Oleh M. Anwar Djaelani, peminat kisah-kisah inspiratif dan penulis 13 buku
Makmun Abdullah Moesa dan istri.
inpasonline.com – ”Mas Makmun seorang pejuang sejati. Saya menjadi saksi,” ungkap Mohammad Wachid di Jombang. ”Yaa Allah, ampunilah saudaraku Mas Makmun Abdullah Moesa. Terimalah amal baiknya, mudahkan jalannya, lapangkan kuburnya, dan tempatkan dia di tempat yang mulia di Surga-Mu,” doa Susilowati di Banyuwangi. ”Aku bersaksi,” tambah Susilowati, ”Dia adalah pejuang dalam menegakkan agama-Mu”.
Kesaksian dan doa di atas hanya sebagian saja dari banyak anggota grup WA Keluarga Aktivis Masjid Universitas Airlangga (KA-MUA) lainnya. Itu, tersampaikan saat terdengar kabar bahwa Drh. Makmun Abdullah Moesa wafat dalam usia 71 tahun pada Sabtu 7 Juni 2025 pukul 18.10 WIB di Singkawang Barat, Kalimantan Barat. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Aktivis Kebaikan
Siapa Makmun Abdullah Moesa? Awal, dia kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM. Kemudian, transfer dan menamatkan pendidikannya di FKH Universitas Airlangga (UA). Sebuah sumber menyebut, dia kuliah di UA 1977-1987. Selanjutnya, setelah lulus, dia bertugas di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kabupaten Singkawang – Kalimantan Barat sampai purna tugas.
Saat di UA itulah, nyaris di sepanjang waktunya, dia aktif di Masjid Universitas Airlangga (selanjutnya, ditulis MUA). Kala itu, masjid itu satu-satunya dan terletak di Kampus B Jalan Airlangga Surabaya.
”MUA, di awal 1980-an disebut Langgar Raya. Oleh karena belum 100% selesai, maka shalat masih menggunakan tikar. Ini mengingat lantai masih plesteran. Bata-bata masih berserakan,” kenang Masykur yang tinggal di Surabaya.
”Mas Makmun,” lanjut Masykur, ”Seingat saya, termasuk yang mengawali mengadakan jamaah shalat duhur. Ini, setelah melihat banyak mahasiswa nongkrong di teras masjid”.
Siapa Makmun Abdullah Moesa? Seingat saya, nama dia tak pernah ada di struktur kepengurusan resmi. Juga, di kepanitiaan berbagai acara di MUA. Tapi, dia tampak aktif dan mengambil peran di (hampir) semua aktivitas MUA.
”Saya beberapa kali diajak mendampingi dia menyusun dan menghubungi penceramah khotib Ramadhan, termasuk yang dari luar kota. Di antaranya, kami ke Bangil dan Pasuruan. Penceramah yang kami undang dari beragam kalangan antara lain dari Muhamadiyah, Persis, dan NU,” tutur Masykur.
Mudah ”Merangkul”
”Dia selalu tampak di masjid setelah kuliah siang atau sore. Dia betah sampai malam di MUA. Hal yang spesial, dia sering menyapa terlebih dahulu mahasiswa/i yang duduk-duduk di teras masjid. Ini, berbuah besar, sebab lalu terbangun keakraban. Bahkan, diam-diam terbentuklah komunitas antarjamaah MUA,” kenang Masykur.
Gambaran di atas, diperkuat Murni, istri Masykur. ”Salah satu alasan saya aktif di MUA di awal 1982 adalah sikap keramahtamahan Mas Makmun kepada mahasiswa baru yang saat itu sekadar untuk shalat di MUA. Dia selalu menyapa dan mengajak berbincang adik-adik mahasiswa. Selanjutnya, diajak ikut di acara-acara MUA. Tentu, lama-lama menjadi tidak bisa menolak,” kenang Murni.
”Sikap ramah dan suka menyapa dari Mas Makmun inilah yang turut membuat MUA makmur yang ditandai dengan makin bertambah banyaknya mahasiswa yang kangen untuk hadir bahkan aktif di dalamnya. Terlebih lagi, di samping penyelenggaraan acara-acara terkait Hari Besar Islam, MUA menyelenggarakan Islamic Intensive Course (IIC) mulai semester ganjil 1983/1984. Juga, ada kegiatan Qur’an Reading Course (QRC),” lanjut Murni.
Ada lagi. ”Mas Makmun sering melontarkan canda yang membuat kami gemas, tapi tak bisa marah. Ini, asyik,” tambah Murni.
Pertemuan ”Terakhir”
Mungkin, di antara anggota KA-MUA yang terakhir ketemu Mas Makmun adalah Mohamad Isa. Lelaki asli Surabaya tapi sekarang tinggal di Banjarmasin ini, silahturahim di kediaman Mas Makmun di Singkawang Barat pada 19 Januari 2023.
”Nama Mas Makmun sangat dikenal di kalangan jamaah MUA. Dia seorang imam shalat sekaligus ’penghuni’ MUA. Dia hidup sederhana saat kuliah. Bertahun-tahun dia “ngopeni” (merawat dan mengelola) MUA, praktis selama dia kuliah di FKH UA antara tahun 1977-1987. Dia bersemangat membantu adik-adiknya untuk berhasil. Satu persatu teman-temannya telah selesai kuliah, namun dia malah agak lambat lulusnya,” kenang Isa.
”Lama saya tidak bertemu dengan dia. Suatu saat, saya ada acara tour dan Silahturahim Trans Kalsel, Kalteng, Kalbar , Kucing/Serawak yaitu pada 15-22 Januari 2023. Salah satu yang kami kunjungi adalah Kota Singkawang. Kala itulah, di tengah hujan, saya kontak beliau untuk bisa silahturahim. Walaupun sudah agak malam dan hujan, dia berkenan menerima saya,” kisah Isa.
”Pukul 22.00 kami bertemu di kediamannya. Senang ketemu dengan senior di MUA. Kala itu, secara fisik dia kurang kuat akibat serangan stroke. Namun, semangat untuk perjuangan Islam tidaklah berkurang. Dengan nada suara penuh semangat, dia mengingatkan pada adik-adiknya untuk tetap berjuang,” demikian Isa melengkapi kisahnya.
Gagah dengan Ghirah
Badannya kecil, tapi semangat dakwahnya besar. Tubuhnya pendek, namun jejak pengabdiannya pada agama panjang. Itulah Mas Makmun.
”Di MUA ada dua yang paling senior. Dua-duanya dari FKH, yaitu Pak Nafsi Sunusi dan Mas Makmun. Keduanya sama-sama memiliki ghirah yang tinggi dalam memakmurkan MUA. Banyak kebaikan Mas Makmun yang bisa dikenang,” kata Lilin Syarifah yang tinggal di Madiun.
Di antara yang berkesan untuk diingat, ”Dia itu suka menjodoh-jodohkan adik-adik yuniornya. Hanya saja, saat dia gantian dijodohkan, dia ”melarikan diri” dengan alasan belum siap. Belakangan kami tahu, dia berjodoh setelah pulang ke Singkawang dan punya seorang putra,” pungkas Lilin.
Berikut ini, catatan Anisah Machmudah yang tinggal di Gresik. ”Kala itu, saya pemula. Mungkin, usia saya dan dia beda sekitar 11 tahun. Beda jauh, dan itu membuat segan di awal. Namun, ternyata dia supel. Dia senantiasa semringah, suka guyon. Sering kami dibuat tergelak dengan candaannya. Dia selalu menyapa dan bertanya. Ini, membuat para yunior merasa diterima dan dibimbing,” kenang Anisah.
”Wajahnya, putih bersih. Ada warna etnis Cinanya. Kabarnya, berdarah Uyghur, suku Cina Muslim,” lanjut Anisah.
”Saking akrabnya dengan semua aktivis MUA,” masih kata Anisah, ”Banyak yang memanggil dia mBah. Hal yang sangat mengesankan, dia hafal nama kami masing-masing. Dia hafal nama fakultas dan semester kami. Juga, alamat rumah kami. Ingatannya tajam dalam masalah ini. Rupanya, ini bagian dari kiat dia dalam menjalin keakraban”.
