Oleh M. Anwar Djaelani
Tradisi literasi -membaca dan menulis- menempati posisi terpenting dalam Islam. Tradisi itu memiliki landasan yang kukuh karena berasal dari perintah Allah di dalam Al-Qur’an. Bahkan, kedudukannya menjadi sangat fenomenal karena berupa wahyu pertama Allah kepada Nabi Muhammad SAW. “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS Al-’Alaq [96]: 1-5).
Tamasya Itu
Bahwa Allah “Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam” maksudnya adalah: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis-baca. Dengan demikian, tampak bahwa perintah untuk selalu berkegiatan membaca dan menulis merupakan salah satu ajaran paling mendasar dalam Islam. Maka, tak mengherankan, jika ajaran itu lalu berperan sangat besar mendongkrak kesadaran umat Islam dalam memelajari berbagai ilmu pengetahuan. Implikasinya, umat Islam –lewat para ilmuwannya- bisa ‘melahirkan’ sebegitu banyak buku atau karya tulis lainnya dalam berbagai disiplin ilmu.
Membaca dan menulis adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Misalnya, buku atau bentuk karya tulis lainnya adalah sesuatu yang teramat dibutuhkan sebagai bahan bacaan. Akibatnya, terutama di ‘masa lalu’, aktivitas penulisan buku menjadi sesuatu yang sangat menggairahkan. Ilmuwan rajin menuliskan berbagai hasil penelitiannya. Bidang yang ditulis mereka meliputi semua hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, musik, matematika, logika, geografi, astronomi, kedokteran, sejarah, sosiologi, ilmu politik, dan lain-lainnya. Al-Kindi, Ibnu Sina, Imam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Al-Biruni, Al-Khawarizmi, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Khaldun adalah sekadar untuk menyebut sejumlah nama popular yang telah menghasilkan banyak karya tulis.
Di ‘masa lalu’ para khalifah sadar betul akan posisi vital dari aktivitas membaca dan menulis. Mereka –para khalifah itu- tak ragu untuk memfasilitasi aktivitas membaca dan menulis dengan beragam bentuk apresiasi. Misalnya, dengan membangun perpustakaan-perpustakaan megah yang di dalamnya mengoleksi begitu banyak buku. Kecuali itu, para khalifah memberikan penghargaan berupa gaji yang sangat istimewa kepada para penulis alias ‘penyedia bahan bacaan’.
Tradisi membaca dan menulis patut untuk selalu kita hidup-hidupkan karena bermanfaat luar biasa. Membaca, misalnya, aktivitas itu memungkinkan seseorang untuk bisa menjelajahi dunia dan seisinya. Bahkan, dengan membaca, kita juga bisa ‘bertandang’ sampai ke surga. Lho? Bacalah –misalnya- buku-buku bertema ‘akhirat’. Sekadar contoh, bacalah buku Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang berjudul “Tamasya ke Surga”. Sesuai dengan judul buku itu, saat membaca isinya kita seolah-olah diajak berjalan-jalan, berekreasi ke surga.
Benar, di saat membaca buku itu, kita merasa seolah-olah diajak menyusuri jengkal demi jengkal sebuah ‘wilayah’ di negeri akhirat bernama surga. Di saat-saat itu, seolah-oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah bertindak sebagai tour guide (pemandu wisata) dan kita yang sedang membaca bukunya seolah-olah adalah rombongan turis yang sedang bersenang-senang.
Nasib Kita
Tanggal 8 September oleh UNESCO ditetapkan sebagai Hari Literasi Internasional (International Literacy Day). Itu dilakukan untuk mengingatkan dunia tentang pentingnya budaya literasi (baca-tulis). Bagaimana dengan Indonesia?
Pernah ada catatan, budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Jika demikian halnya, maka bisa dibayangkan seperti apa posisi Indonesia dalam hal budaya menulis dan di peta perbukuan dunia. Tetapi, tak ada kata terlambat untuk memulai mengubah diri, berkelit dari situasi yang tak menguntungkan ini.
Adalah wajar, siapapun yang merasa sedang terpuruk -seperti Indonesia- untuk bisa bangkit sesegera mungkin. Adalah normal, siapapun yang sedang dalam posisi ‘biasa-biasa’ saja, untuk sesegera mungkin melesat meraih kesuksesan.
Indonesia adalah negeri yang perlu energi khusus untuk bisa bangkit secara cepat keluar dari berbagai krisis yang melilitnya, setidaknya sejak paruh kedua 1990-an. Maka, berbagai momentum –antara lain- seperti adanya peringatan Hari Literasi Internasional- bisa kita manfaatkan. Misal, kita galakkan berbagai ‘pembicaraan’ yang mengupas hal-hal yang sekiranya bisa menjadi energi pendorong kebangkitan yang kita angan-angankan bersama itu.
“Ambillah pelajaran dari apapun yang kita lihat,“ demikan pesan Islam. Maka, di titik ini, kita patut belajar dari sejarah. Sebab, lewat sejarah kita bisa belajar dari berbagai umat / bangsa terdahulu yang telah silih berganti mengalami dialektika jatuh-bangun atau terpuruk-bangkit.
Dari sejarah kita tahu, bahwa jika suatu kaum / bangsa memilih sebab-sebab keterpurukan, maka tinggal tunggu waktu untuk jatuh. Tapi, sebaliknya, jika umat / bangsa itu memilih sebab-sebab untuk bangkit dan sukses, maka masa emas itu sudah dekat.
Membaca adalah perintah Allah. Dengan demikian, membaca harus menjadi kebiasaan kita sehari-hari. Terlebih lagi, telah kita ketahui bersama bahwa membaca itu memberi rangsangan paling kompleks bagi otak. Maka, akan sangat rugi jika hidup kita berlalu tanpa menyukai aktivitas membaca.
Syarat Sempurna
Sebuah kaum / bangsa bisa tumbuh-kembang berkualitas hanya jika telah memiliki budaya literasi (membaca dan menulis). Bahkan, sejatinya, sejarah emas yang terukir di berbagai belahan dunia adalah produk dari budaya baca-tulis. Sejarah Islam adalah contoh. Berbekal budaya baca-tulis, bangsa Arab bukan hanya mampu keluar dari alam jahiliyah, tetapi bahkan lalu memimpin peradaban dunia setidaknya di tujuh abad pertama sejak Risalah Islam disampaikan Nabi Muhammad SAW.
Perubahan drastis –dari jahiliyah menjadi beradab- itu mudah kita mengerti. Itu terjadi karena umat Islam mengamalkan secara benar perintah membaca dan menulis. Bahwa membaca itu bukan semata-mata aktivitas membaca teks-teks tertulis saja, melainkan juga teks-teks yang tak tertulis seperti tentang kejadian dan peran manusia, tentang berbagai fenomena di tengah masyarakat, dan lain-lainnya. Pendek kata, di samping bahan yang tertulis, bacalah juga teks-teks tak tertulis yang meliputi segenap kejadian di semesta alam raya ini.
Sejarah mencatat kontribusi besar para ilmuwan Muslim dalam memberikan pencerahan bagi peradaban dunia. Mereka –para ilmuwan Muslim- itu bekerja berdasar spirit membaca dan menulis. Kecuali membaca Al-Qur’an (dan Al-Hadits), pada saat yang sama mereka ‘membaca’ alam semesta. Dari aktifitas yang saling terkait itu, lahirlah berbagai ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat dan lalu pada saat yang sama ilmu-ilmu itu dibukukan.
Lihatlah sedikit catatan ini. Adalah Al-Hasan Ibnu Haytam yang lahir pada 965 M. Dia ahli matematika dan fisika. Kaca-mata serta lensa microscope dan telescope termasuk di antara karya-karyanya.Salah satu bukunya tentang optics, menjadi pedoman sarjana-sarjana Eropa seperti –antara lain- Roger Bacon dan John Kepler.
Lihat Ibnu Sina (980-1037 M). Dia menulis Al-Qonun fit-Thib (Canon of Medicine), yang lalu diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa dan selama empat abad menjadi text book utama mahasiswa kedokteran waktu itu. Maka, Ibnu Sina-pun berjuluk “Father of Doctors”.
Sementara, di masa kini, Jepang adalah contoh terbaik. Tanpa budaya membaca dan menulis yang kuat, Jepang tak akan pernah bangkit menjadi bangsa yang unggul, terutama setelah “luluh lantak” akibat kalah pada Perang Dunia II.
Rawat Terus
Idealnya, harus berjalan bersamaan antara mantapnya iman dan berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai buah dari aktivitas membaca. Tapi, contoh-contoh berikut ini semoga bisa memberi hikmah kepada kita.
Lihat, ketika Newton menemukam dan lalu menulis teori grafitasi setelah ‘membaca’ apel yang jatuh menimpa dirinya. Juga, Archimedes yang menemukan dan lantas menulis cara menghitung volume benda tak beraturan setelah dia “membaca” fenomena alam. Ketika itu, Archimedes mandi di bath tub. Air penuh yang ada sebelumnya, tumpah kala dia mencemplungkan dirinya. Tentu saja, volume air yang tumpah itu bisa diukur lewat gelas pengukur sebagai volume benda yang tak beraturan (yang dalam contoh ini, benda tak beraturan itu adalah tubuh Archimedes sendiri).
Itulah contoh asal-muasal penemuan atau penulisan suatu ilmu sebagai hasil dari ‘membaca’. Semestinya, setelah itu mereka –para ‘pembaca alam’ itu- bisa beriman kepada Dzat yang Menciptakan ‘hukum alam’ tersebut. Tapi, memang, terpaterinya iman pada seseorang semata-mata karena Kehendak Allah. Subhanallah!
Alhasil, mari rawat terus iman kita. Jadikanlah aktivitas membaca dan menulis sebagai keseharian kita. InsyaAllah, dengan istiqomah menjalankan tradisi literasi -membaca dan menulis-, kita bisa bangkit dan maju. []