Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Inpasonline.com-Ada beberapa pengertian dari para sarjana tentang ilmu mantiq. Pertama, mantiq adalah ilmu yang membahas tentang aturan-aturan berpikir yang harus dijaga dan dipelihara agar seseorang tidak jatu dalam kesalahan berpikir. Kedua, ilmu yang membahas hukum-hukum atau kaidah yang tujuannya adalah sebagai pemelihara dari kekeliruan berpikir. Ketiga, ilmu yang mempelajari ketentuan yang menjadi pedoman seseorang dalam berpikir.
Menurut para ahli hadis, mantiq merupakan ilmu yang membahas gambaran berpikir. Yaitu kaidah hubungan antar bagian-bagian kalimat yang terkait dengan konteks lafadz dengan syarat-syarat tertentu.
Aristoteles berpendapat, logika itu bukan ilmu, tetapi alat ilmu-ilmu. Alasannya karena objek kajiannya tidak wujud (abstrak). Karena Aristoteles sendiri berpendapat bahwa ilmu itu menyaratkan perkara-perkara yang wujud empirik.
Immanule Kant, filosof Jerman, berpendapat bahwa logika adalah ilmu yang fungsinya adalah menegakkan bukti-bukti rinci atas kaidah-kaidah pikiran.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa mantiq merupakan ilmu tentang kaidah berifikir. Yaitu mempelari tentang definisi, dalil, hujjah, argumentasi berdasarkan akal sehat dengan tujuan sampai kepada kebenaran.
Hukum Mempelajari Mantiq
Menurut Al-Akhdhari dalam Sullam Munawwaraq, hukum mempelajari ilmu mantiq ada tiga: Pertama, haram, ini merupakan pendapat imam Ibnu Shalah, imam Nawawi, Ibnu Hajar dan lain-lain. Kedua, Boleh. Pendapat ini berdasarkan pendapat imam al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, dan lain-lain. Ketiga, jika seorang pelajar mempunyai kecerdasan yang mumpuni serta mengamalkan syariat dengan baik, maka boleh mempelajarinya. Jika tidak memenuhi syarat itu, maka tidak boleh. Imam Ghazali pun menjelaskan tentang hal ini. Adapun tentang ulama yang mengharamkan semata-mata pengharaman ilmu logika Aristoteles yang mengandung metafisika yang tidak sesuai dengan Islam, sebagaimana akan diterangkan dalam bab ini.
Pemikiran ilmiyah dalam dunia Islam antara lain dapat ditemukan dalam kajian-kajian ilmu ushul, ilmu musthalah hadis, dialektika kalam, dan lain-lain. Cabang-cabang ilmu dalam Islam memiliki tradisi, corak dan kekhasan tersendiri. Ia lahir dari perkembangan Islam itu sendiri. Pertemuan ilmu-ilmu Islam dengan tradisi ilmu lain – dalam hal ini – Yunani baru terjadi setelah abad ke-5 H.
Tradisi Ilmiyah dan Ilmu Ushul
Proses interaksi Islam dengan bangsa non-Arab itu berkonsekuensi penyerapan terhadap tradisi dan budaya lokal setempat. Dari sinilah terjadi benturan unsur-unsur, nilai dan pemikiran Islam dengan tradisi non-Arab itu. Sehingga terjadi penyerapan dan penyaringan.
Ilmu peradaban Yunani yang pertama kali masuk ke dunia Arab adalah ilmu logika. Masuknya ilmu logika ke negeri-negeri Islam secara bertahap. Dalam catatan sejarah, ianya masuk setelah abad ke-2 H seiring dengan gelombang besar-besaran kaum non-Arab masuk agama Islam.
Pada fase pertama, transmisi pemikiran filosof Yunani seperti Aristoteles (w. 322 SM) dan Plato (w. 348 SM) dilalui secara oral (al-naql al-syafawiy)[1]. Pada masa ini, terjadi dialog-dialog dan perdebatan antara kaum Muslimin dengan orang Yahudi dan Nasrani maupun kaum pagan (wathanÊ). Dalam perdebatan itu, kaum Muslimin telah mengenal teori-teori logika Yunani dari kaum non-Muslim tersebut.
