Oleh: Bambang Galih Setiawan
Para orientalis Barat melalui sistem pendidikan dan keilmuannya, telah lama mencoba untuk mengasingkan dan memberi stigma negatif terhadap Islam pada masa kolonial Belanda. Belanda diantaranya telah berupaya untuk menghilangkan istilah dan simbol-simbol yang berbau Islam, serta menyatakan bahwa Islam bukanlah agama asli nenek moyang dan tidak sesuai dengan pribadi bangsa. Salah satunya yaitu melalui penyingkiran segala pusaka nenek moyang yang berbau Arab, baik dari budaya maupun penghapusan huruf Arab atau huruf Melayu Jawi- di Nusantara.
Saking besarnya peran bahasa –Melayu-, Hamka sampai membaca adanya strategi liberalisasi pendidikan yang pertama kali dilakukan oleh Belanda pada masa “Politik Etis”. Yakni dimulai dengan memberikan pengajaran dan penanaman kebanggaan kepada bahasa kaum kolonial yang sedang berkuasa, dan melakukan pelemahan kepada bahasa asli. Kaum pribumi yang mempelajari dan menguasai bahasa kaum kolonial pun, akhirnya dianggap lebih dekat, dihargai dan meningkat menjadi seperti kaum kolonial yang lebih maju dan tinggi, sebagai bangsa yang dipertuankan. Sedangkan bahasa Melayu, bahasa Islam, mulai ditinggalkan dan hilang. Hamka kemudian menyatakan “Mereka tidak mengerti lagi memakai bahasa asli bangsa dan kaum seagamanya. Cara mereka berpikir pun, bahkan cara mereka bermimpi, sudah cara Belanda! “[1]
Begitu penting dan kuatnya posisi bahasa dan budaya bagi Hamka, sehingga ia pun menyeru dan mengingatkan kepada angkatan muda atau para generasi selanjutnya, untuk memperhatikan dan menangani masalah ini. Sebab bahasa dan kebudayaan memiliki pengaruh yang sangat strategis dan berperan besar, dalam kehidupan dan dakwah umat Islam.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih sering disebut dengan Hamka, merupakan seorang tokoh kharismatik yang tidak hanya dikenal sebagai ulama besar oleh banyak orang, namun juga sebagai sastrawan dan budayawan Nusantara. Semasa hidupnya ia memberikan banyak perhatian khusus terhadap budaya, dengan kiprah dan keterlibatannya dalam lembaga dan kongres kebudayaan nasional, serta minatnya pada bahasa dan budaya yang banyak tertuang dalam karya-karyanya yang mengandung sastra dan cita rasa istimewa. Karena kesenangannya kepada kebudayaan, Hamka bahkan pernah berkata “Dalam politik tangan saya pernah terbakar, namun dalam kebudayaan hati saya terobat, luka saya terdamak.”[2]
Dalam Seminar Sejarah Riau, di Universitas Riau (UNRI) Pekanbaru, 20-25 Mei 1975. Hamka menyerukan kepada para angkatan muda, agar mereka tidak meninggalkan huruf pusaka Islam di Tanah Melayu, yaitu huruf Jawi, huruf Melayu atau huruf Pegon:
“Dan kepada sarjana-sarjana Angkatan Muda di Riau baik dari UNRI atau dari IAIN, saya serukan, jangan diabaikan huruf pusaka kita, yaitu huruf Arab yang telah kita pakai, beratus tahun lamanya. Di Malaysia disebut Huruf Jawi, sedang di Indonesia disebut huruf Melayu. Kasihan huruf pusaka Islam itu, Indonesia menolak Melayu, Malaysia menolak ke Jawa, akhirnya terbenam di Selat Malaka! Lalu karena Indonesia dan Malaysia telah merdeka dari penjajahan bangsa Barat, kita gantilah huruf pusaka penjajah. Dengan demikian jadi sukarlah kita menggali sumber kebudayaan nenek moyang kita yang tersimpan dalam huruf itu. Sehingga ajaran Abdurrauf Singkel, Dr. Rinkeslah yang menggalinya, Hamzah Fansuri digali oleh Doorensbos, Syamsuddin Sumantrani digali oleh Nuwenhuyze. Kita sendiri tidak akan sampai ke sumbernya, kalau tidak melalui apa yang disuguhkan oleh sarjana-sarjana Barat itu.”[3]
Huruf Melayu atau Jawi bagi Hamka merupakan pusaka yang mengandung kekayaan terhadap kebudayaan dan identitas asli di Nusantara. Melalui bahasa yang tertuang dalam tulisannya, seseorang akan saling terhubung dan memahami makna dan maksud dari setiap pernyataan atau tulisan yang dikeluarkannya, sehingga akan didapatkan keseragaman pemikiran dan rasa.
Kurangnya perhatian angkatan muda saat ini untuk menjaga dan melestarikan huruf Melayu yang merupakan pokok dari bahasa dan budaya Nusantara, diperuncing dengan ketidak satuan antara negara-negara yang dahulu terjalin dalam satu rumpun Melayu. Maka semakin terputuslah sanad atau ketersambungan ilmu dan identitas keagamaan dan budaya di Nusantara, sebab sangat sedikit yang sadar dan membelanya. Padahal para pendiri dan nenek moyang mereka dahulu satu keturunan dan berkeluarga, mereka berinteraksi dan menulis banyak karya melalui bahasa Melayu atau huruf Jawi tersebut.
Hamka menegaskan, bahwa sejak agama Islam masuk ke tanah air kita ini, di zaman-zaman yang lampau banyaklah ulama Islam Indonesia menulis tentang ajaran Islam di dalam bahasa Melayu tulisan Arab. Mereka berlomba memberikan jasa kedalam Islam dengan kitab-kitab itu. Tetapi pusaka mereka itu pun tidak banyak faedahnya lagi di zaman sekarang, karena sangat berkembangnya bahasa Indonesia. Bahasa dari kitab-kitab yang bernilai itu sudah jauh ditinggalkan zaman, dan angkatan baru sudah amat kurang yang mengerti bahasa Melayu huruf Arab itu.
Maka bagi Hamka, pekerjaan mereka itu wajib disambung dan diteruskan. Namun sayang baru sedikit sekali ulama-ulama yang terdidik dalam Islam, yang mengetahui bahasa Arab yang sampai mengarangkan keislaman dalam bahasa Indonesia yang modern. Diantara mereka yang ada di akhir masa itu ialah Ustadz Tengku Mohammad Hasbi ash Shiddieqy, almarhum Ustadz Ahmad Hasan Bangil, Ustadz Zainal Arifin Abbas di Medan, dan beberapa orang yang lain, serta Hamka sendiri yang berkecimpung melakukan tugas dan kewajiban yang suci tersebut.[4]
Banyak dari karya dan pemikiran ulama serta tokoh-tokoh asli tanah Melayu, yang akhirnya diteliti dan dikaji oleh para orientalis atau angkatan muda Barat. Mereka kemudian menerjemahkan dan menafsirkan tulisan-tulisan tersebut melalui kebudayaan, kepentingan dan pandangan hidup mereka. Dimana hal ini kemudian diambil dan kita terima secara latah sebagai penafsiran dan kebudayaan asli milik kita. Hamka menuliskan bagaimana pola dan kebiasaan yang dilakukan para kolonialis:
“Bangsa-bangsa yang menjajah kita, meskipun menyelidiki kebudayaan dan filsafat kita, itu hanya untuk kepentingan mereka, bukan untuk kepentingan kita. Sungguhpun demikian, sekali-kali dikirim Tuhan juga orang-orang besar, untuk menunjukkan bahwa api itu belum mati.[5]”
Kemajuan bahasa menandakan kemajuan akal dan ilmu bangsa yang mempunyai bahasa tersebut. Menurut Hamka, bahasa Melayu menjadi maju ialah sejak zaman kerajaan Melayu Malaka, pertengahannya ialah zaman pengarang Abdul Kadir Munsyi.[6] Sehingga usia bahasa Melayu telah sangat tua dan dipakai oleh para nenek moyang di Nusantara selama ratusan tahun lamanya, untuk mengikat persatuan dan menanamkan nilai-nilai pandangan hidupnya. Namun bahasa ini kini sudah sangat asing dan tergerus oleh bahasa dan budaya yang datang setelahnya.
Generasi muda saat ini pun lebih kenal dan merasa bangga dengan bahasanya yang terpengaruh dengan modernisme dan gaya hidup Barat, serta yang didiktekan oleh kaum Katholik di Indonesia. Akhirnya secara perlahan bahasa Melayu hilang dan bahasa Indonesia mulai berubah, membentuk istilah dan makna baru dalam keseharian serta pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal ini menurut Hamka dapat menjadi sebuah kehinaan, karena memilih satu identitas yang seharusnya bukan miliknya, kemudian melupakan jati dirinya:
“Sebagaimana terpandang hina dan terpencil dari masyarakat orang yang meninggalkan bahasa ibunya atau bahasa tanah airnya yang dengan dia lidahnya lebih sanggup menerangkan segala perasaan hatinya, lalu meminjam bahasa dan logat orang lain semata-mata karena hendak menjadi megah, maka lebih terpandang hina lagi manusia yang melebihi daripada kekuatan dan kesanggupannya, atau memilih yang sebenarnya bukan pakaiannya.[7]”
Pada Kongres Bahasa Indonesia di Medan tahun 1954 telah diambil keputusan bahwa “Bahasa Indonesia adalah berasal dan berdasar kepada bahasa Melayu”, sehingga menurut Hamka pemakaiannya, pramasastranya, kaidahnya, tetap harus menurut bahasa Melayu, tidak boleh ditambah atau dirubah. Oleh sebab itu ketika para pemuda bersumpah “berbahasa satu, bahasa Indonesia” pada tahun 1928, hal tersebut bukanlah untuk membuat atau menciptakan suatu bahasa baru, melainkan memberi nama yang baru bagi bahasa yang telah dipakai beratus tahun di “Gugusan Pulau Melayu” dan “Semenanjung Tanah Melayu” atau di seluruh Nusantara ini.
Maka untuk kesatuan politik perjuangan kemerdekaan di tanah yang dijajah Belanda, yang mereka namai “Hindia Belanda” dibuatlah nama “Indonesia”. Rakyatnya dinamai rakyat Indonesia, meskipun mereka terdiri dari berpuluh suku bangsa. Maka bahasa yang telah beratus tahun dipakai sebagai bahasa perhubungan, ditukar pula namanya menjadi bahasa Indonesia, untuk wilayah Indonesia. Sebab sampai kini di luar wilayah Indonesia, seperti di Malaysia, atau di Selatan Siam, atau di kalangan keturunan Melayu di Kamboja dan Sri Langka, bahasa itu masih tetap bernama bahasa Melayu.[8]
Sejak dahulu orang asing menamai negeri-negeri ini “Gugusan Pulau-pulau Melayu” atau “Malays Archipelago”.[9] Selain karena kemungkinan ditilik dari ilmu asal usul bangsa yang disebut “Melayu Tua” dan “Melayu Terakhir” ada lagi kemungkinan lain yang menyebabkan pulau-pulau itu dinamai gugusan pulau Melayu. Ialah karena bahasa Melayu yang dijadikan penghubung antar pulau, baik yang besar ataupun yang kecil sejak ratusan tahun. Juga banyak terdapat bahasa-bahasa lain, yang terkadang pemakaiannya cukup banyak dari bilangan bangsa Melayu sendiri. Seperti bahasa Jawa. Namun orang Jawa sendiri jika hendak berhubungan misalnya dengan orang Aceh, harus memakai bahasa Melayu juga. Maka di bandar-bandar besar dahulu, sejak dari Palembang, Jambi, Malaka, Pasai, Betawi, Johor, Banda, Makassar dan lain-lain, bahasa Melayulah yang menjadi bahasa hubungan politik para raja.
Menurut Hamka, Kerajaan Sriwijaya sebagai Kerajaan Melayu tertua telah tumbuh sejak abad keenam masehi dan memakai bahasa Melayu, pada abad lahirnya Rasulullah Muhamammad Saw.[10] Prasasti-prasasti Kadukan Bukit dan Tulang Tua setelah dipelajari memakai bahasa Melayu di zaman itu. Bahasa Melayu[11] yang ditulis dengan huruf Arab, dan dipahatkan di batu, ialah “Batu Bersurat Trengganu”[12] yang ada di dalam museum Kuala Lumpur.[13]
Perkembangan bahasa sekarang yang dinamai Bahasa Indonesia, adalah dari bahasa Melayu klasik yang ditulis oleh ulama-ulama Islam. Sejak Hamzah Fansuri, Radja Ali Haji dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsji. Bahasa itu kemudian ditulis dalam huruf Arab-Melayu, huruf Jawi atau huruf Pegon, yang menjadi huruf kesatuan bangsa. Wali Songo juga memberikan sumbangan yang banyak sekali pada filsafat Jawa, bahkan ke dalam wayang sekalipun. Mangkunegara keempat memberi orang Jawa nyanyian dalam jiwa tasawuf Islam.[14]
Prof. Dr. Snouck Hurgronje dan Prof. Dr. Husain Jayadiningrat sampai kagum dengan perkembangan sastra agama yang berada di Aceh, terutama sastra pada abad ketujuh belas sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, Sultan Iskandar Tsani dan Ratu Sulthanah Shafiyatuddin. Di Zaman raja-raja besar itulah timbul ulama-ulama dan pengarang-pengarang besar memakai bahasa Melayu dalam soal-soal agama Islam, Tauhid, Tafsir, Fiqih, Tasawwuf dan Filsafat. Waktu itulah hidup ulama-ulama pengarang besar, seumpama Syaikh Aminuddin Abdurrauf bin Ali al Fanshuri ahli tafsir, fiqih dan tasawuf. Syaikh Nurudiin ar Raniri ahlu fiqih, tasawuf dan sejarah. Syamsuddin Samatrani, Hamzah Fansuri, khusus ahli syair.[15]
Perhatian Hamka yang serius pada bahasa Melayu, tidak dipungkiri ialah karena ia memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankannya. Bagi Hamka, bahasa Melayu merupakan bahasa pokok dari bahasa Indonesia, dan bahasa Melayu merupakan bahasa yang memiliki pengaruh Islam yang sangat dominan dalam kehidupan dan sastra Melayu. Lidah Melayu yang telah menerima Islam sejak abad-abad pertama tahun hijriyah, tidak asing dengan istilah-istilah Arab yang merupakan bahasa agamanya. Sehingga bahasa Arab ini telah memperkaya istilah-istilah dan makna bahasa Indonesia. Yang mana hal ini pernah disampaikan Hamka pada sidang Konstituante dan juga diterima dalam seminar kebudayaan Indonesia.[16]
Dalam Seminar Kebudayaan Melayu di Kuala Lumpur tahun 1974, Hamka bahkan menegaskan pemikirannya, bahwa “tak ada Melayu tanpa Islam dan di balik Melayu adalah Islam.” Demikian pandangannya sebagai seorang ulama yang telah lama malang melintang dan hidup dalam dua periode sejarah, pada masa kolonial, di mana ia merasakan dan berinteraksi langsung menggunakan bahasa dan tulisan Melayu, hingga ia memasuki periode baru masa kemerdekaan yang mulai meninggalkan tradisi keilmuan ini. Hamka juga merupakan seorang penghulu adat di Minangkabau, yang dahulu pernah menjadi tempat konflik antara kaum agama dan kaum adat, yang akhirnya telah dapat disatukan dengan mendudukkan keduanya secara tepat. Kata Hamka “Adat bersendi Syara` dan Syara` bersendi Kitabullah.”[17]
Hamka juga seringkali mengatakan dalam gurauannya “Melayu tanpa Islam hilang ,,me”nya, dan layulah dia. Minangkabau tanpa Islam hilang ,,minang”nya, jadi kerbaulah dia.” [18] yang menunjukkan pendirian Melayu tidak bisa dipisahkan oleh Islam. Rumpun Melayu memang memiliki akar yang kuat pada agama Islam dengan bahasa Arabnya dalam membentuk kebudayaan dan intelektualitas masyarakat Tanah Melayu. Dapat ditemukan hingga saat ini, banyaknya kosa kata bahasa Melayu yang merupakan derivasi dari bahasa Arab, seperti musyawarah, adil, adab, akhlak, hikmah, dan lainnya.
Adalah hal yang cukup wajar jika setiap kebudayaan dan komunitas itu bisa terbentuk melalui pengembangan atau pengaruh dari suatu kebudayaan lain atau yang telah ada sebelumnya. Namun yang utama adalah bagaimana ketersambungan makna dan pemahaman seseorang dari bahasa sebelumnya dapat terjaga, sehingga generasi muda tidak kehilangan ruh dan rasionalitasnya terhadap budaya. Hamka memberikan pembelaan terhadap bahasa Indonesia yang dianggap kearab-araban dengan menyatakan:
Kalau saudara-saudara kita dari Jawa mengambil istilah-istilah Sansekerta yang ke-Hindu-hinduan, dan orang-orang didikan Barat mengambil bahasa Belanda atau Inggris, kitapun boleh menunjukkan ke-Islaman kita. Tak perlu takut dan merasa rendah diri dikatakan ke-Arab-araban.[19]
Pada tahun 1960, saat Hamka menerjemahkan tulisan ayahnya Dr. Abdul Karim Amrullah “Sullamul Ushul Yurqa` Bihi Samau `Ilmil Ushul” dari huruf Jawi ke huruf latin. Ia berkomentar, bahwa tulisan ayahnya tersebut 45 tahun lalu masih menggunakan bahasa Melayu yang sangat terpengaruh dengan pandangan hidupnya yang condong ke bahasa Arab, yang merupakan bahasa agamanya, sebagaimana juga orang berpendidikan Barat yang condong ke bahasa Belanda dan Inggris.
Dahulu bahasa Melayu ditulis dengan huruf Arab-Melayu atau huruf Jawi, sekarang ditulis dengan huruf latin.[20] Maka untuk dapat kembali menggali dan menemukan ketersambungan sanad keilmuan dan pandangan hidup dari para leluhur bangsanya, tidak bisa tidak, harus dapat menggunakan dan melestarikan bahasa ini. Hamka menyindir kepada angkatan muda saat ini:
Bagaimana akan dapat menumpahkan fikiran, kalau bahasa sendiri tidak dapat dikuasai? Cobalah baca kitab-kitab karangan ahli agama 40 atau 50 tahun yang lalu. Tidakkah kita tertawa geli melihat susunan karangan itu? Tapi itu jauh lebih baik daripada kaum intelektual yang tidak ada sama sekali hubungannya dengan bahasa dan jiwa bangsanya.”[21]
Hamka menyebutkan akibat buruk yang akan terjadi dari penukaran huruf Melayu dengan huruf latin. Pertama yaitu keterputusan hubungan generasi muda yang datang selanjutnya terhadap perbendaharaan pemikiran nenek moyangnya. Sehingga mereka kehilangan jiwa dan intelektualitas yang telah lama tumbuh dan hidup dalam kebudayaan leluhurnya, kemudian mereka menggantungkan diri kepada kalangan asing yang dianggap mengetahui tentang jati diri kebudayaannya. Hamka menyinggung akan hal ini:
Kalau mereka hendak mencarinya juga terpaksa dengan perantaraan orang lain. Hendak tahu perbendaharaan fikiran di Malaysia, terpaksa bertanya kepada buku-buku Wensted. Hendak mengetahui Aceh, terpaksa menuruti fikiran Hurgronje. Hendak tahu siapa Hamzah Fansuri, terpaksa bertanya kepada buku Doorenbos, dan seterusnya, karena awak sendiri tidak dapat mengetahui sumber aslinya yang ditulis dengan huruf Melayu itu.[22]
Kedua ialah ditinggalkannya pemakaian bahasa Arab, setelah digantikan kepada bahasa para penjajah, yang akan memperkaya bahasa Melayu. Di Malaysia sebelum huruf Jawi ditinggalkan, para pengarang jika ingin memperkaya bahasa Melayu, mereka dahulukan mencari dari bahasa Arab. Mereka menemukan kata-kata iktisad untuk ekonomi. Siasatuntuk politik, Tahniah untuk ucapan selamat, Ta`ziah untuk melayat kematian. Namun sejak diganti dengan huruf latin (Rumi) perkembangan ini tidak lagi berlanjut. Iktisad dihilangkan dan ekonomi jadi gantinya. Politik digunakan, dan siasat dihilangkan. Sedangkan di Indonesia sendiri, usaha ini secara halus digantikan, baik yang bahasa Melayu asli, atau yang dari bahasa Arab, dengan bahasa Jawa.
Singkatnya, hal ini menurut Hamka merupakan “politik bahasa” yang coba dimainkan oleh kolonial secara sistematis sebagai upaya memisahkan nilai-nilai dalam bahasa mereka, kemudian digantikan dengan bahasa dan kebudayaan baru dari kolonial. Awalnya dengan melakukan pengantian huruf, selanjutnya adalah penyingkiran pengaruh Arab atau keyakinan agamanya melalui bahasa tersebut. Disebutkan oleh Hamka ada orang-orang yang hingga secara berani mengatakan ”Buang itu huruf Arab dan pengaruh Arab! Tukar dengan huruf “nasional” kita! Yaitu huruf Latin! [23]
Sangat pentingnya pengaruh dan peran bahasa, Hamka sampai menaruh kecurigaan kepada sarjana-sarjana Kristen yang mempelajari bahasa Indonesia dan kebudayaan daerah, terutama kepada kebudayaan Jawa. Ia mengatakan “Usaha mereka itu pasti tak lepas dari tujuan mengkristenkan bangsa Indonesia.”[24] Menurut Hamka latar belakang Kristen menghidupkan kembali Kejawen tidak terlepas dari upaya kristenisasi, dan hal itu terbukti sampai saat ini. Oleh sebab itu, ia mengingatkan kepada kawannya di Yogya (Pimpinan Muhammadiyah Yogya) saat itu, agar lebih giat untuk menekuni dan menggali nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Jawa.
Bahasa merupakan bagian dari budaya, dan bahasa mencerminkan budaya serta menilik akan sejarah. Pentingnya bahasa, karena ia merupakan pengantar pada budaya dan menunjukkan pandangan hidup manusia. Atas dasar ini, Hamka di masa hidupnya mengambil peran dengan menerjunkan diri untuk banyak menulis dan memberikan pengarahan tentang bahasa dan budaya. Sebab bagi Hamka mengarang merupakan suatu mata rantai perjuangan yang panjang dalam menegakkan Islam dari sektor kebudayaan, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur seni, akhlak, budi dan daya, serta ilmu pengetahuan, dengan Islam sebagai sumbernya.[25]
Menjelaskan tentang maksud kebudayaan, Hamka mengutip pidato Dr. Mohammad Hatta ketika masih menjadi wakil presiden pada Kogres Kebudayaan di Bandung, bahwa kebudayaan adalah pertalian di antara kejadian alam (Natur) dengan usaha manusia menyesuaikan hidupnya dengan alam yang terbentang. Beliau jelaskan bahwa air yang turun berlimpah dari gunung karena adanya hujan (Natur), kemudian manusia mengambil lahan dan manfaat di bawahnya, untuk membuat sawah, menyemaikan benih padi untuk dimakan, mendirikan rumah, itulah kebudayaan (Culture).[26] Termasuk dalam budaya keagamaan di Indonesia, adalah kekhasan ukiran dan arsitektur bangunan masjid serta rumah adat yang memiliki nilai Islam dan kebudayaan Melayu. Juga seperti penggunaan songkok dan sarung yang mencirikan identitas Muslim di Indonesia.[27]
Hubungan yang harmonis antara adat dan syara menurut Hamka salah satunya terjadi di Minangkabau. Yaitu masjid yang gondjongnya menjulang ke langit di Minangkabau, merupakan lambang menuju langit dan kepercayaan Tauhid. Gondjong masjid di Minangkabau merupakan kelanjutan dari kepercayaan kepada Sang Hyang Tunggal, dan menyebabkab shalat diartikan sembahyang, bukanlah dibawa dari seni Arab, Mongol atau Persi, namun ia tumbuh sendiri menurut alam pikiran Indonesia di Minangkabau.
Masjid yang bertingkat empat itu, yaitu latar di bawah, tingkat kedua dan ketiga, serta terus meningkat ke atas menjulang ke langit, menurut fatwa ahli-ahli adat adalah lambang daripada tingkatan jiwa menuju kesempurnaannya, yang terbagi menjadi empat. Latar paling bawah adalah Syariat, kedua Thariqat, tingkatan ketiga adalah Hakikat. Apabila ketiganya telah dilalui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, itulah permulaan untuk mendapatkan Ma`rifat, atau yang biasa disebut Ilmu-Laduni, yang diterima langsung dari Tuhan.[28]
Menurut Hamka pada Symposium Kebudayaan Islam di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 4 Desember 1979, setiap manusia pasti memiliki kebudayaan dan kebudayaan tidak bisa kosong dari kehidupan manusia. Baik manusia dan bangsa-bangsa yang masih primitif hingga yang telah modern, memiliki kebudayaannya masing-masing. Hamka kemudian menyebutkan bahwa kebudayaan yang kita anut, yaitu Kebudayaan Indonesia, yang sebagian besarnya timbul secara wajar dari Islam. Sehingga wajar pula ketika akan mengkajinya, harus melalui dasar Islam. Karena golongan terbesar dari bangsa Indonesia dan pelaku kebudayaan adalah orang-orang Islam.
Agama Islam menciptakan budaya, namun agama Islam bukan agama budaya. Hamka pernah menolak, ketika Islam ingin dimasukkan sebagai kebudayaan oleh para budayawan Komunis. Allah telah memberikan inspirasi dan ilham bagi manusia untuk menimbulkan suatu amal budaya yang penting untuk meresapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya. Menurut Hamka, bahwa kebuadayaan hasil wahyu merupakan kebudayaan yang setinggi-tingginya, dan kebudayaan Islam ialah kebudayaan Tauhid. Sebagaimana pernyataan Hamka, bahwa “Adat hendaklah bersendi syara` dan syara` bersendi Kitabullah.” Sedangkan orang materialis akan berkata bahwa wahyu bukan budaya, sebab mereka tidak percaya akan adanya Allah yang memurunkan wahyu.
Hamka menyimpulkan bahwasanya kebudayaan meliputi seluruh kegiatan hidup. Sehingga kata “Tamaddun” dan “Hadlarah” dalam bahasa Arab atau “Civilization” dalam bahasa Inggris telah termasuk ke dalamnya. Kemudian dibuatlah bagian-bagiannya untuk memudahkan pemahaman pemikiran. Yaitu kebudayaan meliputi ilmu pengetahuan, filsafat dan seni.[29] Kebudayaan dalam pandangan manusia beradab, adalah melihat alam ini sebagai bagian dari kebenaran yang menghubungkan pada keindahan dan pengenalan kepada-Nya, melakukan interaksi atau amal kegiatan pada alam yang merupakan bahan mentah yang disediakan oleh Allah untuk diolah dan dipimpin oleh manusia. Mengambil manfaat dan menjauhi yang mudharat melalui kebudayaan.
Di daerah-daerah yang kuat Islamnya, kuat pula semangat gotong-royongnya, yang berpusat pada jamaah di langgar atau masjid. Tetapi di tempat yang sisa Hindu masih berkesan, gotong-royong hanya dapat kalau dipatrikan dengan “nuhun inggih” etiket di luarnya gotong-royong, namun hakikatnya ialah persembahan wong cilik kepada kandjeng.[30]
Bahasa Melayu memiliki ruh dan jiwa keislaman di Nusantara, sedangkan bahasa saat ini telah terasa kaku dan kering dalam rasa dan seni yang menghidupkan jiwa. Jika seorang pernah mengalami atau merasakan masa kecilnya dalam lingkungan kebudayaan Melayu, kemungkinan ia akan dapat menghayati bagaimana keelokan dan penjiwaan bahasa dan kebudayaan Melayu menyatu dengan alam yang terkembang bersamanya, yang diciptakan oleh Allah dan berasas pada agama Islam. Sehingga membuat mereka bisa hidup dengan tenang meskipun sederhana, bahagia dengan kecukupannya, dan meresapi makna dalam keindahan alam. Inilah ke khas-an budaya Melayu yang merupakan identitas Muslim di Nusantara.
Berbeda halnya dengan kondisi dan kebudayaan saat ini, yang mulai dikungkung oleh kemewahan dan glamoritas hidup yang diimpor Barat. Menghilangkan seni jiwa dan adab Islam. Sehingga membuat manusia tersesak dalam gaya hidup yang mengejar kepuasan badan, lalai dalam mengingat tujuan hidup ke depan, serta karam di bawah bangunan-bangunan tinggi yang menutup dirinya dengan alam. Hamka memberikan beberapa kesimpulan tentang kebudayaan, diantaranya sebagai berikut:[31]
- Kebudayaan manusia akan selalu mengalir ibarat air di sungai, menerima dan memberi.
- Kebudayaan adalah sejarah hidup insani di dunia. Mempunyai zaman lampau, zaman sekarang dan zaman depan. Yang sekarang adalah akibat dari yang lampau, dan yang di depan adalah hasil dari yang sekarang. Apabila kita lupakan pertalian diantara lampau, kini dan masa depan, sendatlah (mandek) jalannya kebudayaan.
- Islam mempunyai konsepsi yang cukup untuk turut mengisi kebudayaan dunia. Ini bukanlah teori sekarang, melainkan kesaksian sejarah.
- Bangsa Indonesia dalam membangunkan kebudayaan, dari zaman bergilir zaman, telah menerima juga unsur dari Islam. Yang ingkar dengan kenyataan ini, hanyalah orang yang tidak berkebudayaan.
- Dalam gerak budaya manusia sekarang ini, nampaklah perjuangan dan perebutan yang dahsyat diantara kebudayaaan semata-mata benda dengan kebudayaan yang berpangkalan dengan kesadaran rohani. Sehingga kadang-kadang tidak terpelihara lagi pemilihan yang bermanfaat dan penjauhan yang mudharat (tidak bermanfaat). Hal ini dirasai oleh ahli-ahli fikir dunia sadar.
- Budayawan Islam harus kembali mengambil bagian dalam perkembangan kebudayaan, serta melakukan risalahnya (tugasnya) yang suci itu, dalam mengisi kebudayaan dunia.
- Di Indonesia sendiri kelihatan gejala-gejala pancaroba kebudayaan. Kebudayaan materialis, kebudayaan jadi pak turut, kebudayaan menuhankan manusia, atau manusia ingin dituhankan. Kebudayaan yang tidak lagi memilih manfaat dan menghindari yang madharat, kebudayaan yang tidak mengenal halal haram.
- Dalam kalangan Islam sendiri terdapat golongan tua yang telah beku berhadapan dengan golongan muda yang belum tentu arahnya.
- Masih belum bersambung kegiatan ahli filsafat yang menumbangkan pikiran. Kalau ada ahli ilmu pengetahuan beragama Islam, belum tentu pangkalan berpikirnya dari Islam. Seniman pun demikian pula.
- Modal menghadapi perjuangan kebudayaan masih amat terbatas dan kerdil, sebab itu maka: “Dengan kail panjang sejengkal, tidaklah ada daya upaya menduga laut.”
Ancaman terhadap Islam yang datang dari sektor kebudayaan melalui bahasa, menurut Hamka lebih besar daripada sektor politik. Sehingga Hamka kemudian menyerukan bahwa harus ada umat Islam yang menerjunkan diri ke lapangan kebudayaan, bahasa juga sejarah. Hamka misalnya menunjukkan usaha-usaha kaum Komunis dengan organisasi kebudayaan LEKRA-nya yang mempropagandakan kebudayaan rakyat, yang mengarahkan kepada kebudayaan atheis.[32]
Demikian juga ketika umat Islam melupakan bahasanya, maka berbagai literatur dan keilmuan pendahulunya dapat hilang dan memutus sejarah serta identitas mereka. Di Sekolah Katholik diadakan mata pelajaran sejarah yang memuji kedatangan Belanda menaklukkan Aceh, disebutkan orang Aceh itu fanatik. Jasa pendeta Thenu dan Verbraak lebih ditonjolkan. Dan dalam sejarah kekejaman Portugis di Maluku dan peperangan Sultan Khairun dengan Portugis dan penghianatan gubernur Portugis de Mosquita. Pendeknya usaha memutar balikkan sejarah Indonesia, telah dimulai dan lebih hebat sesudah Indonesia Merdeka dalam buku-buku pelajaran Nasrani, [33] yang sebagian materi ini juga dipakai di sekolah-sekolah umum hingga saat ini.
Manusia yang memahami dan beradab terhadap bahasa, budaya dan sejarah dalam suatu masyarakat, menurut Hamka, ia akan mampu meletakkan diri dan dapat duduk di mana saja. Ia tidak akan canggung dan mudah berlawanan dengan budaya yang ada. Adab kepada budaya dan sejarah ini dilakukan secara lahir dan batin. Secara lahir, ialah lebih dapat bersikap bijak dalam menghadapi kebudayaan, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan juga tidak memaksakan suatu kebudayaan baru secara total. Secara batin adalah memikirkan dan merasakan akan alasan suatu budaya itu dapat tegak dalam suatu masyarakat, sehingga tidak terburu-buru dalam menerima atau menghukumi suatu kebudayaan begitu saja.
Disini kemudian perlunya memahami sejarah, agar dapat melihat dan memahami suatu kebudayaan secara tepat, dan dibutuhkannya bahasa untuk membaca sejarah dan kebudayaan dengan benar. Hamka menyebutkan:
Kalau kesopanan batin suci, hati bersih, niat bagus, tidak hendak berkicuh berdaya kepada sesama manusia, akan baiklah segenap buahnya bagi segenap masyarakat. Tidaklah akan canggung ke mana dia pergi, walau ke Bugis, ke Makassar, ke Ambon, ke Ternate, ke Jawa, ke Madura, ke Aceh, ke Minang-kabau, bahkan ke sudut dunia yang mana sekalipun.[34]
Hamka kemudian memberikan contoh bagaimana kesalahan dalam memandang suatu kebudayaan. Ada orang Arab Hejaz, mencela orang Indonesia, karena menganggap mereka senang makan ular. Padahal yang dimaksud adalah belut, yang merupakan sebangsa dengan ikan. Adapun orang Jawa menuduh orang Arab Hejaz itu pemakan bengkarung, padahal yang mereka makan adalah dhabb, yang bentuknya mirip dengan bengkarung, namun jenisnya berbeda. Menurut adat Indonesia duduk bersila di muka orang tua adalah adab. Adat Eropa apabila bertemu dengan seorang teman mengangkat topi memberi hormat, namun pada bangsa Cina, mengangkat topi ketika akan pergi.[35]
Demikian juga adab terhadap berbagai bentuk kebudayan lainnya seperti bentuk rumah, makanan, bahasa dan lainnya, yang bagi Hamka hal ini tidak boleh dicela begitu saja, sebelum mengetahui alasannya. Sebab yang tampak atau baru diketahui adalah gambaran dari kebiasaan yang sudah ada, tapi belum diketahui latar belakangnya. Setiap zaman ada baiknya, dan ada buruknya. Menurut Hamka celaka orang yang tidak dapat menyesuaikan diri. Orang yang serupa itu walau di zaman apa pun dia hidup, dia hanya akan menampak yang buruk, sebab kacamatanya memang “hitam”.[36] Hamka kemudian menyinggung akan kekurangan seseorang yang tidak memahami dan beradab kepada kebudayaan, dengan tidak memperhatikan tentang budaya:
Kalau ini tidak diperhatikan, walaupun tiga lapis ikat kepalanya, tiga kisar letak kerisnya, tiga patah susun gelarnya. Walaupun dia keturunan Sang Sapurba dari Bukit Siguntang Mahamereu… tidaklah akan berfaedah hidupnya, masuknya tidaklah akan menjadi laba, keluarnya tidaklah akan membawa rugi.[37]
Kecintaan dan kepedulian Hamka terhadap budaya Melayu, sebenarnya juga sebab kecintaannya kepada agama dan persatuan umat Islam yang hidup di dalamnya. Sehingga perhatiannya tidak pernah lepas melihat kondisi kelemahan yang ada dalam tubuh umat Islam, serta serangan dari pihak luar. Melalui bahasa dan kebudayaan Melayu yang telah sangat lama menyatukan, memajukan dan mengisi kehidupan Islam di Tanah Melayu dengan jiwa Islam, membuat Hamka tidak begitu membeda-bedakan pembagian letak geografis antara bangsa-bangsa di rumpun Melayu, khususnya di Indonesia dan Malaysia, yang paling memiliki kesan hidup baginya.
Adapun perbedaan letak baginya hanyalah suatu kehendak dan kebetulan saja, jika seseorang misalnya dilahirkan di Minangkabau, yang saat ini masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun agama, bahasa dan jiwa mereka terhadap saudaranya di wilayah Melayu Malaysia atau yang lainnya tetap sama. Hamka mengungkapkan perasaan dan keyakinannya kepada dua negara yang dicintainya, yaitu Indonesia dan Malaysia:
Sehingga sambutan keatas diri saya manusia dha`if ini dari ra`yat dikedua negara itu sama mengharukan hati saya, karena cinta saya kepada kedua negara itupun sama, tidak berlebih dan tidak berat sebelah. Cinta saya menghadapi ra`yat di Ujung Pandang, sama dengan cinta saya menghadap ra`yat di Kota Kinabalu. Mahasiswa mengerumuni saya di Universitas Kebangsaan meminta tanda tangan, sama dengan kerumunan mereka di Universitas Gajah Mada. Membaca Khutbah Jum`at di Mesjid Negara di Kuala Lumpur sama dengan membaca Khutbah di Mesjid al Azhar di Jakarta. Berziarah ke Slembah Indah Sri Menanti sama dengan pulang ke Batu Sangkar. Dan semua saya hadapi dengan bahasa yang satu.[38]
Akhirnya dari beberapa uraian penjelasan dan peringatan Hamka dalam memandang bahasa, kebudayaan dan sejarah di atas, Hamka kemudian memberikan anjuran yang patut untuk diperhatikan, khususnya oleh angkatan muda Islam saat ini. Bahwa hendaklah angkatan muda Islam memperdalam pengetahuan dan pengertian ajaran Islam, dituruti dengan amal, sehingga menjadi pandangan hidup yang sebenarnya dan dapat membandingkan, “mana yang kita punya dan mana yang kepunyaan orang lain.” Kemudian hendaklah angkatan muda Islam mempelajari sejarah umatnya, di Indonesia dan di luarnya, sehingga dia sadar bahwa kebudayaan Islam itu universal sifatnya. Dan kebudayaan yang universal itulah tujuan terakhir dunia di zaman ini. Dan Nasionalisme sempit, tidaklah panjang usianya.[39]