Serial ini mengambil plot zaman kekuasaan Dinasti Qing (Manchuria), pada masa kepemimpinan Kaisar Qianlong. Cerita berkisar pada perlawanan suku Hui yang beragama Islam terhadap kekuasaan represif Dinasti Qing. Di era modern, penindasan pemerintah China terhadap suku Hui – yang kini dikenal dengan nama Muslim Uyghur – terus berlanjut; terakhir terjadi pada Ahad, 31 Juli 2011, sehari sebelum puasa Ramadhan dimulai.
Setelah dua tahun berselang sejak kerusuhan yang menewaskan 200 orang dan melukai 1.700 orang – kebanyakan korban berasal dari pihak Uyghur – Xinjiang kembali membara. Polisi menembak mati empat orang warga Kashgar, Provinsi Xinjiang, wilayah barat Cina, Ahad (31/7) sore. Kematian empat orang ini menambah daftar tewasnya warga Kashgar menjadi 11 orang dalam kerusuhan tersebut. Jumlah korban tewas akibat kerusuhan yang meletus akhir pekan lalu itu kini menjadi 21 orang, di antaranya 13 warga sipil. Polisi China kemudian melakukan penangkapan terhadap Muslim Uyghur yang kembali menjadi pihak tertuduh, meski peristiwa berdarah ini lebih banyak karena tindakan represif polisi China terhadap etnis Hui pemeluk Islam yang memprotes diskriminasi dan dominasi etnis Han di Xinjiang.
Tindakan represif pemerintah China terhadap Muslim Uyghur ini berlanjut hingga bulan Ramadhan dalam bentuk pelarangan untuk berpuasa dan shalat tarawih atau kegiatan keagamaan lainnya selama ramadhan. Anggota Partai tidak diperbolehkan berpuasa selama Ramadhan, begitu juga dengan PNS.
Sementara perusahaan swasta menawarkan makan siang selama jam puasa kepada karyawan Muslim Uighur. Siapapun yang menolak untuk makan bisa kehilangan bonus tahunan mereka, atau bahkan pekerjaan mereka. Para pejabat juga menargetkan sekolah Islam, untuk menyediakan makan siang gratis selama masa puasa. Pembatasan juga dilakukan kepada mereka yang mencoba untuk menghadiri shalat di masjid-masjid. Bagi mereka yang ingin shalat di Masjid harus mendaftar dengan kartu identitas nasional mereka.
Diskriminasi yang dialami Muslim Uyghur merupakan eskalasi kebijakan pemerintah China yang menginginkan terwujudnya One China Policy atau kebijakan satu China. Pola-pola integratif pemerintah China dengan melakukan civic education terbukti tidak berhasil mengintegrasikan suku Uyghur dengan penduduk China yang lain. Bahkan eskalasi penolakan Muslim Uyghur diperuncing dengan adanya migrasi secara masif suku Han (suku mayoritas di China) ke wilayah Xinjiang maupun Urumqi. Migrasi besar-besaran itu tidak lain dari sebentuk kebijakan pembersihan etnis (ethnic cleansing) untuk menyingkirkan etnis Uyghur (suku Hui) secara halus dan perlahan dari wilayah Xinjiang maupun Urumqi.
Wilayah Xinjiang maupun Urumqi merupakan wilayah yang memiliki kandungan minyak bumi dan gas alam yang besar di China sehingga secara ekonomi pemerintah China sangat berkepentingan terhadap kedua wilayah ini.
Kebijakan One China Policy juga melibatkan upaya cinicization atau ‘sinoisasi etnis minoritas’. Sinoisasi mengarah kepada internalisasi kebudayaan China oleh kelompok minoritas, termasuk agama. Internalisasi kebudayaan China bertujuan untuk membangun nasionalisme China yang berbasis pada nasionalitas Han. Dengan demikian nasionalisme China merupakan kata lain dari homogenisasi warga negara China. Homogenisasi ini berkorelasi dengan upaya China membangun rasa percaya diri atau Confident Building Measurement. China tengah mengalami apa yang disebut Middle Kingdom Syndrome. Sindrome ini membuat China memandang perlu untuk membangun negaranya sebagai negara yang kuat dari dalam (bangsanya sendiri) dan didukung oleh kondisi “ramah-tamah” di luar dirinya (wilayah di sekitar China itu sendiri).
Hal yang “unik” dari China adalah, meski sistem ekonominya sudah berganti dari sistem ekonomi sosialis menjadi kapitalis (pasar bebas), namun kebijakan politiknya tetap mengacu pada ideologi komunis yang memandang agama adalah sesuatu yang ilegal.
Pemerintah China dilaporkan telah melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM di Xinjiang, diantaranya pelanggaran kebebasan beragama, kebebasan berkumpul dan berpendapat, hambatan atas pendidikan diskriminasi, dan sebagainya. Keberadaan sekolah Islam, masjid dan imam dikontrol secara ketat, dan para imam diharuskan “berdiri di sisi pemerintah dengan teguh dan menyampaikan pendapatnya dengan tidak samar-samar”. Sejak 1995 hingga 1999, pemerintah telah meruntuhkan 70 tempat ibadah serta mencabut surat izin 44 imam. Pemerintah juga secara resmi menerapkan larangan ibadah perorangan di tempat-tempat milik negara.
Diskriminasi dalam aspek ekonomi yang dilakukan pemerintah China terhadap Muslim Uyghur juga berkontribusi beragam protes yang timbul kemudian. Sebagian besar Muslim Uyghur mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan. Perlakuan kasar di tempat pelayanan publik juga kerap mereka terima. Belum lagi industrialisasi besar-besaran yang akan dilakukan pemerintah China akan mengancam eksistensi suku Uyghur yang selama ini bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Peristiwa berdarah 5 Juli 2009 yang menewaskan ratusan Muslim Uyghur – bahkan sumber lain menyebutkan ribuan – memberikan kita satu sinyalemen, bahwa diskriminasi yang hingga sekarang ini, meski baru memicu sebatas protes, namun “musim semi dunia Arab” – yang diawali dengan “Revolusi Melati” di Tunisia – bisa saja melanda Xinjiang, demi melihat PKC (Partai Komunis China) sebagai the rulling party, and this is the only one, hingga kini tidak menunjukkan itikad baik untuk mengubah kebijakan “tangan besi”-nya menjadi kebijakan yang lebih akomodatif. Revolusi akan menggelinding pada waktunya.
Wallohu ‘alam bishshawwab
*Penulis adalah Peneliti InPAS