Maka, pada fase awal ini kaum Muslim baru mengetahui persoalan-persoalan mengenai filsafat Yunani. Interaksi pertama ini, yakni di abad-abad sebelum ke-5 H, para ulama menolak logika Aristoteles. Ilmu-ilmu seperti UÎËl Fiqih dan KalÉm tidak mengambil hujjah-hujjahnya dengan logika Aristoteles.
Pada masa ini, ilmu uÎËl masih satu belum dibagi menjadi uÎËl fiqhi dan uÎËl kalÉmÊ. Ia adalah ilmu alat dan teori-teori untuk memecahkan masalah-masalah hukum amaliyah maupun hukum i’tiqÉdiyah.
Penolakan para ulama sebelum abad ke-5 H, perlu dipahami dan dikenali latar belakang dan konteks umat Islam pada masa itu. Untuk itu, akan dibahas dalam tulisan pendek ini sekitar sejarah perkembangan ilmu uÎËl dan matriks logika Aristoteles yang ditolak para ulamÉ’. Dengan mengetahui dua hal ini, setidaknya akan dipahami para ulama tidak menerima pemikiran Aristoteles itu dalam kajian ilmunya.
Pada tahap pertumbuhan awal para ulama dalam membahas mantiq ushul fiqih murni tradisi Islam, tidak mengambil sebagian dari logika Aristoteles. Al-Asnawi mengatakan ilmu uÎËl fiqih adalah pengetahuan tentang dalil-dalil fiqih secara umum, cara mempergunakannya, serta pengetahuan tentang orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut.[2] Abdul WahhÉb KhalÉf (w. 1956 M) berpendapat uÎËl fiqih adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan penelitian untuk mendapatkan hukum-hukum amaliyah dari dalil-dalil yang rinci[3].
Dengan demikian, ilmu uÎËl fiqih adalah kerangka teoritik dan metodologis untuk ilmu fiqih. Ia berfungsi sebagai ‘ilmu alat’, atau logika dalam ilmu filsafat. Jika logika dapat menghindarkan seseorang dari kesalahan berargumentasi, maka uÎËl fiqih mencegah seorang ahli fiqih melakukan kesalahan dalam menggali hukum[4].
Maka, metdologi ilmu uÎËl sebetulnya telah wujud sejak sebelum ilmu ini diberi nama. Menurut KhalÉf, ilmu uÎËl sebagai disipilin ilmu yang memiliki kaidah-kaidah tertib, dan sistematis itu tumbuh berkembang sejak abad ke-2 H. Sebelum itu, yaitu abad pertama hijriyah, hukum Islam diambil dari al-Qur’Én, fatwa Nabi (hadith). Para sahabat Nabi Saw mengeluarkan fatwa hukum di teks-teks al-Qur’Én, Hadis yang mereka pahami dan fatwa-fatwa pembesar sahabat (fudhalÉ’u al-sahabah), tanpa melalui metodologi khusus dan terperinci seperti yang kita ketahui dalam kitab-kitab uÎËl. Para sahabat Nabi itu memiliki pengetahuan benar tentang asbÉb nuzËl al-Qur’Én, asbÉb wurËd hadith, dasar-dasar shariah dan maqÉÎid shari’ah[5].
Dalam zaman sahabat itu, ilmu alat seperti uÎËl belum begitu diperlukan, baik dalam hukum amaliyah maupun hukum i’tiqÉdiyah. Situasi, kondisi dan permasalahan umat dapat diselesaikan dengan ilmu-ilmu para sahabat itu.
Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada teori, atau manhaj hukum sebelum abad ke-2 H. Ilmu uÎËl dapat dilacak akar pertumbuhannya sejak zaman Nabi Saw dan sahabatnya. Nabi Saw berijtihad, begitu pula para sahabatnya. Di zaman sahabat, telah dikenal teori qiyas, istislah dan lain-lain. Hanya pada zaman itu tidak dinamai dengan istilah khusus yang menjadi technical term untuk ilmu uÎËl fiqih. Namun, secara metodologis, teori-teori itu telah berlaku di zaman sahabat Nabi Saw.
Ibnu KhaldËn berpendapat, manhaj menggali hukum telah berlaku di kalangan sahabat setelah Rasulullah Saw wafat. Banyak masalah-masalah baru setelah Nabi Saw yang tidak ditemukan dalam naÎ-naÎ (al-Qur’Én dan Hadith). Kemudian mereka menghubungkan dalil yang ada dalam naÎ dengan masalah baru yang mirip dengan masalah yang ada dalam naÎ dengan meletakkan syarat-syarat tertentu. Metode ini kemudian disebut qiyas[6]. Sayidina Ibnu Abbas menetapkan teori al-‘Ém dan khas dalam pengambilan hukum Islam.[7]
Manhaj tersebut kemudian berkembang terus pada generasi-generasi setelahnya, dari kalangan tabi’in dan tabi’ tabi’in. Berkembangnya manhaj seiring dengan bertambahnya masalah-masalah baru yang ditemukan. Khususnya ketika dakwah Islam menyebar ke luar jazirah Arab, masalah-masalah hukum baru ditemukan yang belum dikenali generasi sebelumnya. Datangnya masalah baru itu mendorong para ulamÉ’ untuk membuat kaidah dan teori untuk memahami naÎ. Di sisi lain, pertemuan Islam dengan kebudayaan non-Arab berimplikasi pada munculnya istilah-istilah dan ungkapan non bahasa Arab. Maka, kaidah-kaidah uÎul dengan sendirinya diberlakukan oleh para ulamÉ’.
Pada fase ini, metode penggalian hukum terus berkembang tanpa ada sentuhan apapun dengan logika Aristoteles maupun pengaruh-pengaruh asing lainnya. Tradisi mengembangkan metode hukum berlaku di kalangan para ulama. Tetapi, metode pada masa itu belum terkodifikasi dengan tertib dan sistematis. Ibnu NadÊm berpendapat bahwa Imam AbË YËsËf al-HanafÊ adalah orang pertama kali yang melakukan usaha menkodifikasi metode ulama uÎËl dalam satu buku tersendiri. Akan tetapi, apa yang dia tulis tidak sampai ke generasi kita.
Para ulamÉ’ HanafÊ mengembangkan manhaj itu khususnya di wilayah Iraq. Mereke menetapkan kaidah uÎËl dan furË’ yang kemudian kaidah itu dikembangkan dan disempurnakan oleh imam ShÉfi’Ê (w. 204 H). Dengan demikian memang ShÉfi’Ê tidak sendirian mengembangkan manhaj ilmu uÎËl. Tetapi mengembangkan dari manhaj yang sudah ada.
Metode-metode dan teori pengambilan hukum kemudian berhasil dikodofikasi oleh imam ShÉfi’Ê dalam karya besarnya al-RisÉlah secara tertib, sistematis, dan mantiqi. Di tangan beliau ilmu uÎËl mengalami kematangan. Sejak penulisan kitab al-RisÉlah ilmu uÎËl sebagai sebuah disiplin ilmu tercatat didirikan. Di kalangan ulamÉ’ telah sepakat bahwa imam ShÉfi’Ê adalah orang yang pertama meletakkan kaidah ilmu uÎËl.
FakhrudÊn al-RÉzÊ memuji pencapaian imam ShÉfi’Ê tersebut, “sebelum imam ShÉfi’Ê para ulamÉ’ membahas isu-isu seputar uÎËl fiqih dengan argumentasi dan diskusi, tetapi mereka ketika itu belum memiliki landasan umum yang pantas dijadikan acuan dalam rangka mengenal petunjuk-petunjuk shari’at dan dalam rangka menolak dan menegaskannya. Lalu kemudian imam ShÉfi’Ê merumuskan ilmu uÎËl dan menjadikannya sebagai prinsip umum yang dijadikan landasan dalam rangka mengenal hirarki dalil-dalil shari’at. Al- RÉzÊ juga mengakui bahwa imam ShÉfi’Ê berhasil menggabungkan dua pendekatan; yaitu madhhab ahl ra’y dan madhhab ahl hadÊth[8].
Sumbangan imam ShÉfi’Ê dalam menggabungkan dua pendekatan itu adalah pembuktian tidak ada pertentangan antara nas dengan akal yang sehat. Keberhasilan ini dilakukan imam ShÉfi’Ê setelah dia mengenyam pendidikan di dua madhhab itu. Penggabungan ini berhasil membangun pondasi pemikiran Islam yang bersifat tawhidi (integrative) tidak mengenal secara kaku dikotomi litelaris-rasionalis.
Hal itu menunjukkan metodologi dalam ilmu uÎūl imam Shāfi’ī tidak dipengaruhi oleh pemikiran asing apapun. Tetapi murni dari akar tradisi Islam yang telah berlangsung perkembangannya sejak abad ke-1 H. Abdul Wahhāb Abū Sulayman mengakui orisinilitas metode imam Shāfi’ī ini: pemikiran hukum imam Shāfi’ī benar-benar merefleksikan sebuah madhhab baru yang independen. Kebaruannya bukan hanya pada pemikiran hukumnya tetapi metodologinya yang ilmiah[9].
Pada masa itu belum ada kebutuhan untuk menggunakan teori atau pemikiran asing khususnya pemikiran Aristoteles. Milieu para ulama pada zaman itu adalah menolak pemikiran Yunani. Tidak ditemukan indikasi yang membuktikan bahwa imam Shāfi’ī terpengaruh dengan logika Aristoteles. Meskipun kononnya beliau memahami bahasa Yunani, tetapi beliau mencela pemikiran Yunani. Beliau mengatakan: “Masyarakat Muslim tidaklah menjadi bodoh dan tidak berbeda pendapat antar sesama Muslim kecuali karena mereka meninggalkan bahasa Arab lalu beralih ke bahasa Aristoteles”.[10]
Masuknya logika Aristoteles ke dunia Arab bukan menjadi bukti bahwa ilmu uÎūl imam Shāfi’ī terpengaruh Yunani. Kemampuan imam Shāfi’ī memahami bahasa Yunani juga bukan dasar pembuktian. Ketertiban kaidah uÎūl yang mirip dengan logika Aristoteles juga bukanlah bukti kuat ada pengaruh. Adanya kemiripan bukanlah dalih pembuktian. Jika ada pengaruh, harus ada pembuktian di sisi mana, pada teori apa, lalu adakah isnad antara tradisi keilmuan imam Shāfi’ī dengan ilmu filsafat Yunani. Juga bagaimana pendapat para ulama pada zamannya. Hingga kini semua hal tersebut tidak ada bukti sama sekali. Pendapat yang mengatakan ada pengaruh tersebut baru sebatas spekulasi.
Begitu pula dalam tradisi Kalam. Aliran dan madhhab kalam awal – baik Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Shī’ah, memiliki pandangan bahwa logika Aristoteles adalah ilmu yang tidak baik. Seperti dikatan oleh Ibnu Khaldūn, kaum Muslimin pada waktu itu tidak mengambil ilmu-ilmu falsafah yang menjelaskan tentang aqā’id. Selain itu, nampak dalam tulisan-tulisan teolog Muslim yang melakukan analisis-kritis terhadap logika Aristoteles seperti al-Baqilānī dan imam al-Haramain. Bahkan banyak teolog Mu’tazilah yang mengkritiknya.[11] Kitab-kitab para ahli kalām yang mengkritik logika Aristoteles di antaranya, Al-Daqāiq ditulis oleh Abū Bakar bin al-Tayyib, dan kitab Al-Ārā’ wa al-Diyānāt ditulis oleh Ibnu al-Nubakhti, seorang teolog Shī’ah. Dari kalangan Mu’tazilah yang mengkritik logika Aristoteles adalah, Abū Alī al-Jubā’ī, Abū Hāshim serta Qādī Abdul Jabbār. Hal ini dikuatkan oleh sejarawan Mu’tazilah, Ibnu Murtadā bahwa Mu’tazilah mencela ilmu falsafah.[12]
Maka, dalam hal ini penting untuk mengetahui sejarah perkembangan ilmu kalām. Sebagaimana disebutkan di atas, ilmu kalam merupakan ilmu tentang hukum-hukum i’tiqādiyah (al-ahkām al-muta’alliqah bi al-i’tiqādiyah). Para ulamā’ telah menjelaskan bahwa ilmu kalām itu ilmu yang membahas tentang isu-isu berkaitan dengan keyakinan. Al-Taftāzanī mengatakan, ilmu kalām adalah ilmu yang membahas hukum i’tiqādiyah. Dikenal juga dengan ilmu tauhid dan sifat.[13]
Sa’duddīn al-Taftāzanī juga sependapat bahwa ilmu tauhid dan sifat (ilmu kalam) itu ilmu syariah yang berkaitan dengan keyakinan[14]. Sementara al-Ijī mendefinisikan ilmu kalām sebagai ilmu yang menthabitkan dan menjawab keyakinan-keyakinan agama (aqāid dīniyyah) terhadap keyakinan lain dengan mengajukan hujah-hujah dan menolak shubhat-shubhatnya.[15] Ibnu Khaldūn juga berpendapat ilmu kalam adalah ilmu yang mempelajari hujah-hujah keyakinan dan keimanan dengan dalil-dalil aqli untuk menolak kelompok yang melakukan distorsi keyakinan Ahl al-Sunnah wal Jamā’ah.[16]
Dengan demikian, ilmu kalam merupakan ilmu yang membahas isu-isu pokok dalam agama; mulai ketuhanan, kenabian, wahyu dan lain-lain yang bermaksud menguatkan hujah dan menolak keyakinan distorsif dari keyakinan lain dengan cara menthabitkan dalil-dalil aqli dan naqli.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan dari ilmu kalam adalah, Pertama, memperkokoh dan memperkuat akidah yang menjadi keyakinan dalam agama. Kedua, secara metodologi, ilmu kalam menjadikan akal sebagai sarana yang dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajaran agama, bukan sebagai fondasi atau titik tolak utama bagi keyakinan dalam beragama. Ketiga, objek kajian ilmu kalam adalah meliputi akidah-akidah yang diterima syariah. Dalam pandangan ahli kalam, ajaran-ajaran yang diterima dari syariah itu dianggap sebagai sesuatu yang aksioma yang menjadi titik permulaan kajiannya.[17]
Karena itu, ilmu kalam berkaitan erat dengan epistemologi ilmu Islam. Al-Baqillānī memulai kajian ilmu kalam dengan penjelasan tentang hakikat ilmu, akal, nalar dan klasifikasi ilmu. Karena itu, pada masa fase awal ilmu kalam berkaitan dengan ilmu uÎËl fiqih. Atau dengan kata lain, kajian ilmu uÎËl itu bersentuhan dengan teologi. Hal ini diakui oleh George Makdisi bahwa ilmu uÎËl yang dikodifikasi oleh imam Shāfi’ī tidak ada yang baru. Kandungan kita al-Risālah nya berhubungan dengan uÎËl al-dīn. Sehingga Makdisi menyebut ilmu ini dengan Juridical Theology. Menurut Makdisi, tujuan imam Shāfi’ī menkodifiksi ilmu uşËl ini adalah untuk meletakkan dasar berpikir ilmiah untuk menentang pola pikir kalam yang pada saat itu dipresentasikan oleh kelompok Mu’tazilah.[18]
Dengan demikian, kalām itu menjadi postulat-postulat untuk menyokong ilmu uşËl fiqih. Ilmu uşËl fiqih itu membahas sesuatu yang sudah dibuktikan benar oleh ilmu kalām. Karakteristik ilmu kalām ini sudah ada dalam al-Qur’ān, yaitu ketika al-Qur’ān membahas masalah-masalah ketuhanan, wahyu dan lain-lain untuk sebagai hujah terhadap kelompok-kelompok yang meragukan keimanan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Menguatkan dalil-dalil tentang wujudnya Allah Swt Sang Khālik yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan.[19]
Rasulullah Saw pernah berdebat dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Suatu ketika kelompok Nasrani Najran dan Yahudi berselisih dan saling mengklaim sebagai pengikut agama Nabi Ibrāhīm. Lalu datang lah Rasulullah Saw seraya bersabda: Tiap dua golongan itu (Yahudi dan Nasrani) berlepas dari Nabi Ibrāhīm. Akan tetapi Nabi Ibrāhīm adalah seorang Muslim hanif (bertauhid) dan aku setia pada agamanya, maka ikutlah agamanya, yaitu agama Islam.[20] Al-Qur’ān surat al-Mā’idah ayat 44, menurut Syekh Nawawī al-Jāwī al-Bantānī misalnya menjelaskan ayat itu mengkritik klaim kaum Yahudi dan Nasrani tentang status keagamaan dan ketuhanan mereka. Begitu pula dalam Al-Qur’ān surat al-Mā’idah ayat 44 Syekh Nawawī menjelaskan posisi al-Qur’ān sebagai penyempurna ajaran Nabi sebelumnya. Sedangkan syariah agama sebelumnya – Nabi Musa dan Nabi Isa – tidak berlaku lagi setelah al-Qur’ān turun.[21]
Semangat al-Qur’ān yang membantah hujah kaum Yahudi dan Nasrani itu yang menjadi pendorong para ulama ahli uşūl al-dīn
Meskipun para teologi awal – sebelum abad ke-5 H – itu menolak logika Aristoteles, akan tetapi bukan berarti mereka tidak memiliki tradisi berpikir logik. Pemikiran logik telah berlaku di kalangan mereka tanpa bantuan logika Aristoteles. Imam al-Haramain mengatakan bahwa para ulama-ulama kalām dulu telah menggunakan dalil-dalil rasional yang tertib[22].
Dalam Islam ilmu logika disebut mantiq. Yang menjadi pembahasan yang lebih utama dalam kalangan ahli mantiq Islam bukanlah pertentangannya dengan agama atau hubungannya dengan metafisika Yunani, tetapi bagaimana cara memperhalus teknik, prinsip dan aksioma logika untuk lebih memantapkan dalam penghujahan[23].
Logika sebagai satu undang-undang berfikir yang ampuh untuk memelihara manusia dari kesalahan dalam berfikir, selalu diletakkan sebagai satu ilmu yang umum. Ketika imam al-Ghazali menyanggah 20 masalah falsafah Yunani beliau mengecualikan ilmu logika dari serangannya. Logika menurut imam al-Ghazali bertujuan untuk memperhaluskan hujjah dan dalil, sebagian besarnya sesuai dan tidak bertentangan dengan agama.
