Oleh Difa, Peneliti InPAS
Pendahuluan
Rasulullah SAW tidaklah mewariskan harta benda dan kekayaan kepada umatnya. Namun Rasulullah SAW mewariskan kepada kita dua perkara, yaitu Al-qur’an dan Sunnah. Al-qur’an adalah kalam Allah yang telah dijamin kemurnian dan keabsahannya. Sedangkan Sunnah atau sabda Rasul SAW tidak semuanya berpredikat mutawatir, sehingga tidak semua sabda Rasul SAW tersebut bisa diterima karena belum tentu setiap kalimat hadits itu berasal dari Rasulullah SAW.
Sebagai umat Islam, tentunya kita sudah tahu bahwa hadits merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an, sehingga hadits sangat diperlukan untuk memperjelas ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas maknanya. Oleh karena itu hadits atau sunnah Nabi SAW mempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber ajaran Islam, selain Al-Qur’an.
Proses penulisan hadits berlangsung setelah Nabi SAW wafat hingga 200 tahun setelahnya. Dalam rentang waktu yang panjang itu, kemungkinan terjadinya pemalsuan dan perubahan yang sangat besar, serta menimbulkan berbagai hal yang dapat menjadikan para periwayat hadits menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi SAW. Oleh karenanya muncullah ilmu yang berkaitan dengan hadits atau biasa disebut dengan istilah ‘Ulumul Hadits.
Dari berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadits, ada satu cabang ilmu yang membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian, yaitu ilmu al-jarh wa ta’dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar-komentar para kritikus hadits tentang keadaan setiap perawi, apakah diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantinya bisa ditentukan status dan derajat hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut.
Kalaulah ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama. Padahal, perjalanan hadits semenjak Rasulullah SAW sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW kemurnian sebuah hadits perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian di bidang politik, ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadits. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentingan golongannya. Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah SAW dan hadits yang palsu (maudhu’).
Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa al-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadits shahih, hasan, ataupun hadits dha’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.
Pengertian Ilmu Al-Jarh wa Ta’dil
Menurut bahasa, kata jarh merupakan masdar dari kata jaraha-yajrahu-jarhan (جرح – يجرح – جرحا) yang berati “melukai”. Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, ataupun berkaitan dengan non fisik, misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang. Apabila kata jaraha (جرح) dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti “menggugurkan keabsahan saksi”.
Menurut istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk di bidang hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan itu menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut. Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarh dan tajrih; dan sebagian ulama lagi membedakan penggunaan kedua kata itu. Mereka yang membedakan beralasan bahwa kata al-jarh berkonotasi tidak mencari-cari ketercelaan seseorang; namun ketercelaan memang telah tampak pada diri seseorang itu. Sedangkan at-tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang.
Adapun kata at-ta’dil, asal katanya adalah masdar dari kata kerja ‘addala-yu’addilu-ta’dilan (عدّل – يعدّل – تعديلا), artinya mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Menurut istilah ilmu hadits, kata at-ta’dil mempunyai arti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa al-jarh wa ta’dil merupakan ilmu yang membahas keadaan para rawi hadits dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka.
Sejarah Ilmu Al-Jarh Wwa Ta’dil
Sejarah pertumbuhan ilmu al-jarh wa ta’dil selalu seiring dan sejalan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadits, karena bagaimanapun juga untuk memilah dan memilih hadits-hadits shahih melewati penelitian terhadap rawi-rawi dalam sanadnya, yang pada akhirnya memungkinkan untuk membedakan antara hadits yang maqbul dan yang mardud.
Embrio praktek men-jarh dan men-ta’dil sudah tampak pada masa Rasulullah SAW yang beliau contohkan sendiri secara langsung dengan mencela bi’sa akh al-‘asyirah (saudara kerabat yang buruk) dan pernah pula beliau memuji sahabat Khalid bin Walid dengan sebutan: “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid. Dia adalah pedang dari sekian banyak pedang Allah”.