Setelah lulus, para aktivis MUA sempat terputus hubungannya. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Lalu, pada 2015, grup WA KA-MUA mempertemukan mereka lagi. Termasuk, Mas Makmun di dalamnya.
”Ada yang spesial,” tutur Anisah, yaitu “Terpancar aura zuhudnya saat dia memposting doa-doa. Juga, ketika mengirim materi terkait keimanan dan berita kebaikan. Bahkan, saat teman-teman membahas masalah aktual-semisal politik-dia tiba-tiba memposting taushiyah. Saya, dalam hati tersenyum. Masya Allah, aura zuhudnya memancar. Senior ini, memang patut jadi panutan”.
Masih di soal ibadah. ”Setiap hari dia mengingatkan bila waktu shalat tiba. Namun, beberapa bulan terakhir, Mas Makmun tidak lagi aktif,” kenang Yusro Ilyas yang tinggal di Batu.
”Kecil-Kecil” Tak Terlupakan
Kenangan 1985. Dari kiri: Allahuyarham Kak Makmun, Kak Djoko, Kak Helmi, Allahuyarham ayah dari penulis, dan Kak Desianto. Suasana Idul Adha, pas keempatnya sebagai mahasiswa FKH UA sedang KKN di Pamekasan.
Mas Makmun sering setelah jamaah shalat isya’ mengajak cari makanan yang legendaris saat itu, di awal 1980-an, yaitu nasi bebek. Tempat favoritnya, di daerah Surabaya Utara. Juga, dia suka gule kacang ijo plus roti mariyam.
Terkait menu yang disebut terakhir, ada kisah yang menarik. Kisah di bawah ini disampaikan oleh Agung Supangkat, yang tinggal di Surabaya. Kisah ini tergolong masyhur di kalangan aktivis MUA terutama di paro pertama 1980-an.
Kisahnya, begini: Dalam bahasa Mas Makmun, tanda aktivis MUA sah menjadi pengurus adalah jika mereka sudah makan gule roti maryam. Ini, menu khas yang bisa didapat di sekitar Ampel Surabaya.
Seperti apa acaranya? Biasanya, pas ada momentum aktivis MUA shalat subuh berjamaah di MUA atau saat banyak aktivis banyak bermalam di MUA karena menyiapkan sebuah acara. Selepas shalat subuh, aktivis MUA diajak Mas Makmun sarapan gule mariam di Jalan KH Mas Mansur – Ampel Surabaya.
Tentu, bagi yang tak biasa, gule mariam itu terasa aneh terutama untuk yang berasal dari desa. Kebanyakan teman-teman pengurus yang tidak tahu rasa gule mariam sebelumnya, begitu kembali ke MUA, perutnya mulas. Itu, memaksanya harus segera ke kamar mandi.
Mereka yang tidak terima dengan menu itu, langsung protes ke Mas Makmun. “Waduh, makanan apa itu Mas Makmun. Saya dikerjai sama Mas Makmun,” demikian suara protes itu.
“Pengurus MUA itu harus bersih jiwanya. Dosa-dosa selama ini harus dibersihkan. Nanti setelah dua-tiga kali, Antum akan terbiasa dan tidak akan mulas lagi,” jelas Mas Makmun rileks sembari tersenyum.
Gule dan roti mariam sebenarnya makanan bergizi. Banyak yang menyukainya. Hanya saja, bagi yang baru merasakannya masih perlu ”adaptasi”.
Selamat jalan, Mas!
Mas Makmun telah pergi, menghadap Allah. Kami, di MUA dan di mana pun, bersyukur pernah bersama-sama di jalan dakwah. Teladan engkau, untuk tak lelah berdakwah, mudah-mudahan terus menginspirasi kami.
Mas Makmun yang baik! Semoga engkau termasuk yang Allah panggil dengan mesra seperti yang tergambar di Al-Fajr [89]: 27-30, ini: ”Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” []