Oleh M. Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Dua kata itu –ulama dan jihad- sekali-kali jangan pernah ditanggalkan dari memori kita. Sebab, -antara lain- usaha meraih dan memertahankan kemerderkaan negeri ini lekat dengan peran ulama yang termotivasi oleh spirit jihad.
Peran Ulama
Kehadiran Islam di negeri ini adalah anugerah Allah yang terbesar. Untuk itu kita harus banyak bersyukur antara lain karena berdasarkan sejarah, terwujudnya kemerdekaan negeri ini tak akan bisa dilepaskan dari peran umat Islam dan terutama para ulamanya. Mereka berjuang di atas spirit jihad. Sekadar menyebut contoh, ada Pattimura di Maluku, Diponegoro di Jawa, Imam Bonjol di Sumatera Barat, Sisingamangaraja XII di Sumatera Utara, dan Teuku Umar di Aceh.
Dulu, saat berjuang, mereka bergerak tanpa pamrih. Mereka berkorban tanpa berpikir imbalan. Sayang, kini terasa ada pihak yang (pura-pura?) tak tahu bahwa kemerdekaan Indonesia mendapat kontribusi sangat besar dari umat Islam terutama dari kalangan ulama yang gigih berjuang di atas landasan niat berjihad. Maka, kepada mereka yang (pura-pura?) lupa itu, patut untuk terus diingat-ingatkan ajaran mulia ini: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” (QS Ibrahim [14]: 34).
Agar kita tak termasuk si zalim lantaran suka mengingkari nikmat Allah, mari kita kaji tentang peranan ulama dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Maka, tampak nyata bahwa perjuangan menentang penjajah itu tokoh-tokohnya adalah ulama dan santrinya (baca: umat Islam). Lihatlah, misalnya, di saat proklamasi kemerdekaan 17/08/1945. Bung Karno mengakui kontribusi yang sangat besar dari ulama, dengan mengatakan bahwa dirinya “Kalau tanpa dukungan ulama tidak akan berani.”
Fragmen di atas diterangkan sejarawan Prof. Ahmad Mansur Suyanegara di www.eramuslim.com 16/09/2007. Tentu saja, hal tersebut mudah kita mengerti karena kekuatan militer dari umat Islam saat itu luar biasa besar (di samping –tentu saja- semangat jihadnya yang juga tinggi).
Adakah informasi menarik yang lain di soal peran ulama? Pada 18/08/1945, yang merumuskan Pancasila itu tiga orang. “Yakni, KH Wahid Hasyim dari NU, Ki Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah, dan Kasman Singodimedjo juga dari Muhammadiyah. Mereka itulah yang membuat kesimpulan Pancasila itu sebagai ideologi, UUD 1945 sebagai konstitusi. Kalau tidak ada mereka, BPUPKI tidak akan mampu, walaupun diketuai oleh Bung Karno sendiri. Dari situ pula Bung Karno diangkat jadi presiden, dan Bung Hatta sebagai wakil presiden. Jadi negara ini yang memberi kesempatan proklamasi seperti itu adalah ulama,” jelas Ahmad Mansur Suyanegara.
Ulama dan Jihad
Lantas, bagaimana (sebagian) gambaran bahwa jihad mampu menjadi energi yang sangat besar dalam perjuangan meraih dan memertahankan kemerdekaan? Pada 22/10/2005 www.nu.or.id menurunkan tulisan A Khoirul Anam berjudul Resolusi Jihad. Ditulis bahwa pada 21-22/10/1945, wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Di bawah pimpinan langsung Rois Akbar NU Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari dideklarasikanlah perang kemerdekaan sebagai Perang Suci alias jihad. Belakangan deklarasi itu populer dengan sebutan Resolusi Jihad.
“Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya 10 November 1945, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan para pahlawan pribumi yang siap gugur sebagai syahid. Inilah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara. Meski darah para pahlawan berceceran begitu mudahnya dan memerahi sepanjang Kota Surabaya selama tiga minggu, Inggris yang pemenang Perang Dunia II itu akhirnya kalah,” tulis A Khoirul Anam.
Ada hal terkait yang sangat menarik, bahwa sebelum pertempuran 10 November 1945 pecah, Bung Tomo berpidato heroik: “Dan, kita yakin Saudara-Saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar”.
Setelah itu, masih ada rentetan menarik lainnya. NU menyelenggarakan muktamar ke-16 di Purwekorto, 26-29/3/1946. Ada salah satu keputusan yang tergolong penting, yaitu NU mencetuskan kembali Resolusi Jihad dengan mewajibkan tiap-tiap umat Islam untuk bertempur memertahankan kemerdekaan Indonesia.
Saat itu, KH Hasyim Asy’ari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan peserta muktamar untuk disebarkan kepada seluruh warga pesantren dan umat Islam. “Tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan,” seru KH Hasyim Asy’ari kala itu seperti yang dikutip A Khoirul Anam.
Siapa Hendak?
Peran ulama plus umat Islam sangat besar dalam menggerakkan perjuangan meraih dan memertahankan kemerdekaan negeri ini. Gerakan ulama dan seluruh umat Islam itu didasari oleh semangat jihad. Di titik ini, ada keyakinan bahwa Allah akan menolong segenap hamba-Nya yang beriman dan taat ber-amar ma’ruf nahi munkar. Bukankah penjajahan adalah sebentuk kemunkaran yang harus dilawan? Sementara, di dalam Islam ada ajaran mulia ini: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS Ali-‘Imraan [3]: 110).
Maka, mudah kita mengerti jika kemudian secara jujur bangsa ini mengakui bahwa kemerdekaan yang diperolehnya semata-mata karena “berkat rahmat Allah”. Alinea ketiga Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 membuktikannya. Kita baca lagi, bahwa: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Alhasil, berdasarkan kajian ringkas di atas, patutkah jika di hari-hari ini ada yang berusaha melupakan peran ulama terutama di saat ‘pembentukan’ Indonesia dulu? Beralasankah jika di hari-hari ini ada yang mencoba ‘menyusahkan’ ulama dengan berbagai dalih? []