Selain dari riwayat-riwayat yang kita peroleh dari Rasulullah SAW tentang al-jarh dan at-ta’dil ini, banyak pula kita menemukan pandangan dan pendapat para Sahabat. Kita dapat menemukan banyak kasus di mana Sahabat yang satu memberikan penilaian terhadap Sahabat yang lainnya dalam kaitannya sebagai perawi hadits. Keadaan demikian berlanjut dan dilanjutkan oleh tabi’in, atba’ at-tabi’in serta para pakar ilmu hadits berikutnya. Dalam hal ini mereka menerangkan keadaan para perawi semata-mata dilandasi semangat religius dan mengharap ridha Allah. Maka, apa yang mereka katakan tentang kebaikan maupun kejelekan seorang perawi akan mereka katakan dengan sebenarnya, tanpa tenggang rasa, meski yang dinilai negatif adalah keluarganya.
Syu’bah bin al-Hajjaj (82-160 H) pernah ditanya tentang hadits yang diriwayatkan Hakim bin Jubair. Syu’bah yang dikenal sangat keras terhadap para pendusta hadits berujar: أخافالنلر. Karena ketegasan dan keteguhannya inilah yang menjadikan Imam Syafi’i berkomentar: لولاشعبةماعرفالحديثبالعراق. “Seandainya tidak ada Syu’bah, niscaya hadits tidak dikenal di Irak”.
Suatu kali pernah seorang laki-laki bertanya kepada ‘Ali al-Madini tentang kualitas ayahnya. ‘Ali hanya menjawab: Tanyalah kepada orang lain”. Orang yang bertanya tersebut rupanya masih menginginkan jawaban ‘Ali al-Madini sendiri, sehingga ia tetap mengulang-ulang pertanyaannya. Setelah menundukkan kepala sejenak lalu mengangkatnya kembali, ‘Ali berujar: هذاالدينأنّهضعيف. “ini masalah agama, dia (ayah ‘Ali al-Madini) itu dla’if”.
Menyadari betapa urgen-nya sebuah penilaian hadits dalam hal rawi hadits, para ulama hadits di samping teguh, keras dan tegas dalam memberikan penilaian, juga dikenal teliti dalam mempelajari kehidupan para rawi. Sebegitu telitinya, Imam Asy-Sya’bi pernah mengatakan: “Demi Allah, sekiranya aku melakukan kebenaran sembilan puluh kali dan kesalahan sekali saja, tentulah mereka menilaiku berdasarkan yang satu kali itu”.
Demikianlah para ulama telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap keberadaan ilmu al-jarh wa ta’dil. Di samping mengiprahkan diri, para ulama juga memotivasi para muridnya untuk turut andil mencari tahu keadaan rawi tertentu dan menjelaskan kepada yang lainnya.
Begitu besar rasa tanggung jawab para ulama hadits dalam menilai kualitas rawi, mereka mengibaratkan amanah tersebut lebih berat dibanding menyimpan emas, perak dan barang-barang berharga lainnya. Kiprah menilai keadaan para perawi ditegaskan berulang kali oleh para ulama hadits dalam rangka menjaga sunnah dari tangan-tangan perusak dan pemalsu hadits, yang pada gilirannya menjadi wasilah mengetahui kualitas dan nilai hadits.
Dengan demikan pada dasarnya ilmu al-jarh wa ta’dil tumbuh dan berkembang bersamaan dengan periwayatan hadits, yakni semenjak masa Rasulullah SAW dan para Sahabatnya. Ulama-ulama sesudahnyalah yang kemudian melanjutkan uswah dan tradisi semacam itu. Sebagaimana firman Allah yang tertuang dalam (Q.S. al-Ahzab [33]: 70-71): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar, Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
Tujuan Pokok Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
Tujuan pokok dalam mempelajari al-jarh wa ta’dil adalah:
1. Untuk menghukumi/mengetahui status perawi hadits
2. Untuk mengetahui kedudukan hadits / martabat hadits, karena tidak mungkin mengetahui status suatu hadits tanpa mengetahui kaidah ilmu al-jarh wa ta’dil
3. Mengetahui syarat-syarat perawi yang maqbul. Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-nya serta perkara yang berkaitan dengannya.
Tingkatan-Tingkatan Lafadz Al Jarh dan Al Ta’dil
Para ulama ahli hadits telah menentukan istilah-istilah yang mereka pergunakan untuk menyifati karakteristik para rawi dari segi diterima atau tidaknya riwayat haditsnya. Para ulama telah banyak menulis tentang klasifikasi para rawi ini. Mereka berupaya keras untuk membaginya dan menjelaskan status-statusnya.
Tulisan yang pertama kali sampai kepada kita adalah karya tokoh kritikus al-Imam bin al-Imam Abdurrahman bin Abi Hatim al-Razi (w. 327 H) dalam kitabnya yang besar “Al-jarh wa al-Ta’dil”. Ia telah menyusun martabat al-jarh wa al-ta’dil masing-masing terdiri atas empat martabat.
Banyak ulama hadits yang mengikuti jejak al-Razi dalam mengklasifikasi al-jarh wa al-ta’dil ini. Di antaranya adalah Ibnu ash-Shalah dan al-Nawawi. Mereka mengikutinya tanpa menyalahinya sedikitpun. Kemudian datang ulama lain dan berpendapat sama dalam klasifikasi dan hukum-hukumnya secara global. Namun, mereka menambahkan beberapa perincian. Di antara ulama terakhir ini yang paling masyhur adalah al-Dzahabi, al-‘Iraqi, Ibnu Hajar, dan al-Sakhawi.
Kemudian datanglah al-‘Iraqi yang mengikuti al-Dzahabi dalam pembagian al-jarh wa al-ta’dil. Beliau lebih merinci dan menjelaskan, dengan mencantumkan kata-kata martabat pertama, martabat kedua, dan seterusnya sebagai ganti kata kemudian (tsumma). Di samping itu beliau juga menyebutkan lebih banyak lafazh-lafazh julukan pada setiap martabat, serta menjelaskan hukum masing-masing martabat.
Kemudian datanglah al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Dalam kitabnya al-Nukhbah ia menambahkan dalam ta’dil satu martabat lagi yang lebih tinggi daripada martabat yang ditambahkan oleh al-Dzahabi dan al-‘Iraqi. Yaitu tingkatan yang dijuluki dengan bentuk kata af’al al-tafdhil, seperti autsaq an-nas. Adapun martabat jarh, al-Hafizh menambahi satu martabat yang melebih-lebihkan jarh, seperti julukan Akdzab an-Nas. Penambahan ini diikuti oleh al-Sakhawi. Dengan demikian martabat jarh menjadi enam.
Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama-ulama Hadits di atas merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat kecacatan dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Sebagai contoh sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
· Tingkatan lafadz ta’dil
Secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.[16]
Pertama, أو ثق النَّاس , أ ضبط النَّاسِ, ليس لَهُ نَظِيْرٌ(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya),
Kedua, فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ أَوْ عَنْ مِثْلِهِ(si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya),
Ketiga, ثِقَةٌ ثِقَةٌ, ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ, ثِقَةٌ حَفِظٌ(terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),
Keempat, , متقن, حجة, إمام, عدل حافظ, عدل ضابطثبت(kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , مأمون, لا بأس به قصدو(benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke-dabitannya.
Keenam, شيخ, ليس ببعيد من الصواب, صويلح, صدوق إن شاء الله(syeikh, tidak jauh dari benar, agak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya.
· Tingkatan lafadz al-Jarh.
Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh-nya, sampai kepada yang paling ringan jarh-nya.
Pertama, menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata: أكذب الناس، ركن الكذب (Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: كذاب, وضاع (pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi dituduh berdusta. Lafadz yang digunakan misalnya:
مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ, مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ
(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis, celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat).
Keempat, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
رُدَّ حَدِيْثُهُ, طُرِحَ حَدِيْثُهُ, ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ
(ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
Kelima, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
الْحَدِيْثِ، لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ، ضَعِيْفٌ مُضْطَّرِبُ
(goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah).
Keenam, mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
ثق منه ليس بذلك القوي, فيه مقا ل, ليس بحجة، فيه ضعيف, غير أو
(tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:
· Haruslah orang tersebut ‘âlim (berilmu pengetahuan),
· Bertaqwa,
· Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
· Jujur,
· Belum pernah dijarh,
· Menjauhi fanatik golongan,
· Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.
Kitab-Kitab yang membahas tentang Al-jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.
Para penyusun mempunyai metode yang berlainan:
1. Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dha’if saja dalam karyanya.
2. Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja.
3. Dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dha’if dan yang tsiqaat.
Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada mereka [28]:
1. Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.
2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain: At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir[/I].
3. Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.
4. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
5. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).
6. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Ahmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’karya Imam Bukhari.
7. Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr bin Musa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.
8. Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
Dan di antara karya-karya mereka adalah tentang sejarah perawi hadits secara umum, tidak hanya terbatas pada biografi tokoh-tokoh saja, atau biografi para tsiqaat saja, atau para dlu’afaa’ saja; seperti :
9. Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315 biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.
10. Kitab Al-jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para imam Al-jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
Kemudian karya-karya mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam kutubus-sittah dan lainnya, sebagian di antaranya khusus pada perawi satu kitab, dan sebagian yang lain mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.[29]
11. Kitab Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.
12. Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.
13. Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari; manuskrip.
14. Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.
15. Kitab At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi (wafat tahun 416 H); manuskrip.
16. Kitab Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.
17. Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.
18. Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.
19. Kitab Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.
20. Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Kitab ini dianggap sebagai asal bagi orang setelahnya dalam bab ini. Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.
21. Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
22. Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).
23. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.
24. Kitab Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.
25. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu Hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detil.
26. Kitab Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar juga.
27. Kitab Khulashah Tahdzibul-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).
28. Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawaid Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalany.
29. Kitab Mizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan termasuk kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orang yang di-jarh.
30. Kitab Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani.
31. Kitab At-Tadzkiratul bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H). Kitab ini mencakup atas biografi sepuluh perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu: al-kutubus-sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya Imam empat madzhab: Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah ini.
Kesimpulan
Hadits sebagai salah satu pedoman Islam kini tidak hanya sebagai suatu alat legitimasi belaka. Tapi hadits kini telah menjadi suatu ilmu tersendiri (‘Ulumul Hadits) yang patut untuk dipelajari dan dikaji umat Islam pada khususnya dan manusia yang cinta ilmu pada umumnya. Sebagai salah satu khazanah keilmuan Islam, hadits memiliki beberapa cabang ilmu, salah satunya adalah ilmu al-jarh wa ta’dil. Yaitu cabang dari ‘ulumul hadits yang membahas tentang celaan dan pujian kepada para periwayat hadits. Telah meninggalnya mereka para periwayat membuat kita tidak mudah untuk menelitinya. Dari kitab-kitab yang mengkaji ilmu inilah kita bisa mengetahui tsiqoh tidaknya mereka.
Dari sini kita bisa tahu bahwa kepedulian para ulama ahli hadits untuk menjaga dan membentengi risalah yang agung ini dari upaya-upaya pemalsuan dan kepentingan-kepentingan yang hanya mementingkan kelompok saja. Dan dari sini pula kita bisa tahu bahwa keilmuan dalam Islam begitu hebat, begitu besar karena para ulama hanya mengharap ridho Allah semata. Karena inilah yang diwariskan Rasulullah SAW untuk kita umatnya hingga akhir zaman.
Daftar Pustaka
Al-Khatib, Ajaz, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1975).
Isma’il, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi,
(Jakarta: PT Bulan Bintang, 2007).
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits,
(Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003).
Thahan, Mahmud, Usul al-takhrij wa Dirasat al-Asanid,
(Riyad: Maktabah al-ma’arif li an-nasyr wa at-tauzi’, t.th).
http://fentirakhmawati.blogspot.com/2012/10/al-jarh-wa-al-tadil.html
Artikel yg menarik. Apakah ada upaya untk mengembangkan aplikasi Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil dalam bidang komunikasi massa dan politik? Saya rasa akan menarik kalo ilmu ini kita bs aplikasikan ke bidang komunikasi sehingga bs muncul pemeringkatan media dengan tingkatan2 dari mulai dr yang tidak dapat dipercaya sampai yang paling akurat informasinya. Dalam ilmu politik jg bs diaplikasikan juga untuk memeringkat politisi berdasarkan tingkatan2 kejujurannya atau amanahnya (integritas?).
Bagus sekali dan lengkap pembahasannya