Pria kelahiran 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair ini, memulai karier pendidikannya pada sekolah dasar di desa asalnya, kemudian melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran. Dari tahun 1950 hingga 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljazair. Selain menjadi mahasiswa, Arkoun juga telah mengawali karirnya dengan mengajar di sekolah lanjutan atas di Al-Harrach, daerah pinggiran ibu kota Al-Jazair. Kemudian, di tengah berkecamuknya perang pembebasan Aljazair (1954-1962), ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Universitas Sorbonne Paris Prancis. Sejak saat itulah ia menetap di Prancis dan menjadi dosen di sana selama kurang lebih 29 tahun (1961-1990). Di universitas inilah, Arkoun memperoleh gelar Philosophy Doctoral di bidang sastra pada tahun 1969 dengan disertasi mengenai humanisme dalam pemikiran etika Ibn Miskawaih, seorang pemikir Arab abad ke-10 yang menekuni bidang kedokteran dan filsafat. Judul disertasinya adalah Contribution A L’etude De L’humanisme Arabe Au IV / X Siecle Miskawaih.
Pemikiran dan karya-karya Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis, sebagaimana ditegaskan oleh Luthfi Asysyaukani, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal Pemikiran Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998., hal. 62-63. Referensi utamanya adalah De Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi)., filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan Pierre Bourdieu, sebagaimana disampaikan oleh Johan Hendrik Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993 hal. 12-13.
Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme. (Cecep Romli dan Bihar Anwar, Cara Membaca Al-Qur’an Mohammed Arkoun, www.islib.com 9 Juli 2002).
Hal itulah yang yang menyebabkan ia banyak dikritik oleh para pengkaji Islam dan bahkan dicap sebagai penganut Islam liberal. Arkoun nampak sangat terpengaruh dengan kebudayaan Kristen dan wacana keilmuan Barat. Hal itu dapat dilihat dari pengaplikasian metodologi-metodologi ala Barat dan sikapnya yang selalu menyamakan apa yang terjadi pada pemikiran Islam dengan apa yang berlaku di Kristen. Seperti usahanya dalam mendekonstruksi Al-Qur’an yang mengambil pengalaman Kristen dengan Bibel mereka. Jika Bibel bisa didekonstruksi dengan menundukkannya pada disiplin ilmu yang ada saat ini, kenapa Al-Qur’an tidak bisa. Bagi Arkoun, jika ada sebuah metode berkembang di Barat, dia tidak akan merasa puas terhadap keabsahan metode tersebut hingga metode itu bisa di aplikasikan pada warisan Islam.
Dampak dari metodologi yang ia terapkan justru banyak melahirkan kerancuan terhadap konsep-konsep Islam. Tidak hanya sampai di situ, ia juga banyak mencela kajian-kajian para ulama terdahulu yang dianggapnya sudah tidak relevan. Dalam bukunya, Rethinking Islam : Common questions, Uncommon answers, today, (Boulder: Westview Press, 1994), Arkoun berkata:
“Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak relevan… Yang saya katakan adalah bahwa pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqaha’ untuk menafsirkan al-Qur’an tidak relevan. Sebab, sekarang ilmu baru seperti antropologi, tidak mereka kuasai. Kita juga memiliki linguistik baru, metode sejarah, biologi—semuanya tidak mereka kuasai. Dengan epistema yang sama, yakni berdasarkan karakter teksnya, al-Qur’an yang berbahasa Arab, dianggap mempunyai persamaan dengan teks-teks sastra, atau kitab suci lainnya.”
Dari sinilah Arkoun menurunkan metode tafsirnya: “Keinginan kami adalah membuat mungkin suatu penanganan yang solider terhadap kitab-kitab suci oleh orang-orang “ahlu kitab”. Untuk itu, kami mengajak pembaca untuk membaca al-Qur’an menurut aturan-aturan suatu metode yang dapat diterapkan pada semua teks doktrinal besar.” Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan hermeneutika Al-Qur’an, yang mendapat banyak kritik pedas dari para peneliti INSISTS sebagaimana mereka tuangkan dalam Jurnal ISLAMIA-nya edisi perdana tahun 2002.
Pemikiran Arkoun ini banyak mempengaruhi para sarjana muslim di dunia, termasuk di Indonesia. Buku-bukunya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Salah satu buku Arkoun yang menjadi buku pegangan wajib para mahasiswa atau rujukan primer kalangan akademisi IAIN/UIN program Studi Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin dalam menginterpretasi Al-Qur’an, yaitu Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers. Arkoun, dalam buku ini menyayangkan jika sarjana Muslim tidak mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen.
Arkoun juga pernah hadir di Jakarta menjadi pembicara dalam seminar “Konsep Islam dan Modern tentang Pemerintahan dan Demokrasi” pada tahun 2000 (Senin, 10/4). Kehadirannya atas undangan Yayasan 2020 yang bekerja sama dengan Goethe Institute, Friedrich Naumann Stiftung, British Council, dan Departemen Agama. Ramainya peserta yang hadir dalam seminar tersebut menjadi bukti besarnya pengaruh Arkoun ini di Indonesia.(mm)