Imam al-Ghazali menggukan logika dalam ilmu ushul termaktub dalam bukunya Al-Mustasfa min Ilmi al-Ushul. Imam Fakhruddin Al-Razi juga menggunakan logika dalam karyanya Al-Mahsul fi Ushul Fiqh. Mohd Farid menyimpulkan bahwa sumbangan para ulama terdahulu dalam meneruskan ilmu logika ini, secara ringkasnya dapat dijelaskan dalam dua bentuk; Pertama, mereka berhasil menghuraikan dan mengembangkan disiplin ini sehingga dapat difahami dan diikuti dengan jelas dalam lingkungan ilmuan Islam. Kedua, mereka telah menganalisis, menyaring dan menyesuaikan pembahasan-pembahasan dalam disiplin ini dengan disiplin ilmu lain. Kritikan terhadap ilmu logika oleh sebagian kelompok ilmuan tidak banyak memberikan pengaruh kepada perkembangan logika dalam tradisi keilmuan Islam. Sebaliknya ilmu ini terus dilihat sebagai ilmu yang penting mendasari pembahasan-pembahasan ilmiyah sebagian besar disiplin-disiplin yang lain.[24]
[1] AbËl WafÉ GhanamÊ al-TaftÉzanÊ, Ilmul KalÉm wa Ba’dh MushkilÉtihi, hal. 20
[2] Jamal al-DÊn ‘Abd al-RahÊm bin al-Hasan al-Asnawi, NihÉyat al-Suwl fi Sharh MinhÉj al-UÎËl li al-QÉdi NÉsir al-DÊn al-BaydÉwÊ, (Beirut: ‘Ālam al-Kutub, tanpa tahun), vol.1, hal. 5
[3] Abdul WahhÉb KhalÉf, Ilm UÎËl Fiqih, (Jakarta: DÉr al-Kutub al-IslÉmiyah,2010), hal. 14
[4] AlÊ SÉmÊ al-NashÉr, Nashatu al-Fikr al-FalsafÊ fÊ al-IslÉm, hal. 54, ManÉhij al-Bahth ‘Inda Mufakkir al-IslÉmÊ (Kairo: DÉr al-Ma’Érif, 1966), hal. 64-65
[5] Abdul WahhÉb KhalÉf, Ilm UÎËl Fiqih, hal. 18
[6] AlÊ SÉmÊ al-NashÉr, ManÉhij al-Bahth ‘Inda Mufakkir al-IslÉmÊ (Kairo: DÉr al-Ma’Érif, 1966), hal. 82
[7] ibid
[8] FakhrudÊn al-RÉzÊ,Manāqib al-Imām al-Shāfi’i (Beirut: Dār al-Jīl, 1993), hal. 63 lihat jugaAlī SÉmÊ al-NashÉr, ManÉhij al-Bahth ‘Inda Mufakkir al-IslÉmÊ, hal.
[9] Abdul Wahhāb Abū Sulayman, Manhajiyyah al-Imām Muhammad bin Idris al-Shāfi’ī fī UÎūl Fiqih (Beirut: Dar Ibn Hazm &Makkah : Al-Maktabah al-Makkiyah, 1999), hal. 27 dan 28
[10] Jalāluddīn Al-Suyuthi,Şoun al-Mantiq wa al-Kalām (Kairo: Silsilah Ihya al-Turath al-Islami, tanpa tahun), hal. 15
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] AbËl WafÉ GhanamÊ al-TaftÉzanÊ, Ilmul KalÉm wa Ba’dh MushkilÉtihi, hal. 3
[14] Sa’duddīn al-TaftÉzanÊ, Sharh al-‘Aqāid al-Nasafiyah, hal. 11
[15] Al-Ijī,Al-Mawāqif fī ‘Ilmi al-Kalām, hal. 7
[16] Ibnu Khaldūn,Al-Muqaddimah, hal. 423
[17] Muhammad Idrus Ramli,Madzhab Al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah Wal Jama’ah? Jawaban Terhadap Aliran Salafi,(Surabaya:Khalista, 2009), hal. 197-198
[18] Nirwan Syafrin,Konstruk Epistemologi Islam:Telaah bidan Fiqh dan Ushul Fiqh dalam Jurnal Tsaqafah vo. 5, No. I, Zulqa’dah 1429, hal. 9
[19] AbËl WafÉ GhanamÊ al-TaftÉzanÊ, Ilmul KalÉm wa Ba’dh MushkilÉtihi, hal. 7
[20] Al-Qurtūbī,Al-Jāmi’ li Ahkam al-Qur’ān, (Riyad: Dār al-Kutub), vol. 4, hal. 127
[21] Muhammad bin Umar Nawawī al-Jāwī al-Bantānī, Marah Labid li Kashf Ma’na al-Qur’ān al-Majid (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), vol. I, hal. 280
[22] AlÊ SÉmÊ al-NashÉr, ManÉhij al-Bahth ‘Inda Mufakkir al-IslÉmÊ, hal.
[23] Mohd Farid Mohd Shahran,Akidan dan Pemikiran Islam: Isu dan Cabaran,(Kuala Lumpur: ITBM, 2015), hal. 91
[24] Mohd Farid Mohd Shahran,Akidan dan Pemikiran Islam: Isu dan Cabaran,(Kuala Lumpur: ITBM, 2015), hal. 91