Pascakerusuhan Sampang Madura pada Ahad 26/8/2012, ragam pernyataan bermunculan di media cetak maupun elektronik. Namun, dari sekian pernyataan yang sering beredar, mayoritas bukan pernyataan lugas mengulas akar persoalan yang sesungguhnya. Kebanyakan berkomentar sederhana, bahwa hal itu cuma karena konflik keluarga, kemiskinan, kultur lokal masyarakat Madura, dan kegagalan intelijen.
Patut pula disayangkan, bahwa pihak-pihak yang tidak berkompeten memahami penyebab bentrok Sunnah-Syiah ikut berkomentar. Persoalan antara Sunnah-Syiah adalah problem akidah Islam. Sehingga yang paling tepat menjelaskan solusi damai Sunnah-Syiah adalah para ulama’, bukan pengamat sosial-kebudayaan dan aktivis LSM Liberal.
Pengamat sosial-kebudayaan dan aktivis LSM lebih cenderung meninggalkan solusi normatif. Komentar-komentar seperti tersebut di atas itu justru membuat keruh di masyarakat akar rumput. Padahal, isu Sunnah-Syiah menyangkut nilai-nilai normatif dan teologis. Karena kisruh ini merupakan problem keagamaan, maka penyelesaiannya pun tidak boleh meninggalkan prinsip keagamaan masyarakat. Sehingga, lebih baik pihak-pihak yang tidak memahami akar persoalan tidak bersuara. Serahkan kepada para ulama’, umara dan pihak berwajib untuk menuntaskan persoalan.
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil -Ketua Umum MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia)- menilai bahwa konflik Sunnah-Syiah di Sampang disebabkan perbedaan aliran. Sejak berkembangnya Syiah di Indonesia, umat mayoritas terusik dengan ajaran-ajaran ‘radikalnya’, seperti cacian terhadap Sahabat dan istri Nabi (‘Aisyah radliallahu anha). Keresahan meluas ketika praktik penistaan itu dilakukan dengan terang-terangan, bukan sembunyi-sembunyi.
Dari data pengalaman di lapangan sering ditemukan masyarakat yang berkonversi ke Syiah, mereka menjadi ‘fasih’ mencaci para Sahabat Nabi SAW. Keanehan inilah yang memicu masyarakat tidak tahan bertindak.
Dalam keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunnah), penghormatan terhadap Sahabat Nabi SAW dan apalagi istri beliau merupakan bagian dari ajaran prinsip. Di kalangan jama’ah NU, penghormatan terhadap Sahabat Nabi SAW dan istrinya adalah ajaran penting. Di pesantren-pesantren tradisional, para santri sejak dini diingatkan jika menulis atau menyebut Sahabat Nabi SAW, jangan lupa diikuti kalimat radliallahu ‘anhum (semoga Allah meridhai mereka). Ini merupakan akhlak luhur terhadap para Sahabat yang berjasa kepada Islam.
KH. Hasyim ‘Asy’ari -pendiri NU- mendiskualifikasi orang-orang yang menghina para Sahabat dari madzhab Ahlus Sunnah. Bahwa, kelompok penista Sahabat bukan bagian dari madzhab yang sah untuk diikuti (baca karya beliau Risalah Ahl al-Sunnah wal Jama’ah).
Makin meluasnya problem Syiah di daerah Jawa Timur juga dipicu mencuatnya ‘syiahisasi’ terhadap jama’ah NU. Beberapa tahun lalu, sekitar awal tahun 2000-an, di daerah Jember dan Bondowoso dilaporkan puluhan orang NU awam yang eksodus dari NU dan masuk Syiah karena propaganda alumnus Iran.
Kabarnya, waktu itu ada sekitar 50 KK orang NU yang masuk Syiah. Jama’ah awam ini setelah masuk Syiah berani meninggalkan tradisi. Tidak segan-segan menista Sahabat Nabi SAW dan ‘Aisyah radliallahu anha.
Meski telah lama ada indikasi dan kini telah terjadi bentrok fisik, sampai sejauh ini belum ada penyelesaian dari pihak berwenang secara memadai, untuk mencari akar permasalahannya.
Peraturan Gubernur Jawa Timur memang telah diterbitkan, namun implementasinya belum maksimal. Sosialisasi juga belum berjalan baik di masyarakat bawah. Maka pihak-pihak terkait harusnya gencar melakukan sosialisasi secara baik.
Menghukum pelaku -baik dari pihak Sunnah maupun Syiah- bukanlah satu-satunya solusi penyelesaian. Pelaku pengrusakan dan penganiyaan tetap diproses sesuai hukum. Begitu pula para penista ditindak sesuai peraturan.
Akan tetapi, memenjarakan terdakwa bukan akhir penyelesaian. Sebab, bentrok Sunnah-Syiah di Sampang bukan kriminal murni. Pihak berwenang sebaiknya memahami hal ini, dan mengkaji bersama para ulama’ mencari apa penyebab sebenarnya kekisruhan ini.
Karena tidak ada arahan dari atas tentang akar kekisruhan, maka aparat keamanan bertugas seperti pemadam ‘kebakaran’. Menunggu api terbakar baru bergerak menyiram dan meredam. Padahal, persoalan Sunnah kontra Syiah bukanlah sekedar ‘kebakaran’. Bukan sekedar kriminal biasa. Bentrok fisik merupakan salah satu akibat dari penyebab-penyebab yang hingga kini belum diselesaikan.
Jika ada sinergi pengarahan menyangkut akar persoalan, maka aparat bisa menyelidiki pemicu timbulnya konflik. Pihak berwenang, baik aparat maupun pemerintah harusnya berkonsultasi dengan para ulama’ -khususnya ulama’ setempat- yang lebih memahami isu yang sesungguhnya.
Jika diserahkan kepada aktivis LSM, pengamat sosial-kebudayaan dan politisi sekuler, arah penyelesaian makin rancu. Komentar-komentar mereka cenderung parsial, membalik mengecam mayoritas.
Aktivis LSM dan HAM umumnya langsung memvonis pihak mayoritas. Umat mayoritas, misalnya, dituduh tidak toleran. Harusnya –kata mereka- umat mayoritas mengayomi minoritas.
Pertanyaannya, apakah benar intoleransi yang terjadi di Sampang? Semua pihak harus jeli. Sebab, yang harus dipahami di sini, sebenarnya kekisruhan ini bukan sekedar lagi isu perbedaan tapi lebih cenderung kasus penistaan agama. Pelaku penganiyaan tetap harus dihukum, namun penistaan agama harus diusut dan dicari solusinya.
Selama ini, pihak berwenang hanya berkonsentrasi kepada isu kriminil terhadap kaum minoritas. Sementara umat mayoritas terus-menerus dikecam sembari melupakan kasus penistaan agama yang sudah nyata. Jelas, sikap ini menambah api yang sudah membara di jama’ah awam.
Jika semua pihak berwenang mau adil, objektif dan berkomitmen menyelesaikan secara komprehensif, maka sebaiknya ada peraturan pemerintah atau perda yang melindungi umat mayoritas dari penistaan. Karena memang semua bentrok dipicu oleh adanya penistaan terhadap ajaran-ajaran suci kaum Sunni. Sebelum ada ‘dakwah’ menista Sahabat Nabi SAW, umat Sunni di Indonesia tidak terusik. Maka, pihak berwenang harusnya tidak enggan membahas isu ini dengan melibatkan ulama’ dan para pakar di bidangnya. Jika tidak, kita hanya akan menanti kekisruhan yang lain. []