Ushul Fiqih, Metode Ilmiah Islam

Oleh:Bahrul Ulum

Inpasonline.com-Salah satu khasanah keilmuan Islam yang sangat penting dan menjadi tonggak tegaknya syariat Islam yaitu ilmu ushul fiqih.  Melalui ilmu ini hukum-hukum  Islam dapat diketahui  dengan pasti (yakin) atau  dzan (perkiraan) serta menghindari taqlid, yaitu mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil dan alasanya.Seorang mujtahid juga bisa menentukan hukum yang paling kuat (rajih) dari dua atau lebih sumber hukum, dan darinya dapat diambil kesimpulan hukumnya.

Demikian juga dengan ilmu ini seseorang juga tidak bisa sembarangan menetapkan hukum berdasar hawa nafsunya karena  pasti akan ketahuan jika ia tidak menggunakan metode dan qaidah pengambilan hukum dengan cara yang benar.

Inilah yang tidak dimiliki oleh tradisi agama sebelum Islam seperti  Yahudi maupun Nasrani. Dalam kedua agama tersebut seseorang bisa menetapkan sebuah hukum dengan kehendaknya atau kelompoknya karena tidak ada metodologi yang baku yang mengaturnya. Hukum-hukum Tuhan bisa ditetapkan sesuai kesepakatan meski bertentangan dengan hukum Tuhan itu sendiri.  Sedang dalam Islam tidak sembarang orang bisa menetapkan sebuah hukum kecuali harus menguasai ilmu ushul fiqih.

Menurut asy-Syaukani  ulama usul syar’iah mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali,  mendefinisiikan ushul fiqih sebagai kaidah-kaidah (qawâ’id) yang digunakan untuk penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci. Sedangkan menurut  al-Amidi, ulama mazhab Syafii mengartikan usul fiqih sebagai  pengetahuan mengenai dalil-dalil fiqih yang bersifat global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum.

Keberadaan ushul fiqih wujud sejak fiqih itu ada. Ini karena ilmu fiqih merupakan produk dari pemikiran ushul fiqih, ketentuan dan kaidahnya. Namun mengenai pembukuannya, ilmu fiqih lebih dahulu dibanding ushul fiqih. Meski demikian bukan berarti ushul fiqih tidak ada sebelum adanya fiqih.

Dalam menentukan sebuah hukum, para ulama sudah menggunakan kaidah dan metode yang tetap. Artinya, kaidah dan metode ushul fiqih sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid. Mereka sudah memakainya meski belum bisa menjadikan ilmu tersendiri.

Sebagai contoh, ketika Abdullah Ibnu Mas’ud, seorang sahabat dan ulama fiqih menetapkan masa tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya yaitu sampai melahirkan, ini didasarkan pada pada firman Allah, “…dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan…” (At-Thalaq [65]: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah:[2] 234, “Orang-orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari.”

Pengambilan hukum yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud membuktikan bahwa beliau mengamalkan kaidah ushul fiqih yang berbunyi, “Nash yang datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya,”.

Perkembangan Ilmu Ushul Fiqih

Sewaktu Rasulullah masih hidup,  seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada beliau karena wahyu masih turun. Namun jika sahabat jauh dan kemungkinan tidak bisa bertanya kepada Rasulullah, beberapa sahabat berusaha menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada isyarat Rasulullah ketika megutus sahabat Muadz bin Jabbal menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz,”Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?. Ia menjawab:”Akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran).  Nabi bertanya,”Kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, Ia jawab,”Akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW.  Nabi bertanya lagi,”Kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, Ia menjawab:”Saya akan berijtihad dengan penalaranku. Maka Nabi bersabda,”Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (Riwayat Tirmizi)

Sewaktu Rasulullah wafat, yang menggantikan beliau dalam menetapkan hukum terhadap persoalan yang muncul  dipegang oleh sahabat utama seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad mulai dikembangkan, yang sebelumnya tidak pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit.

Dalam hal ini para sahabat mulai menggunakan ra’yu”  saat melakukan ijtihad setelah tidak menemukan jawabannya dalam al-Qur’an atau Sunnah Nabi. Mereka melakukan telaah, perenungan dan pencarian terhadap sebuah kebenaran dari permasalahan itu. Baru setelah itu memberikan jawabannya. Meskipun demikian mereka belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu ushul fiqih. Padahal secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh generasi berikutnya, dari kalangan tabi’in. Apalagi pada masa ini semakinn banyak permasalahan yang muncul di kalangan umat Islam yang butuh penyelesaian. Ini bisa dimaklumi karena daerah kekuasaan Islam semakin luas dan orang-orang non-Arab juga banyak yang masuk Islam. Para ulama yang ada di daerah yang tersebar tersebut ketika menemukan permasalahan yang dihadapiumat akan melakukan ijtihad. Dasar pijakannya yaitu metode ijtihad dan fatwa yang pernah dirintis oleh sahabat kemudian mereka kembangkan.

Diantara tokoh tabi’in yang sering berijtihad dan memberikan fatwa yaitu Said bin Musayyab di kawasan Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di kawasan Irak. Namun demikian ilmu ushul fiqih pada periode ini juga masih belum terbukukan.

Pada masa berikutnya, permasalah umat juga semakin besar sehingga mau tidakk mau para tabi’ tabi’in juga melakukan ijtihad.  Karenanya, pada periode ini, metode penggalian hukum bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya.

Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan  al-Quran, Hadits, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati. Beliau juga berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya karena mereka sederajat dengan dirinya.

Imam Maliki selain berpegang pada al-Quran dan Hadislebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli Madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah.

Setelah itulah muncullah Imam Syafi’i menyusun metode-metode penggalian hukum Islam yang dipakai oleh para ulama. Penyusunannya dengan menggunakan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam. Hasilnya ia memperoleh gambaran yang konkrit antara fiqih ahli Madinah dan fiqih ahli Irak.

Berbekal ilmu yang tinggi serta pengalamannya yang luas, Imam Sya’fiimenyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama ushul fiqih. Kaidah tersebut dibukukan dalam karyanya bernama “al-Risalah”.

Inilah kitab ilmu ushul fiqih pertama yang sampai kepada kita. Oleh sebab itu, Imam Syafe’ilah dipandang-oleh para ulama-sebagai pencipta ilmu ushul fiqih dan dilanjutkan oleh ulama-ulama generasi berikutnya. Hebatnya, metode tersebut sampai sekarang belum ada yang bisa menandingi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *