiyah, 1400 H).

[27] Abd al-Qadir al-Jailani, al-Ghunyah li Thâlib Tharîq al-Haqq, Jilid: II (Mesir: al-Baby al-Halaby, 1288 H), 148

[28] Abu Najib as-Suhrawardi, Kitab adab al-Muridin, (al-Quds: Ma`had Dirsah Asiawiyyah wa Afriqiyyah), 38

[29] Abd ar-Razzaq al-Qâsyâni al-Qasyani, Lathâif al-I`lam fi Isyârah ahl Il-Ilhâm, (Kairo: Maktabah Tsaqafah Diniyyah, 2005 ), 478

[30] QS. ar-Ra`d: 07

[31] Yusuf Khattar Muhammad, Maushûah Yûsufiah Fî Bayân Adillah as-Shûfiyyah, (Kairo : Dar at-Taqwa, 2004).

[32] Muhammad As`ad Zadah al-Utsmani an-Naqsabandi, Bughyah al-Wâhid fi Maktûbât Hadlrah Mawlânâ Khâlid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012),14

[33] Abû Hâmid al-Ghazâli, Ihyâ Ulûm ad-Dîn, Jilid: III (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 65

[34] Abû Hâmid al-Ghazâli, Khulâshah Tashânif at-Tashawwuf, (Mesir: as-Sa`adah, 1327 H), 18

[35] Abd ar-Razzaq al-Qâsyâni, Isthilâhat as-Shûfiyyah, ed: Kamar Ibrahim Ja`far (Kairo: Hai`ah Ammah al-Mishriyyah, 1981 ), 154; Ahmad an-Naqsabandi, Kitâb Jâmi` al-Ushûl Fî al-Auliyâk, (Mesir: Mathba`ah Wahbiyyah, 1298 H), 87

[36] al-Qusyairi, arRisâlah al-Qusyairiyyah fi Ilm at-Tashawwuf (Mesir: Mathba`ah al-Adabiyyah, 1319 H), 90

[37] Ahmad an-Naqsabandi, Kitâb Jâmi` al-Ushûl Fî al-Auliyâk,15

[38] Abd Wahhab as-Sya`rani, al-Anwâr al-Qudsiyyah Fi Ma`rifah Qawâi`d as-Shûfiyyah, ed: Thaha Abd al-Baqi Surur, Jilid 11 (Beirut: Maktabah al-Ma`arif, 1962), 33

[39] Al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, 90

[40] Ibn Athaillah as-Sakandary, al-Hikam al-Athaiyyah, dalam: al-Hikam al-Athaiyyah al-Kubra Wa as-Shugra wa Wa al-Mukatabat, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Alamiyyah, 2006), 13

[41] Ibn Athaillah, Lathaif al-Minan, ed: Dr. abd Halim Mahmud, cet: 3(Mesir: Dar al-Maarif, 2006), 204

[42] Abd al-Wahhab as-Sya`rani, al-Anwâr al-Qudsiyyah, 189

[43] Abd al-Wahhab as-Sya`rani, al-Anwâr al-Qudsiyyah, 82.

[44] Ahmad Shabahy, al-Falsafah al-Akhlâqiyyah, (Kairo: Dar al-Ma`arif, 1969 H ), 248

[45] Al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, Jilid.2, 743

[46] Amir Najjar, ath-Thuruq as-Shûfiyyah fi Mishr: Nasy`atuhâ Wa Nadhmuhâ Wa Rawâduhâ, (Mesir: Dar al-Ma`arif,Tt ), 29

[47] QS. al-Fath: 10

[48] QS. an-Nahl: 90

[49] Muhammad Bin Isma`il al-Bukhari, al-Jâmi as-Shahîh, Kitab: al-Iman, 22

[50] Ada tiga nama Suhrawardi dalam tasawwuf. Pertama, Abu Najib Abd al-Qadir as-Suhrawardi, penulis kitab adab al-Muridin, wafat: 563 H. Kedua, Syihab ad-din Yahya Bin Habsy Bin Amrik as-Suhrawardi dan lebih terkenal dengan gelar ‘al-Maqtul’, penggagas filsafat Isyraqy, wafat: 587 H. Ketiga, Shibabuddin Suhrawardi penulis kitab Awarif al-Ma`arif, wafat 632 H

[51] Shibabuddin Suhrawardi, Awarif al-Ma`arif, jilid: 1 (Kairo: Mathaba`ah as-Sa`adah, tt),/251,255

[52] Nuh Hamim, Aurad Tharîqah Syadziliyyah, (Kairo: Dar Zahid, 1997 ), 6-8

[53] as-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi, ed: Muhammad Abdul Hamid, Jilid: II (Kairo: Maktabah Ashriyah, 1411 H), 102-103

[54] Muhammad ali At-tahanawi, Kassyâf Ishtilâhat al-Funûn wa al-Ulûm, Jilid: I, (Lebabon: Maktaban Lubnan, tt), 456

[55] QS. al-A`raf: 26

[56] Muhammad ali At-tahanawi, Kassyaf Ishtilahat al-Funun wa al-Ulum,Jilid: I, 456

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *