Oleh M. Anwar Djaelani, peminat masalah sosial-keagamaan
Santri di halaman Masjid Jami’ Al-Amien (https://suaraislam.id/)
inpasonline.com – Dari mana judul tulisan ini? Dari kalimat ini: ”Setiap organisasi tidak dapat dipisahkan dari pendirinya” (Hambali, 2013: 1). Bagaimana penjelasannya?
Pesantren Al-Amien Sumenep adalah organisasi dakwah. Oleh karena itu, menjadi sangat penting mencermati apa yang menjadi visi dari pendirinya. Dari ”mimpi” sang pendiri-lah kita bisa lebih memahami performa dan arah Pesantren Al-Amien.
Kesaksian Berharga
Di Pesantren Al-Amien Sumenep. Bersama keluarga besar. Ibu, di tengah (busana hijau, 82 tahun), 29 Januari 2025.
Siapa pendiri Pesantren Al-Amien, salah satu lembaga kepesantrenan terbaik di Jawa Timur itu? Pendirinya adalah KH Achmad Djauhari Chotib. Beliau ulama besar dan tokoh Masyumi.
Pesantren Al-Amien berdiri pada 10 November 1952 di Desa Prenduan, Sumenep, Madura. Sebagai pendiri, KH Achmad Djauhari Chotib punya wasiat menarik sekaligus penting.
Berikut ini kesaksian Nyai Anisah Zarkasyi. Bahwa, KH Ahmad Djauhari Chotib (pendiri Al-Amien) berwasiat kepada putra-putranya dan juga pada masyarakat setempat: ”Buat pesantren (Al-Amien) ini ala Gontor” (https://al-amien.ac.id/esensi-bersyukur-adalah-membuktikan/).
Siapa Nyai Anisah Zarkasyi? Dia putri dari KH Imam Zarkasyi, pendiri Pesantren Gontor. Dia istri dari KH Tidjani Djauhari, putra KH Achmad Djauhari Chotib.
Sekilas Al-Amien
Berikut ini semacam ringkasan dari situs resmi Pesantren Al-Amien yang diakses pada 02/02/2025. Bahwa, Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah (TMI) adalah lembaga pendidikan tingkat menengah paling awal di Pesantren Al-Amien. TMI dirintis dan diasuh oleh KH Ahmad Djauhari Chotib sejak pertengahan 1959 sampai beliau wafat pada Juli 1970 dan populer disebut Pondok Tegal.
Rintisan awal ini lalu dilanjutkan oleh putra-putra dan santri-santrinya. Langkah-langkahnya, seperti: Pertama, membuka lokasi baru seluas kurang-lebih 6 Ha yang merupakan amal jariyah dari santri-santri KH Ahmad Djauhari Chotib. Letaknya 2 Km di sebelah barat lokasi lama. Kedua, membentuk “tim kecil” beranggotakan tiga orang (yaitu KH Tidjani Djauhari, KH Muhammad Idris Djauhari, dan KH Jamaluddin Kafie). Tugasnya, menyusun kurikulum TMI yang lebih representatif. Ketiga, mengadakan studi banding ke Pondok Modern Gontor dan pesantren-pesantren besar lainnya di Jawa Timur. Ini, sekaligus memohon doa restu kepada kiai-kiai sepuh pada saat itu khususnya KH Ahmad Sahal dan KH Imam Zarkasyi (keduanya pendiri Gontor), untuk memulai usaha pengembangan TMI dengan sistim dan paradigma baru.
Pada Jum’at 10 Syawal 1391 / 3 Desember 1971, TMI (khusus putra) dengan sistim dan bentuknya seperti yang sekarang resmi didirikan oleh KH Idris Jauhari. Tempatnya, di bangunan darurat milik penduduk sekitar lokasi baru. Selanjutnya, 3 Desember 1971 ditetapkan sebagai tanggal berdirinya TMI Al-Amien Sumenep.
Adapun TMI khusus putri atau yang lebih dikenal dengan nama Tarbiyatul Mu’allimaat al-Islamiyah (TMaI) dibuka resmi 14 tahun kemudian oleh Nyai Anisah Zarkasyi. Itu, pada 10 Syawal 1405 / 19 Juni 1985.
Visi dan Misi
Visi Pesantren Al-Amien semata-mata untuk ibadah kepada Allah dan mengharap ridho-Nya. Ini tecermin pada sikap tawadlu’, tunduk, dan patuh kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Caranya, mengimplementasikan fungsi Khalifah Allah di muka bumi. Ini tecermin dalam sikap proaktif, inovatif, kreatif dan produktif.
Adapun misi Pesantren Al-Amien adalah mempersiapkan individu-individu yang unggul dan berkualitas menuju terbentuknya umat terbaik yang pernah dikeluarkan untuk manusia (khairo ummah). Sebagai misi khususnya, mempersiapkan kader-kader ulama dan pemimpin umat (mundzirul qoum) yang muttafaqih fid dien; yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan dakwah ilal khair, ‘amar ma’ruf nahi munkar dan indzarul qoum.
Jenjang, Masa, dan Pengakuan
Bersama tiga adik dan satu putri (paling kiri), di Ma’had Tahfidz Al-Amien
TMI adalah lembaga pendidikan setingkat Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah (setingkat Sekolah Menengah Pertama / SMP dan Sekolah Menengah Atas / SMA). Di dalamnya, ada dua program pendidikan.
Pertama, program reguler (kelas biasa) untuk tamatan SD/MI dengan masa belajar 6 tahun. Kedua, program intensif untuk tamatan SMP/MTs dengan masa belajar 4 tahun.
Di samping itu, ada program Kelas Persiapan atau Syu’bah Takmiliyah. Ini bagi mereka yang tidak lulus dalam ujian masuk atau tidak memenuhi syarat-syarat minimal untuk duduk di kelas satu TMI. Kelas persiapan ini memiliki dua jenis program: Syu’bah Tamhidiyah bagi tamatan SD/MI dan Syu’bah I’dadiyah bagi tamatan SMP/MTs.
Sejak 1982, ijazah TMI Al-Amien memperoleh pengakuan persamaan (mu’adalah) dengan Sekolah Menengah Atas di sejumlah negara Islam di Timur Tengah. Di antaranya dari Al-Jami’ah al-Islamiyah Madinah al-Munawwaroh, Jami’ah Malik Abdil Aziz (Jami’ah Ummil Quro) Makkah al-Mukarromah, Jami’ah Al-Azhar Cairo, International Islamic University Islamabad, dan Universitas Az-Zaytoun Tunisia.
Peran Santri
Di depan Kantor Organisasi Santri Al-Amien
Hal lain, ada salah satu tradisi kepesantrenan yang kuat di TMI. Bahwa, kehidupan santri sehari-hari di luar jam sekolah formal dikelola oleh para santri sendiri. Falsafahnya adalah “Dari, oleh dan untuk santri”. Pengelolaan ini dilaksanakan melalui organisasi santri, yaitu Ikatan Santri TMI Putra (ISMI) dan Ikatan Santri TMI Putri (ISTAMA).
Organisasi ini memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai pembantu Bapak Kiai dan Ibu Nyai dalam proses pendidikan. Juga, sebagai media latihan berorganisasi serta praktik pendidikan kepemimpinan dan manajemen. Pun, sebagai penyalur aspirasi seluruh santri dan penghuni pondok.
Perguruan Tinggi
Pesantren Al-Amien juga peduli dengan pendidikan tinggi. Pada 1983 didirikanlah Pesantren Tinggil Ilmu Kemasyarakatan (PTIK). Kemudian berubah menjadi Pesantren Tinggi Al-Amien (PTA) yang diresmikan pada 11 September 1983.
Pada 1985 PTA berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA). Pada 1989, terbit Status Terdaftar Program Strata Satu (S1) bagi STIDA Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Agama.
Selanjutnya, STIDA berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Amien pada 16 Mei 1996, dengan membuka dua program studi/jurusan: Bimbingan dan Penyuluhan Islam/BPI (Dakwah) dan Pendidikan Agama Islam/PAI (Tarbiyah). Kemudian, pada 2002 STAI menjadi Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan Sumenep (IDIA). Lalu, pada 12 Desember 2023, IDIA resmi berubah bentuk dari institut menjadi Universitas Al-Amien Prenduan atau yang dikenal dengan UNIA Prenduan.
Sekilas Prestasi
Prestasi santri Al-Amien banyak. Berikut ini sekadar catatan di 2024. Bahwa, ”Santri Ponpes Al-Amien Prenduan Sabet Berbagai Ajang Kejuaraan Bergengsi”. Di antaranya, pada 4-5 Desember 2024 delegasi Tarbiyatul Mu’allimat Al-Islamiyah (TMaI) Al-Amien juara satu Lomba Debat Bahasa Arab tingkat Nasional di IHSAS AROBY Universitas Negeri Islam Malang (UNISMA).
Catatan lain, sebelas santri TMI lolos ke final Olimpiade Bahasa Inggris tingkat SMA Nasional di Kompetisi Indonesia Hebat (KIH). Dua di antaranya, berhasil raih juara Harapan 1 dan Juara Harapan 2.
Asal yang Kental
Pada 1989 Pesantren Al-Amien mulai lebih mendapat sentuhan KH Tidjani Djauhari yang baru pulang dari belajar sekaligus berdakwah di mancanegara terutama di Tanah Suci. Siapa Tidjani?
Sebelumnya, kita kembali kepada kalimat bahwa ”Setiap organisasi tidak dapat dipisahkan dari pendirinya”. Memang, KH Tidjani Djauhari bukan pendiri Pesantren Al-Amien. Beliau putra dari sang pendiri. Hanya saja, kiprah beliau sangat mewarnai tumbuh-kembang Pesantren Al-Amien. Mari ikuti hidup dan perjuangannya.
Tidjani Djauhari lahir pada 23/10/1945 di Prenduan, Sumenep. Dia putera KH Achmad Djauhari Chotib. Dari garis ayahnya, bertemu dengan KH As’ad Syamsul Arifin sebab ulama kharismatik pendiri Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo itu adalah sepupu dari nenek Tidjani. Sementara, dari garis ibunya yaitu Nyai Maryam, Tidjani adalah keturunan Syaikh Abdullah Mandurah yaitu salah satu muthawif di Mekkah asal Sampang yang banyak melayani jamaah haji Indonesia (www.al-amien.ac.id, 30/11/2008).
Tidjani tumbuh-kembang dalam atmosfir pendidikan Islam yang sangat kental. Tahun 1953, Tidjani belajar di Sekolah Rakyat dan Madrasah Ulum Al-Washiliyah. Pada 1958 Tidjani nyantri di Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Darussalam Gontor (untuk selanjutnya-di tulisan ini-akan ditulis Gontor).
Pembelajar Sukses
Di Gontor, kecuali belajar ilmu-ilmu keagamaan, Tidjani juga mendapatkan keterampilan dasar kepemimpinan dan manajemen. Tidjani-pun dikenal sebagai santri yang cerdas dan meraih prestasi akademik tertinggi.
Pada 1964, Tidjani tamat dari KMI Gontor dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Darussalam atau PTD (kini bernama Universitas Darussalam – UNIDA Gontor) sekaligus menjadi guru KMI Gontor. Waktu itu, Tidjani dipercaya sebagai Sekretaris Pondok dan staf Tata Usaha PTD. Posisi itu dia manfaatkan secara maksimal dengan melakukan interaksi secara luas ke berbagai pihak, tak terkecuali dengan salah satu pendiri Gontor yaitu KH Imam Zarkasyi. Kelak, nama yang disebut terakhir itu malah menjadi mertuanya, yaitu saat Tidjani menikahi Anisah Zarkasyi.
Setelah mengabdi setahun di Gontor, pada 1965 Tidjani melanjutkan studi ke Universitas Islam Madinah, di Fakultas Syariah. Pada 1969 Tidjani tamat dengan predikat mumtaz.
Tak puas, pada 1970 Tidjani melanjutkan studi magister di Jamiah Malik Abdul Aziz di Mekkah. Lulus pada 1973. Dia raih predikat mumtaz (cum laude).
Fragmen lain yang menarik adalah saat M. Natsir (ulama, ketua Partai Masyumi, dan mantan Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia periode 1950-1951 datang di Saudi Arabia. Kesempatan itu dimanfaatkan Tidjani untuk berkenalan.
Dalam kunjungan berikutnya, M. Natsir mendengar ada putra Indonesia yang meraih predikat terbaik di Jamiah Malik Abdul Aziz, Mekkah. M. Natsir takjub dan segera mencari informasi siapa putra Indonesia yang dimaksud. Ternyata, adalah Tidjani. Maka, atas prestasi yang dicapainya, pada 1974 M. Natsir merokemendasi Tidjani untuk diterima bekerja di Rabithah Alam Islami.
Karir Tidjani di Rabithah melesat. Beberapa jabatan penting pernah dipegangnya, antara lain: Anggota Bidang Riset (1974-1977), Sekretaris Departemen Konferensi dan Dewan Konstitusi (1977-1979), Direktur Bagian Penelitian Kristenisasi dan Aliran-aliran Modern yang Menyimpang (1979-1981), Direktur Bagian Keagamaan dan Aliran-aliran yang Menyimpang (1983-1987), dan Direktur Bagian Riset dan Studi (1987-1988). Keaktifannya di Rabithah inilah yang mengantarkan Tidjani menjelajahi berbagai negara di Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia.
Gerak Tidjani
Ketika karirnya di Rabithah berada di puncak dan setelah sekitar 23 tahun tinggal di Tanah Suci, Tidjani pulang kampung yaitu pada 1989. Inilah babak baru perjalanan dakwahnya, khususnya di bidang pendidikan. Misinya, menyempurnakan Pesantren Al-Amien Sumenep.
Bersama kedua adiknya yaitu Idris Djauhari dan Maktum Djauhari serta unsur pimpinan yang lain, Tidjani bergerak cepat melakukan penyempurnaan. Hasilnya, antara lain, adalah pembangunan Masjid Jami’ Al-Amien (1989), membuka Ma’had Tahfidzil Qur’an (1991) dan mengembangkan Sekolah Tinggi Agama Islam menjadi Institut Dirosah Islamiyah Al-Amien (IDIA) serta pendirian Pusat Studi Islam (Pusdilam) pada 2003. Dalam waktu 18 tahun (1989-2007), Al-Amien menjelma menjadi pesantren yang berwibawa.
KH Tidjani Djauhari meninggal pada 27/09/2007. Setelah itu, setidaknya telah terbit dua buku yang menghimpun karya-karya tulisnya. Pertama, berjudul “Menebar Islam, Meretas Aral Dakwah”. Di buku itu, Abu Bakar Ba’asyir-pengasuh Pesantren Al-Mu’min Nguki Solo dan teman seangkatan Tidjani di Gontor-memberi kata pengantar.
Kedua, berjudul “Pendidikan untuk Kebangkitan Islam”. Buku ini berisi kumpulan pemikiran Tidjani yang disampaikan di berbagai seminar nasional dan internasional. “Dari berbagai tulisan tersebut, kita bisa membaca betapa membaranya semangat beliau untuk membangkitkan umat Islam dengan berbagai cara. Mulai dari nasyr al-fikrah (penyebaran ide dan pemikiran) dalam berbagai seminar, dakwah fardhiyah, hingga pengkaderan ulama lewat pendidikan,” tulis Prof. Dr. Achmad Satori–Ketua Umum IKADI (Ikatan Dai Indonesia)-di Kata Pengantar buku tersebut.
Warna Jamaluddin
KH Jamaluddin Kafie turut mengembangkan Pesantren Al-Amien. Dia lahir pada 2/11/1948 di Prenduan – Sumenep. Artinya, dia tiga tahun lebih muda dari KH Tidjani Djauhari.
Berikut ini sebagian riwayat pendidikannya: KMI Gontor Ponorogo, IAIN Yogyakarta dan IDMS Yogyakarta. Juga, pernah di ABA Magelang, ADIPNU Nurul Jadid Paiton – Probolinggo, ADPU UNIS Jakarta, dan IAINJ Paiton – Probolinggo.
Dulu, di masa awal pengembangan Pesantren Al-Amien, KH Idris Djauhari memang mengajak sejumlah rekan alumni Gontor untuk membersamainya. Di antaranya adalah Jamaluddin Kafie.
Sejak 1972 hingga 1992, Jamaluddin Kafie turut membersamai perkembangan Al-Amien. Dia berkhidmat sebagai guru TMI. Hal lain, Jamaluddin Kafie merintis berdirinya STID Al-Amien. Selanjutnya, sempat menjadi Dekan STID Al-Amien. Bahkan, pernah menjadi Sekretaris Yayasan / Majelis Kiai Pesantren Al-Amien Prenduan – Sumenep.
Manis di Al-Amien
Ada yang istimewa di Pesantren Al-Amien Sumenep. Di sana, Jamaluddin Kafie bisa dibilang sebagai peletak dasar kegiatan tulis-menulis yang semarak hingga kini. Sementara, dia sendiri dikenal sebagai penulis yang produktif.
Di lingkungan Pesantren Al-Amien Sumenep, Jamaluddin Kafie dikenang sebagai orang pertama yang selalu memotivasi murid-muridnya untuk bergiat di bidang kesusasteraan dan tulis-menulis. Terkait ini, dia konsekwen. Dia memberi teladan. Karya tulisnya banyak.
Koleksi karya tulis Jamaluddin Kafie patut kita acungi jempol. Artikelnya tersebar di berbagai media. Bukunya banyak, baik karya asli sendiri maupun sebagai seorang penerjemah. Semua, ada lebih dari 60 judul. Bukunya, diterbitkan oleh berbagai penerbit. Salah satunya berjudul Psikologi Dakwah.
Tak Terlupakan
Pesantren Al-Amien dikenal memiliki tradisi menulis yang baik. Santri di sana terbiasa menghasilkan tulisan. Dimulai dari jenis artikel, kemudian berlanjut menjadi buku. Temanya banyak hal, seperti pemikiran Islam, fikih, sastra, dan lainnya.
“Ini bermula dari seorang alumnus Gontor bernama Ustadz Jamaluddin Kafie pada tahun 1960-an,” kenang Pimpinan Pesantren Al-Amien Dr. KH Ahmad Fauzi Tidjani.
Jamaluddin Kafie yang terbiasa menerjemahkan artikel dan buku, lalu mengajarkan cara mengalihbahasakan artikel dan buku berbahasa asing ke bahasa Indonesia kepada guru-guru muda di Pesantren Al-Amien. Selanjutnya, ilmu itu juga ditularkan kepada para santri untuk menulis artikel.
Pesantren Al-Amien mendukung tradisi menulis artikel ini. Bentuknya, Program Motivasi Menulis. Formatnya, bisa berupa Festival Menulis. Ada juga, kegiatan Terapi Menulis dan Lomba Menulis.
Adapun lomba menulis yang diikuti santri Pesantren Al-Amien tak hanya di lingkup internal saja, tapi juga di luar pesantren mereka. Tentu, ada catatan tersendiri tentang santri Pesantren Al-Amien sebagai pemenang di berbagai lomba itu. Hal tersebut, lalu berbuah kepada citra bahwa pesantren yang santrinya berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini dikenal membiasakan santrinya untuk menulis.
Sampai di kelas akhir, para santri Pesantren Al-Amien telah menulis artikel yang banyak. Lalu diseleksi sesuai tema yang cocok, untuk diterbitkan menjadi buku.
Tak hanya santri, tapi “Dosen di tempat kami sudah terbiasa menulis artikel ilmiah. Sudah banyak yang diterbitkan menjadi buku atau di jurnal ilmiah,” kata Dr. KH Ahmad Fauzi Tidjani (https://sindikasi.republika.co.id/berita/ruqbxh451/network).
Aktivitas dakwah Jamaluddin Kafie terentang panjang. Tampak padat agendanya. Kegiatan lain yang bisa disebut, misal, ada beberapa penelitian dia yang bertema masalah sosial-kemasyarakatan. Juga, dia aktif menjadi narasumber di berbagai seminar berskala regional dan nasional. Sempat pula memberi pelatihan menulis artikel. Bahkan, di bidang seni dia juga punya aktivitas yang berarti. Dia suka sastra termasuk puisi.
Sampai hari terakhirnya, Jamaluddin Kafie terus menggeluti dakwah. Saat itu tercatat sebagai Ketua Yayasan Kelompok Ad-Dzikir Prenduan – Sumenep.
Demikianlah, sebagian langkah kehidupan KH Jamaludin Kafie telah kita baca. Elok kesannya. Inspiratif kisahnya.
KH Jamaluddin Kafie berpulang ke Rahmatullah pada 5 Agustus 2005. Banyak pihak yang tak akan mudah melupakannya. Misal, pertama, keluaga besar Pesantren Al-Amien. Hal ini, karena berbagai kontribusinya yang tidak kecil. Sekadar menyebut, benih cinta literasi yang dulu ditanamnya terus berbuah manis. Kedua, masyarakat luas. Hal ini, karena banyak karya tulisnya (terutama yang berupa buku), masih akan terus bisa menginspirasi umat untuk waktu yang sangat panjang.
Pena Hebat
Demikianlah, sekilas profil Pesantren Al-Amien Sumenep. Juga, telah kita ikuti sekilas siapa KH Ahmad Chotib Djauhari, KH Tidjani Djauhari, dan KH Jamaluddin Kafie. Tokoh yang disebut pertama adalah pendiri Al-Amien. Sementara, dua tokoh lainnya adalah pengembang dan pembentuk ”wajah” Al-Amien.
KH Ahmad Chotib Djauhari sangat mengingini agar Pesantren Al-Amien seperti Gontor. KH Tidjani Djauhari alumni Gontor, rajin menulis, dan punya karya sejumlah buku. KH Jamaluddin Kafie alumni Gontor, rajin menulis, perintis spirit menulis di Al-Amien, dan punya karya sejumlah buku.
Alhasil, sangat jelas relasi antara Pesantren Al-Amien dengan Pesantren Gontor. Hal ini, antara lain karena ada ucapan KH Imam Zarkasyi yang abadi menginspirasi: ”Andaikata murid saya tinggal satu, akan tetap saya ajar. Hal ini, karena yang satu ini sama dengan seribu. Jika yang satu ini pun tidak ada, saya akan mengajar dunia dengan pena.” Tak hanya berucap, KH Imam Zarkasyi juga punya karya sejumlah buku.
Pupuk Ghirah
Sudah lama saya bersahabat dengan Dr. KH Ahmad Fauzi Tidjani. Beliau, pimpinan dan pengasuh Pesantren Al-Amien Sumenep yang sekarang. Alhamdulillah!
Terkait, pada 29 Januari 2025 saya untuk kali ke-sekian akan berkunjung ke Pesantren Al-Amien. Saya yang tinggal di Sidoarjo, kala itu sedang pulang kampung ke Pamekasan. Memang, saya baru berkabar kepada Dr. KH Ahmad Fauzi Tidjani pada pagi hari, pukul 5. Ternyata, beliau sedang di Kalimantan Timur.
Adapun Dr. KH Ahmad Fauzi Tidjani, di Kalimantan Timur menghadiri sejumlah acara. Di antaranya, pertama, Tabligh Akbar Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw pada 27/01/2025, di Samarinda.
Kenangan di 2017, di Pesantren Al-Amien. Penulis (kiri) bersama Dr. KH Ahmad Fauzi Tidjani.
Kedua, esoknya yaitu pada 28/01/2025, memimpin pelantikan pengurus Ikatan Keluarga Besar Al-Amien (IKBAL) Bakorda Kalimantan Timur. Tempatnya, di Rumah Jabatan Wali Kota Balikpapan. Acara dirangkaikan dengan peringatan Isra’ Mi’raj.
Meski pimpinan Pesantren Al-Amien tidak sedang di tempat, kami tetap berangkat. ”Kami” yang dimaksud adalah saya, istri, tiga anak dan satu menantu. Juga, ibu saya-Siti Rahmah-yang berusia 82 tahun. Pun, tiga adik dan tiga keponakan saya. Jarak dari rumah saya di Pamekasan ke Pesantren Al-Amien sekitar 16 Km.
Tujuan berkunjung ke Pesantren Al-Amien adalah bersilaturrahim. Juga, untuk memupuk ghirah berdakwah anggota keluarga kami. Alhamdulillah, selama berkunjung di Al-Amien kami dibersamai Ustadz Fajrul Librawan, salah satu guru di Al-Amien.
Alhasil, meski tak ketemu dengan Dr. KH Ahmad Fauzi Tidjani, insya Allah kami tetap mendapat banyak kebaikan. Misalnya, selama kami berada di Pesantren Al-Amien bisa merasakan atmosfir perjuangan dakwah. Dengan itu, semoga ghirah kami bertambah. Alhamdulillah, Allahu Akbar! []
Menurut saya sebagai alumni, tulisan Saudara M. Anwar Djaelani perlu banyak koreksi dan perlu pemaparan yang komprehensif.
Contoh dalam tulisan di atas, Sosok dan Kiprah KH.Moh Idris Jauhari dilewati begitu saja tidak dijelaskan. padahal beliau adalah Sosok penting TMI al-Amien selama KH. Tidjani Jauhari melanjutkan studi dan menjadi bagian penting dalam Rabithah ‘alam Islam.
Apalagi Kyai Imam Zarkasyi tidak merestui KH. Idris Jauhari untuk melanjutkan pendidikan di luar Negeri kecuali untuk merealisasikan berdirinya TMI.
Kedua, Saudara penulis kebingungan antara Kyai Ahmad Jauhari dan Kyai Khotib sehingga ditulis Kyai Khotib Jauhari. Seharusnya
Kyai Ahmad Jauhari bin Kyai Khotib dan Kyai Khotib bin Kyai Idris Pateppan.
Demikian 2 hal prinsip yang perlu saya sampaikan sekaligus sebagai koreksi kepada penulis. Dan sepantasnya untuk penulisan terkait riwayat atau suatu sejarah harus dilakukan dengan memperhatikan referensi yang benar.
Silahkan baca
https://al-amien.ac.id/kh-moh-tidjani-djauhari-ma/
Sudah seharusnya penulis perlu sowan lagi ke PP AL AMIEN PRENDUAN agar wawasan beliau ttg Al Amien semakin meluas bukan menyempit
Terima kasih untuk catatan Bapak. Jazakallah khayran katsiran.
Saya sbg bagian dr keluarga Alumni Al Amien berharap penulis bisa.menyempurnakan tulisan ttg sejarah Al Amien dgn sowan Ke Al Amien dan minta masukan dr Ma’had Al Amien utk menyempurnakan tulisan yg jujur memunculkan protes di WAG2 IKBAL. Alih2 dipuji krn mengangkat tulisan Al Amien justru malah akan memunculkan cicilan dan gelombang protes. Terutama ttg peran besar KH. M. IDRIS JAUHARI yg sama sekali tidak bisa dikecilkan apalagi dihilangkan. Beliau yg bersentuhan langsung dgn pendidikan disiplin, karakter dan semua hal yg berhubungan dgn perkembangan pendidikan para Santri dr tahun 1971 – hingga wafatnya. Al afwu minum ( Habieb Musthafa )
Saya sbg bagian dr keluarga Alumni Al Amien berharap penulis bisa.menyempurnakan tulisan ttg sejarah Al Amien dgn sowan Ke Al Amien dan minta masukan dr Ma’had Al Amien utk menyempurnakan tulisan yg jujur memunculkan protes di WAG2 IKBAL. Alih2 dipuji krn mengangkat tulisan Al Amien justru malah akan memunculkan cibiran dan gelombang protes. Terutama ttg peran besar KH. M. IDRIS JAUHARI yg sama sekali tidak bisa dikecilkan apalagi dihilangkan. Beliau yg bersentuhan langsung dgn pendidikan disiplin, karakter dan semua hal yg berhubungan dgn perkembangan pendidikan para Santri dr tahun 1971 – hingga wafatnya. Al afwu minum ( Habieb Musthafa )