Oleh: Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Ahad 11 Mei 2014, saya punya agenda memberi Pelatihan Menulis di kawasan Surabaya Utara. Saya berangkat dari rumah –di Surabaya Selatan- pukul 7.30 dengan harapan pukul 8.15 tiba di lokasi dan memulai acara. Tapi, setelah sekitar 20 menit merasakan nikmatnya berkendaraan di jalan raya yang relatif sepi karena hari libur, keadaan mulai berubah menjadi tak nyaman. Ada apa?
Siapakah Itu
Keadaan tak nyaman itu dimulai dari depan sebuah mall menjelang jembatan Mayangkara di Jalan Ahmad Yani. Tak nyaman, karena kendaraan beringsut meter demi meter. Agak lama kemudian, saya baru menyadari bahwa di pagi dan jam itu Jalan Raya Darmo ditutup karena digunakan untuk Car Free Day (CFD). Lewat program CFD, jalan yang mestinya untuk sarana berlalu-lintas, disulap menjadi arena berolahraga dan acara rekreatif lainnya. Acara ini sudah berlangsung cukup lama.
Hari itu saya merasakan dampak negatif dari sebuah ‘kebijakan’ berupa penutupan jalan yang digunakan tidak sesuai dengan fungsi aslinya. Saya tiba-tiba ingat kejadian lain persis sepekan sebelumnya. Kala itu saya menjadi panitia di sebuah acara pernikahan tetangga saya.
Seorang teman yang berdomisili di tengah kota Surabaya –kawasan Kertajaya- bertugas menjadi Qari’ di acara itu datang terlambat. Dia memberi kabar, bahwa dia tertahan di daerah Jemursari karena jalannya ditutup untuk CFD. Akibatnya, dia mencari-cari jalan alternatif di sebuah wilayah yang cukup ‘asing’ baginya. Singkat kata, karena CFD dia menghabiskan banyak waktu dan energi sia-sia karena harus berputar-putar dan datang terlambat di sebuah acara yang penting.
Kembali ke kisah saya di Ahad 11 Mei itu. Sebelumnya saya memang baru sebatas mendengar dari pihak lain soal dampak negatif CFD. Tapi, hari itu saya merasakannya sendiri. Saya baru terbebas dari kemacetan yang parah itu setelah melewati Rumah Sakit RKZ di Jalan Diponegoro.
Sore, ketika saya sudah sampai di rumah lagi, saya-pun ‘curhat’ ke keluarga.
“Tadi pagi Ayah ber-‘nasib buruk’. Ayah terjebak dalam sebuah kemacetan yang parah. Jarak sekitar 2 Km Ayah tempuh dalam waktu yang cukup lama,” saya membuka cerita.
“Kecuali ada acara rutin CFD, khusus hari ini ada pembagaian es krim gratis,” Yah, jelas putri saya spontan.
“Kok tahu,” tanya saya.
“Di media sosial ramai, Yah. Banyak anggota masyarakat yang mengeluh atas kemacetan lalu-lintas yang parah lantaran disebabkan oleh banyaknya massa yang hadir untuk mendapat es krim yang dibagi gratis oleh salah sebuah perusahaan di arena CFD itu,” jelas putri saya.
Esoknya, inilah salah satu berita utama di salah satu koran terbitan Surabaya: “Dirawat 10 Tahun, Hancur 15 Menit: Pengunjung CFD Berebut Es Krim, Taman Sepanjang 1 Km Hancur”. Berita itu mengabarkan bahwa taman-taman bunga yang indah di sekitar Taman Bungkul Surabaya rusak berat dinjak-injak massa.
Alkisah, bersamaan CFD yang rutin digelar tiap Ahad di Taman Bungkul, sebuah acara disisipkan yaitu bagi-bagi es krim gratis. Massa yang tak tertib berebut (ada juga yang memilih istilah menjarah) es krim tersebut. Akibatnya, terjadilah tragedi berupa rusaknya taman-taman yang menjadi kebanggaan Surabaya.
Walikota Surabaya benar-benar geram atas “Tragedi Es Krim’ itu. Memang, sekalipun pihak penyelenggara mengaku siap bertanggung jawab dengan memberikan ganti rugi atas kerusakan taman yang ditaksir ratusan juta rupiah, rasa kesal Risma sungguh beralasan.
Pertama, taman itu ditata dan dirawat sudah 10 tahun tetapi hanya dalam 15 menit dirusak oleh massa yang berebut es krim gratis. Kedua, taman itu –bersama taman-taman lain di Surabaya- sudah dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat secara luas dan terutama oleh warga Surabaya sendiri. Ketiga, tak hanya dari kalangan sendiri datangnya apresiasi, tapi dari luar negeri juga datang sejumlah penghargaan atas keindahan, kerapian, dan kenyaman taman-taman itu sebagai Ruang Terbuka Hijau.
Tapi itulah, seperti yang kita tahu, kebaikan yang kita tanam bertahun-tahun bisa dirusak hanya dalam sekejap. Mari, kita ‘baca’ lagi kasusnya lebih detil. Seperti yang kerap kita dengar, di negeri ini jika ada pembagian gratisan maka acara itu pasti akan dibanjiri warga. Acara bagi-bagi es krim gratis di Ahad itupun dibanjiri ribuan massa yang mayoritas di antaranya berkaos merah. Sangat boleh jadi, di samping kupon maka penggunaan kaos merah seperti menjadi semacam syarat untuk mendapat es krim gratis itu.
Rupanya, panitia tak sigap mendapat ‘tamu’ sebanyak itu. Massa berebut es krim dan tak memedulikan situasi sekitar. Maka, manusia dan sepeda tanpa ampun ‘menggasak’ Taman Bungkul dan taman di hampir sepanjang Jalan Darmo. Akibatnya, keindahan taman hilang dalam sekejap. Kecuali rugi ratusan juta, ada yang lebih menyesakkan dada. Bahwa, insiden itu telah memberi pesan yang jelas tentang peradaban bangsa yang belum menggembirakan.
Melihat kejadian di Surabaya itu, kita jadi berfikir dan bertanya: Bukankah yang hadir hampir dapat dipastikan (sebagian besar) adalah ‘orang-orang sekolahan’ alias orang-orang yang berpendidikan? Lalu, mana hasil mereka dididik di sekolah?
Baiklah, kita cari jawaban itu dengan ’mendengar’ apa kata Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang tujuan pendidikan. Kata beliau, pendidikan itu bertujuan utama membentuk manusia yang beradab. Adab, kata Al-Attas, adalah disiplin ruhani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Orang beradab tahu yang haq dan yang bathil.
Mana, Mana
Jadi, jika begitu, mana hasil pendidikan dari warga yang gelap mata berebut es krim gratis tanpa peduli bahwa tindakan mereka itu merusak taman-taman indah yang dibangun susah payah? Mana hasil pendidikan dari warga yang seolah-olah tak pernah mendengar kalimat mulia berikut ini? “Jika kamu tidak memiliki rasa malu, berbuatlah sesukamu” (HR Bukhari). []