Buah Manis
Bagi Andrea Hirata, penulis termasuk sukses jika mampu menggerakkan pembaca untuk melakukan hal-hal yang luhur setelah membaca bukunya. Karya dia –Laskar Pelangi- bisa menjadi contoh, karena cukup memberi warna pada jagat sastra dan pernovelan di Tanah Air.
Laskar Pelangi berkisah tentang kehidupan sekitar sepuluh anak-anak dalam memerjuangkan sekolahnya. Banyak yang memuji novel memoar tersebut karena jalinan ceritanya yang memikat dan penuh nilai moral. ”Novel tentang dunia anak-anak yang mencuri perhatian,” demikian apresiasi majalah Gatra.
Sementara, pascapeluncuran karya Asma Nadia yang berjudul Catatan Hati Seorang Istri (CHSI), mengalirlah testimoni dari banyak pembaca, bahwa mereka merasa “harus berubah”.
Tema pokok CHSI berkisah tentang luka perempuan akibat ulah sang suami. Tapi, pada saat yang sama, digambarkan pula betapa kuatnya si perempuan dalam mengatasi masalah yang menindihnya. Lewat CHSI, para perempuan/istri dapat mengail inspirasi untuk keluar dari kemelut dengan berbekal kesabaran.
”Saya jadi merenung, memikirkan dalamnya luka perempuan akibat kelakuan suaminya. Saya ingin berubah dan membahagiakan istri saya,” demikian pengakuan seorang suami. Intinya, dia ungkapkan perasaannya yang bertambah cinta kepada sang istri setelah membaca CHSI.
Dalam takaran berbeda, saya punya pengalaman serupa. Pada 3/3/2008, saya menulis artikel di Jawa Pos berjudul “Habiburrahman sebagai Fenomena Penulis Kaya” (HsFPK). Tulisan itu berintikan bahwa menjadi penulis dapat menjadikan seseorang ‘kaya’ dan kaya. Pertama, penulis pasti ‘kaya’, sebab profesi itu mengharuskan seseorang banyak membaca. Tanpa membaca (nyaris) mustahil penulis dapat berkarya dengan baik. Dengan banyak membaca, bisa dipastikan ilmu seorang penulis lebih kaya ketimbang yang bukan penulis. Kedua, penulis berkemungkinan kaya secara materi dari honorarium artikel atau royalti buku yang ditulisnya. Lihat, Habiburrahman El-Shirazy dengan Ayat-ayat Cinta-nya. Kurang dari empat tahun, dia telah menerima royalti Rp 1,5 M. Fauzil Adhim lewat Kupinang Engkau dengan Hamdalah menerima royalti Rp 15 juta – 25 juta tiap bulan. Asma Nadia menerima rata-rata Rp 10 juta per bulan dari royalti sejumlah buku-bukunya.
Saya lalu menutup artikel itu dengan memberi sugesti bahwa di tengah situasi krisis ekonomi yang belum pulih, pilihan profesi sebagai penulis layak untuk dipertimbangkan, baik sebagai profesi utama ataupun sebagai profesi sampingan.
Maka, mirip yang dialami Asma Nadia, menyusul pemuatan artikel itu saya menerima sejumlah telepon dan SMS. Pagi-pagi, tak lama setelah Jawa Pos edisi itu beredar, seseorang menelepon. Dia bilang, bahwa setelah membaca artikel itu, niatnya untuk menulis yang sudah lama terkubur kini bangkit lagi. Tak cukup sampai di situ, sorenya dia menelepon lagi. Sebagai ekspresi rasa syukur, dia mengajak saya dan keluarga untuk menonton film Ayat-ayat Cinta bersama keluarga dia.
Apresiasi tak hanya datang dari ‘calon penulis’, tapi juga dari sejumlah penulis. Ada SMS dari seorang penulis yang telah bertahun-tahun ‘pensiun’ tak lagi menulis artikel untuk surat kabar. Dia menulis: “Terima kasih atas motivasi Anda lewat artikel di Jawa Pos hari ini. InsyaAllah saya akan menulis lagi”.
Beberapa hari kemudian, dia mengirim SMS lagi dan mengabarkan bahwa: “Berkat motivasi Anda, saya mulai menulis artikel lagi dan dimuat di harian X, hari ini”. Lalu, SMS senada dikirimkannya lagi ke saya beberapa hari setelah itu, yaitu saat artikel dia yang lain dimuat di harian Y. “Terima kasih,” tulis dia.
Pendek kata, atas artikel HsFPK itu, cukup banyak pembaca yang merasa digerakkan seperti tergambarkan oleh SMS dari seorang penulis (sekaligus editor) berikut ini: “Ajib, tulisan Anda hari ini betul-betul menggairahkan. Good luck.”
Saya juga menulis di Jawa Pos 30/4/2008 berjudul “Bisakah Gizi Buruk Picu Sadar Zakat?” Saya utarakan logika: Maraknya fenomena anak di bawah lima tahun yang menderita gizi buruk berakar pada kemiskinan. Sebagai Muslim di negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang sebagian besar di antaranya tergolong mampu, terpikirkah untuk introspeksi? Bahwa, sangat boleh jadi, praktik berzakat kita selama ini kurang sempurna. Sebab, bukankah semestinya jika kita tertib berzakat akan mengurangi (untuk tak menyebut meniadakan) kemiskinan? Maka, wahai kaum profesional, jangan kalah dengan petani yang berzakat setiap kali panen. Bandingkan dengan gaji bulanan (dan bonus tahunan) serta berbagai rizki tak terduga yang Anda ‘panen’. Tak malukah dengan petani?
Tak lama setelah koran itu terbit, masuk sejumlah SMS yang mengapresiasi artikel tersebut. Salah satunya dari seorang doktor lulusan Inggris yang kini mengajar di ITS, yang menulis: “Terima kasih ‘nasihat’ Anda di Jawa Pos hari ini. Saya menikmatinya.”
Dulu dan Kini
Kapanpun, tulisan memang bisa menggerakkan. Tulisan bisa memberi inspirasi dan energi bagi seseorang (atau bahkan bangsa) untuk berubah. Lihat, dulu, puisi-puisi Taufiq Ismail –pada sekitar 1966- turut menggerakkan aktivis mahasiswa menumbangkan rezim Orde Lama. Lihat, sekarang, buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata berhasil, pertama, ’membangunkan’ orang-orang untuk lebih bersyukur atas karunia yang telah diberikan Allah kepada mereka. Kedua, ’membangunkan’ orang-orang untuk lebih bersemangat mengukir prestasi hidup.
Bagi para penulis, karya (tulisan) yang berkemampuan menggerakkan seperti contoh-contoh di atas itulah yang paling membahagiakannya, jauh di atas kebahagiaan saat mereka menerima honorarium atau royalti. ”Maka, berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan” (QS Al-Baqarah [2]: 148). Sambut ‘panggilan’ ini: “Nun, demi kalam / pena dan apa yang mereka tulis” (QS Al-Qalam [68]: 1).
Ayo, bangunkan dan gerakkan orang-orang itu lewat tulisan kita. Untuk itu, hanya ada satu pilihan: menulislah dan teruslah menulis! []