Ulama Indonesia yang Mengajar di Masjidil Haram

Oleh M. Anwar Djaelani

inpasonline.com – Sejarah atau kisah, dalam Islam, penting. Lebih dari separuh isi Al-Qur’an tentang sejarah. Surat ke-28, bahkan bernama Al-Qashash (kisah).

Perhatikanlah, ada ayat Al-Qur’an yang secara khusus meminta kita untuk mencermati kisah Nabi Ibrahim As, yaitu: “Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim” (QS Asy-Syu’araa’ [26]: 69).

Ada ayat Al-Qur’an yang meminta kita untuk serius meneladani Nabi Muhammad Saw. Perhatikanlah: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik” (QS Al-Ahzab [33]: 21). Tentu, untuk merespons ayat ini kita harus tekun menyimak seluruh kisah hidup Rasulullah Saw.

Di samping dua ayat tadi, ada ayat Al-Qur’an yang secara umum meminta kita rajin membaca kisah. Perhatikanlah: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS Yusuf [12]: 111).

Pak Zar dan Kebermanfaatan

KH Imam Zarkasyi adalah salah satu dari tiga bersaudara pendiri Pondok Modern Gontor. Dia salah satu ulama yang perlu kita pelajari kisah hidupnya. Pernah terjadi dialog antara Pak Zar (sapaan akrab dari pendidik itu) dengan seseorang yang pernah menjadi anak didiknya. Berikut ini petikannya:

“Kamu sudahkah mengajar,” tanya Pak Zar.

“Belum,” jawab si mantan murid.

“Mati kamu,” respons Pak Zar.

Dialog lalu berlanjut. Makin menarik.

“Sudahkah kamu menulis atau menerjemahkan buku,” tanya Pak Zar.

“Belum,” jawab si mantan murid.

“Mati kamu,” tukas Pak Zar.

Dari dialog di atas, Pak Zar hendak mengingatkan, bahwa dalam hidup ini seseorang hendaklah berkarya. Mengajar, menulis dan/atau menerjemahkan buku, berarti menyebarkan ilmu. Itu, termasuk contoh karya.

Bagi Pak Zar, seorang santri yang mengajar mengaji satu atau dua orang dengan ikhlas di langgar di tengah hutan adalah orang besar. Hal ini, karena si santri telah berkarya dan bermanfaat bagi orang di tengah hutan, yang mungkin orang lain tidak bisa melakukannya.

Jika seseorang mengajar mengaji satu atau dua orang dengan ikhlas di langgar di tengah hutan adalah orang besar, maka seperti apa gerangan nilai seseorang yang mengajar sekaligus menjadi imam di Masjidil Haram? Di sejarah, ternyata ada ulama Indonesia yang seperti itu. Jumlahnya tak banyak. Berikut ini, empat di antaranya.

Nawawi Al-Bantani

01 - Nawawi Al-Bantani

Nawawi Al-Bantani

Di kalangan ulama, gelar menunjukkan kapasitas. Di antara gelar Nawawi Al-Bantani adalah Al-Sayyid Al-Ulama Al-Hijaz (Tokoh Ulama Hijaz). Gelar lain, “Nawawi Kedua”. Tentu, ini dinisbahkan kepada Ulama Besar yang sangat terkenal yaitu Imam Nawawi sang penulis Riyadush-Shalihin. Lain dari itu, banyak ulama Indonesia yang menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia. Tak pelak lagi, aneka gelar itu mengabarkan kepada kita bahwa sang pemilik adalah ulama yang memiliki ilmu sangat tinggi.

Nawawi Al-Bantani lahir di Banten pada 1814. Pada 1830, Nawawi berhaji dan lalu belajar di Mekkah. Setelah tiga tahun, Nawawi kembali ke Indonesia. Setelah beberapa lama, dia kembali ke Mekkah dan berkonsentrasi mendalami agama. Sejak itu, dia mukim di Mekkah dan tak pernah pulang lagi ke Indonesia.

Nawawi Al-Bantani sangat mendalam ilmu agamanya terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawuf. Kemasyhurannya sampai ke Mesir. Nama dia semakin harum ketika ditunjuk menjadi pengganti salah seorang Imam Masjidil Haram. Terutama sejak itulah dia lalu dikenal dengan nama “resmi” yaitu Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (Syaikh Nawawi dari Banten – Jawa).

Di antara murid Nawawi Al-Bantani yang dari Indonesia antara lain adalah Mahfudz At-Tarmasi, Muhammad Khalil Bangkalan (ulama besar yang murid-muridnya banyak juga yang lalu menjadi ulama terkemuka), Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), dan Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdhatul Ulama).

Sebagai ulama, Nawawi Al-Bantani sangat giat menulis. Kitab Tafsir Munir (yang menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami firman Allah), Kitab fiqh Kaasifah Al-Sajaa (yang mengurai hukum-hukum Islam secara lugas), dan kitab tasawuf Nashaaih Al-‘Ibaad (yang berisi ratusan hikmah untuk para hamba Allah) merupakan tiga judul dari sekitar 115 kitab yang ditulisnya dan hingga kini terus diajarkan di berbagai pesantren di Indonesia serta di manca-negara.

Karya-karya tulis Nawawi Al-Bantani beredar di banyak kawasan. Tercatat, Universitas Al-Azhar Kairo – Mesir pernah mengundang Nawawi karena karya-karyanya disukai kalangan akademisi. Sementara, di Indonesia, Nawawi “menyampaikan” ilmu melalui karya-karya tulisnya yang menjadi buku wajib di berbagai pesantren.

Karya Nawawi Al-Bantani juga dipelajari di sejumlah madrasah Pattani, Yala, Satun, dan Narathiwat yang kesemuanya ada di wilayah Thailand Selatan. Juga, dipelajari di madrasah di wilayah Mindanao, Filipina Selatan. Selain di Asia Tenggara, juga tersebar di wilayah Timur Tengah seperti Saudi-Arabia, Mesir, Afrika Utara, Yaman, Suriah, Libanon, dan lain-lain.

Nawawi Al-Bantani wafat di Mekkah pada 1897. Jejaknya patut kita ikuti. Karya-karyanya, membuat panjang ingatan orang akan hidupnya yang bermanfaat.

 

Mahfudz At-Tarmasi

02 - Mahfudz At-Tarmasi

Mahfudz At-Tarmasi

Mahfudz At-Tarmasi adalah Ulama Besar. Dia memiliki banyak keahlian. Sejak usia tiga puluh tahun dia mukim, belajar, dan berkarya di Mekkah.

Mahfudz At-Tarmasi lahir di Tremas Pacitan, pada 1842. Belajar kepada KH Shaleh Darat, Ulama Besar di masa itu. Lalu, berangkat ke Tanah Suci, di saat usianya 30 tahun. Semangat belajar dia, tinggi.

Mahfudz At-Tarmasi ulama yang produktif menulis. Seluruh karyanya–lebih dari dua puluh judul-ditulis dalam bahasa Arab. Di antara karyanya yang membahas Hadits adalah Al-Minhah Al-Khairiyyah fi Arba’in Haditsan min Ahadits Khair Al-Bariyyah yang membicarakan 40 Hadits Nabi Saw. Tampaknya, Mahfudz At-Tarmasi ingin mengamalkan Hadits Nabi Saw bahwa barang siapa menghafal 40 Hadits tentang agama maka kelak di hari kiamat akan dikatakan kepadanya “Masuklah ke surga lewat pintu manapun yang engkau suka”.

Karya Mahfudz At-Tarmasi masih banyak yang ditemukan di perpustakaan di sejumlah pesantren. Karya-karya itu antara lain seperti: Mauhibah Dzi Al-Fadll Hasyiyah Syarh Mukhtashar Bafadll dan Minhaj Al-Dzawi Al-Nazhar bi Syarh Manzhumah Al-‘Ilm Al-Atsar.

Kitab-kitab karangan Mahfudz At-Tarmasi tidak hanya dipergunakan oleh hampir semua pesantren di Indonesia, tapi banyak pula yang dipakai di beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah, seperti di Saudi-Arabi, Marokko, Iraq dan negara-negara lainnya. Bahkan di antara kitab-kitabnya masih ada yang dipakai dalam pengajian di Masjidil Haram.

Mahfudz At-Tarmasi termasuk di antara sedikit ulama Indonesia yang diizinkan untuk mengajar di Masjidil Haram. Kealimannya diakui dunia internasional. Muridnya yang dari Indonesia banyak, seperti Hasyim Asy’ari (Tebuireng Jombang), Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas Jombang), Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Shaleh (Tayu Pati), Asnawi (Kudus), Dahlan (Kudus), dan lain-lain (M. Solahudin, 2014: 58).

Sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan, Yasin Al-Fadani-ulama Mekkah asal Padang-memberi enam gelar kepada Mahfudz At-Tarmasi. Gelar-gelar itu adalah Allamah (sangat alim), Al-Muhaddits (ahli Hadits), Al-Musnid (mata rantai sanat Hadits), Al-Faqih (ahli fiqh), Al-Ushuli (ahli ushul fiqh) dan  Al-Muqri (ahli qiraat).

Semua gelar itu menggambarkan betapa luas dan dalamnya ilmu yang dimiliki ulama yang wafat pada 1920 di Mekkah itu. Jejak perjuangannya patut kita ikuti. Karya-karyanya, membuat panjang ingatan orang akan hidupnya yang bermanfaat.

Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

03 - Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

Ahmad Khatib Al-Minangkabawi seorang ulama-pembaharu yang sangat berpengaruh. Sebagai Ulama Besar, dia “melahirkan” banyak Ulama Besar lainnya seperti–antara lain-KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. Sebagai pembaharu, dia berhasil membuka cakrawala berfikir dari banyak kalangan.

Ahmad Khatib lahir pada 26/05/1860 di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat. Saat berusia 11 tahun, Ahmad Khatib dibawa sang ayah  berhaji. Di Mekkah, setelah berhaji, Ahmad Khatib belajar. Dia mendalami Islam ke beberapa ulama.

Pada usia sekitar 16 tahun dia kembali ke Indonesia untuk beberapa bulan. Lalu, pada 1876 dia kembali ke Mekkah untuk lebih mendalami agama. Dia-pun lalu menetap di sana.

Di usia 20 tahun, dia mulai dikenal masyarakat Mekkah karena akhlak dan ilmunya. Maka, latar belakang inilah yang mengantarkan Ahmad Khatib menjadi Imam dan Guru Besar dalam mazhab Syafi’i di Masjid Al-Haram.

Walau Ahmad Khatib mukim di Mekkah, dia tetap termasuk tokoh pembaharu di Indonesia di penghujung abad 19 dan di awal abad 20. Pasalnya, pikiran-pikiran dia tersebar luas di Indonesia dengan cara: Pertama, melalui buku-bukunya. Kedua, melalui mereka yang datang ke Mekkah untuk beribadah haji dan sekaligus menyempatkan diri belajar kepada Ahmad Khatib.

Ahmad Khatib produktif menulis. Dia menulis 50-an buku, berbahasa Arab atau Melayu. Karya-karya tulis Ahmad Khatib kebanyakan bertema kekinian terutama menjelaskan tentang Islam yang murni dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang berseberangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Sekadar menyebut contoh, berikut ini dua karya Ahmad yang berbahasa Arab: 1).Hasyiyah An-Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli. 2).Al-Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah. Adapun yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab, berikut ini sekadar dua contoh: 1).Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab. 2).Ar-Riyadh Al-Wardiyyah fi (Ushulit Tauhid wa) Al-Fiqh Asy Syafi’i.

Dari buku-bukunya-yang tersebar antara lain hingga ke Suriah, Mesir, dan Turki-, tampaknya Ahmad Khatib tidak hanya ahli dalam masalah teologi saja, tapi juga menguasai beberapa bidang lain seperti ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu hitung (hisab), ilmu ukur (geometri), ilmu falak, dan mawarits (ilmu waris). Ilmu yang disebut terakhir itu termasuk yang telah membawa pembaharuan pada adat di Minangkabau.

              Ahmad Khatib Al-Minangkabawi wafat di Mekkah pada 13/03/1916 dalam usia 56 tahun. Dia meninggalkan banyak kitab yang berharga. Dia juga banyak meninggalkan kader yang dia didik secara langsung. Kader-kader itu lalu melahirkan juga kader-kader berikutnya, dan seterusnya.

 

Yasin Al-Fadani

04 - Yasin A-Fadani

Yasin Al-Fadani

Yasin Al-Fadani istimewa. Dia termasuk satu dari sedikit ulama Indonesia yang berhak mengajar di Masjidil Haram. Ditambah lagi, dari yang sedikit itu, dia satu-satunya yang lahir di Mekkah yaitu pada 1916. Nama belakangnya, dinisbahkan kepada asal nenek-moyangnya yaitu  Padang – Sumatera Barat.

 Yasin Al-Fadani rajin, belajar ke banyak guru, di Mekkah dan Madinah. Jika ada ulama yang singgah di Mekkah atau Madinah, Yasin Al-Fadani biasanya akan menemui untuk bertukar pikiran.

Saat dibuka Madrasah Dar Al-‘Ulum Al-Diniyyah, Yasin Al-Fadani turut belajar di madrasah tersebut. Pada masa jayanya, madrasah itu hampir sejajar dengan Universitas Al-Azhar Mesir. Setelah lulus, dia menjadi tenaga pengajar di almamaternya. Lalu, meningkat sebagai Wakil Direktur. Belakangan, ditetapkan sebagai Direkturnya.

Selain itu, Yasin Al-Fadani juga mengajar di Masjidil Haram. Dia mendapat izin mengajar di Masjidil Haram sejak 1969. Selain mengajar di Masjidil Haram, Yasin Al-Fadani juga mengajar di rumah dan perpustakaan pribadinya.

Kepakarannya di bidang Hadits diakui banyak pihak. Misal, diakui oleh Profesor Umar Hasyim, mantan rektor Al-Azhar Mesir. Pun, oleh KH Maemun Zubair pengasuh Pesantren Al-Anwar Karangmangu Rembang

Sekitar 60 karya tulis Yasin Al-Fadani, meliputi bidang Hadits, fiqh, balaghah, ilmu falaq, ilmu mantiq, dan lain-lain. Misal, dalam Hadits dia menulis Al-Dar al-Mandlud Syarh Sunan Abi Dawud (20 jilid). Dalam bidang fiqh dan ushul fiqh, Yasin Al-Fadani menulis Bhughyah al-Musytaq Syarh Al Luma’ Abi Ishaq (2 jilid).

Bidang yang paling banyak ditulis Yasin Al-Fadani adalah sanad. Berikut ini sekadar menyebut dua judul saja, yaitu: Mathma’ Al-Wijdan fi Asanid Al-Syaikh ‘Umar Hamdan (3 jilid) dan Ittihaf Al-Ikhwan bi Ikhtishar Mathma’ al-Wijdan (2 jilid). Adapun kitab Hadits yang diriwayatkan Yasin Al-Fadani antara lain adalah Al-Jamius Shahih Imam Al-Bukhari, Kitab Al-Shahih karya Imam Muslim dan Kitab Al-Sunan karya Imam Abu Dawud.

Karya-karya tulis Yasin Al-Fadani tersebar dan menjadi rujukan lembaga-lembaga Islam, baik di Makkah maupun Asia Tenggara. Di Indonesia, misalnya, tersebar di pesantren-pesantren.

Kealiman Yasin Al-Fadani diakui oleh ulama sedunia. Dia dinilai menguasai ilmu keislaman seperti tafsir, Hadits, tasawuf, fiqh, dan–khususnya-sanad. Berbagai gelar disematkan kepada Yasin Al-Fadani, antara lain: Bahr al-Ulum (Lautan Ilmu), Musnid Al-‘Ashar (Ahli Sanad Masa Kini). Gelar yang disebut terakhir ini, menunjukkan adanya pengakuan bahwa Yasin Al-Fadani memiliki banyak periwayatan sebab makna julukan tersebut adalah “Musnid abad ini”.

Yasin Al-Fadani wafat pada 1990. Perjuangannya, sangat menginspirasi. Karya-karyanya, membuat namanya tetap sering disebut-sebut. Hidup dia bermanfaat.

Mendidik dan Mendidik!

Bagi Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, tidak ada aktivitas yang lebih utama dibanding menyibukkan diri dengan menuntut ilmu dan mengajarkannya. Dia sangat terinspirasi oleh HR Bukhari-Muslim ini: ”Sungguh, bila seorang diberi hidayah lewat perantaraan dirimu maka itu lebih baik bagimu dari unta merah (yang merupakan harta termahal bangsa Arab)”.

Bila gambaran di atas adalah pahala perantara hidayah untuk satu orang saja, maka kira-kira bagaimana besarnya pahala orang yang menghabiskan seluruh umurnya dengan menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain? Demikian, jalan berpikir Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (Maulana La Eda, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, 2025: 30).

Mari perbanyak karya atau amal shalih. Buatlah karya, yang bisa mendatangkan manfaat bagi diri dan sesama. Karya, yang jika bisa, berumur panjang. Misalnya, memberikan pelajaran bagi orang lain. Menyampaikan ilmu atau pelajaran kepada masyarakat dengan tulisan (terutama lewat buku). Bisa juga karya yang lain dan itu pilihannya banyak. Demikianlah, semoga Allah mudahkan. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *