Ahmad Khatib Al-Minangkabawi; Guru Ulama-Ulama Besar Indonesia

Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Guru Ulama-Ulama Besar Indonesia

Resensi buku oleh M. Anwar Djaelani, aktif menulis sejak 1996

Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Guru Ulama-Ulama Besar Indonesia

Judul           : Mutiara Ilmu dan Hikmah Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

Penulis        : Maulana La Eda

Penerbit       : Pustaka Al-Kautsar – Jakarta

Terbit pertama : Mei 2025

Tebal           : xviii + 190 halaman

          Siapa guru KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah? Siapa pula guru KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU? Siapa guru Haji Abdul Karim Amrullah dan Syaikh Jamil Jambek, dua ulama besar asal Sumatera Barat itu? Siapa guru Haji Agus Salim, tokoh Sarekat Islam dan pejuang berjuluk The Grand Old Man itu?

Guru mereka adalah seorang ulama hebat. Ulama itu, pembaharu, bernama Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Amal atau karyanya luar biasa. Misal, karya tulisnya 47 judul buku.

Sebagian jejak Sang Ulama direkam dalam buku ini, yang ditulis oleh Maulana La Eda. Dia cendekiawan Muslim yang ijasah S1 sampai S3-nya didapat dari Universitas Islam Madinah. Isinya, saripati dari 6 buku (bagian dari 47 total karya Khatib Minangkabawi). Di dalamnya, ada hikmah dan nasihat (h.xii).

Sosok Besar  

Ahmad Khatib Al-Minangkabawi lahir di Bukittinggi – Sumatera Barat, pada 26 Mei 1860. Perjalanannya keilmuan membawanya ke Mekkah. Lewat perjuangan yang serius, di Mekkah dia menjelma menjadi ulama yang akhlak dan ilmunya diakui secara luas.

Ahmad Khatib Minangkabawi lalu mendapat amanah yang mulia: Di Masjidil Haram dia menjadi imam, khatib, dan pengajar. Juga, menjadi Mufti mazhab As-Syafi’iyah di Masjidil Haram.

Agendanya di Masjidil Haram sangat padat, dari pagi sampai malam. Di Masjidil Haram, antara lain, dia biasa menyampaikan ceramah antara maghrib sampai isya’. Setelah isya’ dia akan pulang ke rumahnya, lalu makan malam dan berbincang dengan keluarganya. Dia kemudian segera tidur dan bangun pada akhir malam. Setelah selesai shalat malam, dia menulis berbagai karya tulis sampai waktu subuh. Lalu, dia ke masjid dan melanjutkan kegiatan hariannya (h.9-10).

Kiprah keulamaan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi sangat besar. Itu, menjadikan dirinya sebagai salah satu figur ulama besar asal Indonesia. Dia gabungkan kedalaman ilmu, amal yang banyak, kesungguhan dalam menyelenggarakan pendidikan, keluasan dakwah, dan gelora semangat islah (h.x).

Seni Mendidik

Dalam hal cara mendidik, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi masyhur dengan kelapangan dada dan cara dialognya bersama para muridnya. Dia tidak suka dengan para murid yang diam saat menyimak kajiannya. Dia meminta mereka agar menyampaikan pandangannya secara terbuka dalam beberapa masalah dan berdiskusi dengannya dengan penuh keleluasaan. Ini, agar kebenaran bisa tersingkap jelas dan para muridnya yakin dengan apa yang disampaikannya (h.9).

Murid-murid Ahmad Khatib Al-Minangkabawi sangat banyak yang sukses. Di antaranya, mereka menjadi ulama dan pejuang dakwah di Indonesia. Buku ini mencatat 29 nama yang menonjol (h.20-21). Selain yang telah disebut di atas, berikut ini sebagian yang lain:

  1. Thahir Jalaluddin, ulama ahli falak yang sangat terkenal.
  2. Ibrahim Musa Parabek, salah satu pendiri Sumatera Thawalib.
  3. Muhammad Thaib Umar, perintis inovasi pendidikan agama di Sumatera Barat.
  4. Zainudin El-Yunusi, ulama reformis dari Minangkabau.
  5. Abdul Wahab Hasbullah, salah satu pendiri NU.
  6. Mas Mansur, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1937-1942.

 

Penulis Andal

Karya tulis Ahmad Khatib Al-Minangkabawi hampir 50 judul. Di antaranya, An-Nafahaa Hasyiah Al-Waroqaat. Buku ini, dicetak kali pertama tahun 1306 H. Ada lagi, Fataawaa Al-Khatiib.

Ada juga buku ke-47, Al-Qaul At-Tauhiif fi Tarjamah Ahmad Khatib ibn Abdillatiif. Buku ini, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menulisnya secara khusus untuk anak-anaknya di akhir hayatnya dan merupakan karya tulisnya yang terakhir. Di dalamnya dia mengisahkan sebagian perjalanan hidupnya, keluarganya, serta menyampaikan wasiat dan petuah pribadinya (h.21-24).

Pendidikan Berkah

Bagi Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, tidak ada aktivitas yang lebih utama dibanding menyibukkan diri dengan menuntut ilmu dan mengajarkannya. Dia sangat terinspirasi oleh HR Bukhari-Muslim ini: ”Sungguh, bila seorang diberi hidayah lewat perantaraan dirimu maka itu lebih baik bagimu dari unta merah (yang merupakan harta termahal bangsa Arab)”.

Bila gambaran di atas adalah pahala perantara hidayah untuk satu orang saja, maka kira-kira bagaimana besarnya pahala orang yang menghabiskan seluruh umurnya dengan menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain? Demikian, jalan berpikir Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (h.30).

Misi utama manusia di dunia ini adalah: 1).Hidup tenang, 2).Bahagia. 3).Beramal untuk kehidupan akhirat. Hanya saja, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi tidak mendapatkan ketiga hal itu terkumpul kecuali dalam pelaksanaan ketaatan secara konsisten, shalat berjamaah, dan menyibukkan diri dengan ilmu yaitu dengan cara belajar ataupun mengajarkannya (h.30).

Apabila kita telah mengetahui keutamaan ilmu, keutamaan ulama, serta beramal dengan ilmu. Juga, sudah mengetahui kebinasaan seorang ulama yang tak beramal sebagai konsekuensi dari ilmunya. Terkait, wajib bagi kita untuk mempelajari ilmu sekaligus mengamalkannya. Hal ini, berdasar HR Ibnu Majah, ”Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim” (h.30).

Pelajaran yang mesti dijadikan prioritas adalah: 1).Ilmu aqidah. 2).Ilmu fiqih. 3).Ilmu tasawuf atau tazkiyatun nafs. Ilmu yang disebut terakhir ini, untuk menyucikan hati dari sifat-sifat buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji. Ketiga ilmu inilah yang wajib bagi setiap Muslim mukalaf untuk dipelajari dan diamalkan (h.31).

Saat menuntut ilmu, bila kita sulit memahami satu masalah, maka hendaknya kita harus berusaha secara kuat untuk terus fokus mempelajarinya agar menguasai masalah itu selama dua hari atau tiga hari tanpa henti. Itu, dilakukan sampai kita benar-benar menguasainya. Begitulah yang Ahmad Khatib Al-Minangkabawi kerjakan di setiap mendapatkan masalah yang sulit dia pahami. Terkait, dia ingat dengan apa yang pernah disampaikan seorang penyair: Sungguh aku akan membuat yang sulit terasa mudah// sampai aku meraih cita-citaku// ini, karena cita-cita tinggi itu tidak akan dicapai// kecuali oleh orang yang sabar// (h.31-32).

Spirit Menulis

Bahasan di h.151-154, terbilang spesial. Di bawah judul Seputar Tulisan dan Karya Tulis, Ahmad Khatib Al-Minangkabwi memberikan rambu-rambu agar tulisan kita berkah dan menarik. Mari ikuti.

Pertama, orang yang hendak menyusun karya tulis dalam suatu bidang ilmu tertentu sangat baik memulai dengan penjelasan makna basmalah meskipun secara singkat berdasarkan kesesuaiannya dengan bidang ilmu yang kita bahas. Ini, karena hak basmalah adalah tidak ditinggalkan begitu saja dan hak bidang ilmu tersebut adalah dijelaskan padanya makna basmalah dari sisi bahasan yang sesuai dengannya. Tujuannya, agar berkah basmalah menyelimuti bidang ilmu yang dibahas (h.151).

Kedua, para ulama atau penulis boleh menyanjung buku mereka sendiri. Maksudnya, tidak lain hanyalah sebagai motivasi bagi para pembaca (penuntut ilmu) untuk memahami berbagai faedah ilmu di dalamnya. Caranya, dengan mengisyaratkan betapa pentingnya ilmu tersebut. Cara seperti ini merupakan hal yang kadang penting dilakukan oleh setiap penulis. Terkait, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi lalu mengutip Al-Allamah Al-Bajuri yang berkata: “Pujian seseorang terhadap bukunya sendiri dianggap sebagai bagian membicarakan adanya nikmat Allah atas dirinya dan sebagai motivasi bagi orang yang mau menelaahnya” (h.151-152).

Ketiga, ucapan para ulama atau penulis, “Bahasan saya ini merupakan hasil kreatif pikiran saya sendiri” atau “Bahasan ini jarang Anda dapatkan di buku lain” sama sekali bukanlah bentuk meninggikan diri dan mengagungkannya. Ini, bagian dari membicarakan karunia Allah pada dirinya atau bagian dari motivasi terhadap pembaca agar fokus memperhatikan materi yang sedang dibahas. Siapa yang memahami ucapan tersebut sebagai bentuk kesombongan ulama atau penulis, mereka telah berburuk sangka atau tak paham dengan retorika penulisan (h.152).

Keempat, ucapan seseorang merupakan cerminan kadar akal pikirannya. Adapun karya tulisnya merupakan tolok ukur pemahamannya (h.152).

Kelima, jangan sampai salah menulis. Jika sampai terjadi, kesalahan penulis itu harus diingatkan dan dibetulkan oleh orang yang sezaman dengannya. Jika itu tidak dilakukan, mungkin saja kesalahan itu akan terus tersebar sehingga orang-orang akan tergelincir mengikutinya, kecuali bila Allah menakdirkan ada orang yang menjelaskan kesalahan itu. Sungguh, kesalahan ini bila disengaja pasti menjadi sumber bencana besar bagi penulisnya. Hal ini berdasarkan HR Muslim, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa mencontohkan sunnah yang baik di dalam Islam maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dari pahala-pahala mereka. Barang siapa yang mencontohkan sunnah yang buruk di dalam Islam maka baginya dosa dan dosa yang mengerjakan sunnah yang buruk tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa pelakunya sedikitpun” (h.153).

Keenam, penulis harus meneliti terlebih dahulu dalil yang akan disebutkan. Hal ini, karena ketergesa-gesaan dalam hal itu akan menjerumuskan pada rasa malu. Lalu, tinggalkanlah sikap keras dan penentangan terhadap kebenaran agar tidak menampakkan aib dan cela kita di mata manusia, serta tegakkanlah tulisan kita di atas asas yang paling sahih karena orang yang lebih berilmu pasti akan menelaahnya (h.154).

Ketujuh, boleh menyebut-nyebut nama guru di karya tulis kita. Menyebut-nyebut nama guru serta rekomendasi para ulama terhadap karya tulis kita, hal ini sudah menjadi kebiasaan para ulama dalam karya mereka.Tentang ini, bukan bertujuan untuk memamerkan diri atau meremehkan orang lain tapi bertujuan untuk membicarakan adanya karunia Allah atas dirinya (h.154).

Sebuah Catatan

Buku yang berisi kisah hidup dan nasihat dari ulama yang wafat pada 13 Maret 1916 di Mekkah ini, menarik. Materinya, dapat dinikmati semua lapisan sosial dan usia. Muatannya, menggerakkan.

Sayang, tak ada Daftar Pustaka di dalamnya. Padahal, di banyak halaman, didapat berbagai catatan kaki yang berharga. Tampaknya, ini sekadar persoalan teknis saja. Hal lain, untuk cetakan berikutnya, sangat dianjurkan untuk melengkapi buku ini dengan indeks. Keberadaan indeks, akan sangat membantu pembaca pada umumnya dan peneliti pada khususnya.

Buku ini punya banyak manfaat bagi umat Islam pada umumnya. Sementara, secara khusus, para penulis mendapat banyak pencerahan terkait aktivitas tulis-menulis. Juga, para pendidik banyak mendapat panduan berkenaan dengan dunia yang bisa menguatkan peradaban itu.

Sungguh, buku ini sangat bagus dan kita perlukan. Buku ini turut menjawab kebutuhan kita atas tersedianya buku-buku yang berisi kisah hidup dari orang yang dapat kita teladani. Buku ini, bisa tergolong sebagai bagian dari usaha merespons amanah dari QS Yusuf [12]: 111. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *