Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Era disrupsi (revolusi industri 4.0) mendorong lembaga sekolah untuk melakukan digitalisasi pendidikan. Sekolah dituntut untuk mengubah sistem, bahkan paradigma pendidikannya. Disebabkan oleh semua yang serba digital. Bisa dibilang mengikuti arus disrupsi berarti melakukan revolusi total.
Basis pendidikannya cenderung kepada personalisasi. Self-learning, humanis, dan berdaya analitis-kritis. Targetnya, memenuhi kebutuhan idustri masa depan yang serba digital.
Berubah atau punah. Itulah pilihan yang diberikan oleh revolusi industry 4.0 terhadap pendidikan. Jika berubah, berarti melakukan revolusi. Jika tidak ikut arus, akan punah. Bahkan, bisa jadi nanti sekolah atau kampus menjadi sepi. Karena pelajar bisa self-learning.
Persoalannya bagaimana dengan pendidikan akhlak, agama, character building (pembentukan karakter) siswa? Bisakah itu didigitalisasi dan self-learning?
Padahal, tiga subjek pendidikan ini adalah tujuan besar dan dasar pendidikan anak hingga dewasa (tingkat SD dan SMP).
Dalam UU No. 30 tahun 2003 tentang Sisdiknas ditulis: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Melahirkan manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Itulah tujuan utama pendidikan Nasional. Bukan membentuk karyawan dan pekerja untuk memenuhi target digitalisasi industri.
Digitalisasi bila tidak ditata dengan betul akan melahirkan manusia “robot”. Loss of adab, loss of character.
Dan persoalan akhlak, adab, character building, dan pendidikan agama tidak bisa dan tidak mampu dijalankan menuruti era disrupsi.
Pintar Tanpa Adab?
Berkembangnya sains dan teknologi merupakan satu tanda kemajuan. Namun bukan satu-satunya. Bahkan kemajuan teknologi yang disertai kemerosotan akhlak adalah kemunduran peradaban dalam skala yang lebih mengerikan.
Perilaku korup, khianat, penipuan, keserakahan, nepotisme dan lain-lain malah mendapatkan amunisinya melalui teknologi tinggi dan kemajuan sains. Sains dan teknologi maju di tangan manusia yang hilang budi pekertinya, bagaikan memberi senjata pemusnah masal kepada orang jahat, sehingga kejahatannya menjadi-jadi (Usep Muhammad Ishaq, Menjadi Saintis Muslim, hal. 7).
Pintar saja tidak cukup, tapi harus beradab. Alangkah lebih baik jika pelajar Islam pintar dalam sains dan teknologi sekaligus memiliki akhlak yang mulia. Inilah yang disebut kesuksesan yang sesungguhnya.
Kerusakan dalam bidang ilmu bisa disebabkan beberapa hal. Antara lain; mempelajari ilmu tanpa guru, atau ada guru tapi keliru. Benda digital tidak bisa mengoreksi mana salah mana benar.
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim menjelaskan salah satu adab seorang pelajar adalah jangan sekali-kali mengambil ilmu dari buku tanpa guru. Sebab, lembaran kertas tidak bisa membimbing. Sementara guru akan membimbing jika bacaan pelajar yang keliru.
Sepintar apapun dan seluas apapun pengetahuan seseorang bila tidak memiliki sanad guru, maka dalam Islam keilmuannya tidak sah. Serta tidak pantas diangkat sebagai seorang guru alim.
Bahkan Ibnu Mubarok meriwayatkan, sanad adalah bagian dari agama, seandainya tanpa Isnad seseorang bisa berkata sekehendak hati’. (Muslim, Shahih Muslim, 1/87).
Sedangkan Imam Malik berkata: Jangan mengambil ilmu dari orang ahli bid’ah, serta janganlah menukilnya dari orang yang tak diketahui darimana ia mendapatkannya, dan tidak pula dari siapapun yang dalam perkataannya.
Sanad ilmu menunjukkan pentingnya otoritas dalam ilmu agama. Lebih-lebih Muslim yang masih awam yang tidak memiliki kemampuang menggali dan meneliti suatu persoalan dalam ilmu agama, wajib memiliki guru yang membimbingnya.
Syekh Zarnunji dalam Ta’lim Muta’allim menjelaskan, seseorang jangan sembarangan memilih guru. Dalam memilih guru sebaiknya guru yang lebih pandai, wira’i, lebih tua, Ilmu dapat diperoleh dengan enam hal, yaitu: cerdas, tekun, sabar, punya biaya, memperoleh petunjuk guru, dan waktu yang lama.
Pesantren
Dalam pandangan Islam, pendidikan karakter adalah pendidikan berakhlak dan beradab. Proses mendidik anak harus memiliki empat proses, yaitu; konsisten (istiqamah), terpecaya (amanah) dan kontinyu (bi al-tikrar).
Pendidikan adab saat ini sudah saatnya diberi prioritas utama. Masalah yang mendasar yang dihadapi umat modern saat ini bukanlah, mundurnya sains dan teknologi, namun hilangnya adab.
Ada satu hal yang patut dilakukan pelajar Muslim untuk membina akhlak adalah tazkiyatu nafs. Pembersihan hati dalam praktik pendidikan agama Islam sebenarnya telah menjadi metode.
Ingatlah kisah imam Syafi’i ketika meminta petunjuk kepada gurunya tentang kesulitan dalam menghafal suatu subjek ilmu. Guru tersebut bukan mentraining tetapi menasihati agar membersihkan hatinya.
Jika demikian halnya, maka masa depan pendidikan (khususnya pendidikan Islam) di era disrupsi adalah pendidikan yang berasrama (boarding). Pendidikan berasrama di Nusantara ini sudah ratusan tahun umurnya, yaitu berupa pesantren. Di saat kampus sepi, sekolah menghadapi ancaman kepunahan, maka sekolah pesantren pasti tetap eksis.
Sekolah berbasis pesantren merupakan lembaga yang paling cocok dan pas dalam character building dan pendidikan adab. Sistem seperti pesantren di dunia Islam dahulunnya bernama ribath.
Dalam perkembangannya, ribath semula diramaikan oleh kaum sufi. Makanya ribath dulu dikenal sebagai sekolah sufi. Mereka ingin ‘berteduh’ dari derasnya hiruk-pikuk dunia. Uzlah memperbaiki jiwa, untuk kemudian bangkit melahirkan generasi hebat, unggul dan berjiwa pejuang.
Nuruddin Zanki pada perang salib membangun puluhan ribath di kota Harran Suriah dan menyerahkannya kepada Syekh As’ad bin al-Manja (w/1221M), dan Syekh Hamid bin Mahmud (w.1174M), guru sufi murid Syekh Abdul Qadir al-Jailani (Majid Irsan Kilani, Hakadza Dzahara Jil al Ayyibi, hal. 253).
Shalahuddin al-Ayyubi akan membebaskan Mesir, ia membangun ratusan ribath dahulu yang berbasiskan madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah. Seakan, sebelum melakukan penaklukan fisik, al-Ayyubi mengepung dahulu Mesir dengan ribath-ribath.
Sekolah pesantren telah memiliki dasar historis yang kuat. Ia sudah eksis sebelum berdiri sekolah modern. Juga sudah terbukti melahirkan generasi unggul di Nusantara. Penulis adalah Sekretari Program Doktor (S-3) PAI IAI Dalwa Bangil
*Tulisan dimuat di majalah Hidayatullah edisi Juli 2019