”Seperti itulah kenyataan di negeri kita. Ini tidak terjadi di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir dan Saudi,”terang Dr. Zein yang juga alumni Universitas Madinah, Saudi Arabiah.
Menurut ahlih fiqih ini, fatwa itu adalah hak ulama, bukan perorangan. Dan yang mengerti urusan fatwa adalah mereka-mereka yang tahu dan mengerti secara baik hukum Islam. Karenanya, jika ada orang meskipun dikenal tokoh Islam, tapi bukan berlatar belakang hukum Islam atau fikih, mereka tak memiliki hak mengeluarkan fatwa.
Sedang di Indonesia, menurut Zain memang aneh, setiap ada fatwa MUI, semua media massa termasuk TV justru meminta komentar tokoh-tokoh yang tak ahli dalam hukum Islam. “Nah, seharusnya media massa dan televisi mengerti. Ke mana seharusnya masalah fatwa ini ditanyakan. Tapi, kok, orang-orang yang tak paham hukum Islam diminta pendapat dan terus-menerus mendapatkan tempat. Ada apa ini?, “ujarnya.
Pria asal Klaten yang meraih predikat summa cumlaude dengan disertasi Al-Qadhi Husain wa Atsaruhu Al-Fiqhiyah ini cukup heran dengan kondisi di Indonesia.
Sekedar membandingkan, belum ada dalam sejarahnya fatwa ulama dikencam apalagi dilecehkan orang-orang awam dan bukan ahli di bidangnya kecuali di Indonesia. Ia mencontohkan, dalam kasus semua fatwa yang dikeluarkan Darul Ifta’ al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir) atau Majma’ul Buhuts al-Islamiyyah di Al-Azhar, tak pernah masyarakat bahkan pihak pemerintah mempertanyakan atau mengotak-atiknya.
“Umumnya, semua masarakat Mesir paham dan menghormati, bahkan termasuk pihak pemerintah,” tambahnya. Berbeda dengan di Indonesia di mana fatwa ulama ‘dilecehkan’ orang yang tak paham hukum Islam.
Ironis lagi, menurutnya, mereka yang tak paham hukum Islam malah berani mengeluarkan fatwa. Misalkan ia mencontohkan bagaimana seorang Musdah Mulia yang bukan ahli fiqih mengeluarkan fatwa bahwa Islam mengakui homoseksualitas. “Masalah homoseks dan lesbian sudah jelas haram, semua ulama sudah sepakat, tidak ada khilaf dalam hal ini. Ini sama halnya dengan mendiskusikan zina, haram atau tidak,” tegasnya.
Berkaitan dengan masalah fatwa, dosen LIPIA Jakarta ini pernah menyampaikan kepada majalah Hidayatullah yang dikutip InpasOnline.com
Bagaimana sikap kita terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh orang seperti Musdah Mulia?
Musdah Mulia itu bukan ulama. Tak perlu diikuti ucapannya. Seorang ulama itu adalah orang yang berilmu, dan takut kepada Allah Ta’ala, serta berbicara menurut kaidah ilmiah. Sedang Siti Musdah Mulia tidak seperti itu. Ia menentukan sebuah hukum bukan berdasar kaidah ilmiah, tatpi hanya berdasar akalnya semata.
Sejauh mana seseorang boleh berfatwa dalam Islam?
Dalam urusan hukum, Islam dikenal tak pernah main-main. Apalagi untuk melakukan istimbat (kesimpulan) hukum. Syarat seseorang melakukan pengambilam hukum sangat ketat dan amat banyak. Diantaranya, ia harus menguasai bahasa Arab, menguasai ushul fiqh, juga mengetahui ijma’ ulama. Dan masih ada syarat-syarat lainnya seperti menguasai metodologi yang telah ditetapkan ulama. Jadi tidak seenaknya orang mengeluarkan fatwa menyangkut hukum.
Tapi, kenyataanya di negeri ini sebagian orang berani mengambil kesimpulan hukum tanpa melalui syarat tersebut. Bagaimana komentar Anda?
Ini yang harus kita tolak. Kita tidak bisa mendiamkan seseorang seenaknya mengambil kesimpulan hukum tanpa melalui syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama. Karena, kesimpulannya pasti keliru dan salah sebagaimana yang dilakukan Musdah itu. Musdah itu terlalu gegabah di dalam menetapkan hukum. Tidak menggunakan metodologi yang telah ditetapkan para ulama. Dia menetapkan hukum berdasarkan apa yang ada di akalnya.
Lalu apa yang mesti kita lakukan jika menemui orang seperti itu?
Kita harus tegas menolaknya. Kelompok-kelompok Islam juga harus bersikap tegas terhadap orang seperti itu. Sebab pernyataannya itu berbahaya. Masyarakat kan tahunya ia seorang guru besar di universitas Islam terkenal yang bertitel professor dan doktor. Apalagi dia pakai jilbab dan juga menyitir ayat Al-Quran. Sehingga pernyataanya itu bisa jadi memberi legitimasi pada perilaku menyimpang dan sangat dilarang oleh Al-Quran itu. Karena itulah kita harus berhati-hati dengan fatwa yang keluar dari orang yang bukan ahlinya.
Kedudukan fatwa sendiri dalam Islam seperti apa?
Fatwa itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam selama keluar dari ahlinya. Ia tidak bisa diabaikan, apalagi digugurkan. Karena begitu pentingnya keberadaan fatwa dalam Islam, sampai-sampai beberapa ulama berpendapat diharamkan tinggal di sebuah tempat yang tidak terdapat seorang mufti yang bisa dijadikan tempat bertanya tentang persoalan agama.
Bahkan penguasa wajib memperhatikan sarana-sarana penting guna mempersiapkan para mufti dalam rangka menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat, sekaligus melarang mereka yang tidak mempunyai keahlian dalam berfatwa.
Sikap umat Islam seharusnya seperti apa terhadap seorang pemberi fatwa atau mufti ?
Posisi mufti itu sangat tinggi dan dapat legimitasi dari al-Qur’an. Jika di Indonesia yang penduduknya berjumlah 250.000 orang terdapat 10 orang ahli hukum atau syariah. Maka semua penduduk itu harus mengikuti yang 10 ini. Jika ke 10 ulama ini mengeluarkan fatwa, maka fatwanya harus diikuti oleh seluruh penduduk. Tidak ada yang boleh menyelisihi.
Kalau kedudukan mufti seperti itu kenapa masih ada orang yang menentangnya?
Ini karena mereka tidak paham mengenai pentingnya fatwa dan mufti dalam Islam. Atau bisa jadi mereka memang sengaja ingin menghapuskan sebuah otoritas keilmuan para ulama. Kalau sampai seperti ini berarti mereka benar-benar sudah terpengaruh orientalis yang memang sengaja ingin menghancurkan otoritas keilmuan ulama Islam. Namun ironisnya, para orientalis itu kemudian membangun otoritasnya sendiri. Ini bisa kita saksikan dari sikap aktivis islam liberal yang menolak otoritas ulama tapi mengikuti otoritas orientalis.
Dalam Islam kedudukan otoritas ilmu itu seperti apa?
Otoritas itu diakui dalam Islam. Islam menjunjung tinggi otoritas ilmu demi menjaga kemaslahatan manusia. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa kita disuruh bertanya kepada ahli ilmu bila kita tidak tahu. Ini disebutkan dalam dalam surat An Nahl ayat 43. Ayat ini menunjukkan kewajiban kita untuk bertanya kepada ulama bila berkaitan dengan masalah agama. Hukum mengikutinya adalah wajib. Sedang berkaitan dengan masalah kedokteran ya bertanya kepada dokter. Jadi otoritas itu diperlukan oleh masing-masing disiplin ilmu. Kita tidak bisa mengabaikan begitu saja. Ini sudah menjadi ketetapan dalam bidang apa saja.