Syeikh Abdul Qadir al-Jilani dan Pembaharuan Pendidikan Islam

Written by | Opini

Dalam dunia tariqah sufi, Syekh al-Jilani dikenal sebagai pendiri tariqah al-Qadiriyah, tariqah sufi yang masyhur. Syekh al-Jilani yang dilahirkan dikota Jilaniy/Kilaniy – sebuah kawasan di negeri Irak, pada usia 18 tahun menginjakkan kota Baghadad pertama kali, menandai fase penting dari perjalanan pendidikannya. Syekh al-Jilani yang sejak kecil hidup dalam lingkungan keluarga bercorak sufi, berguru kepada ulama’-ulama’ tasawwuf kenamaan di kota Baghdad, seperti Syekh Hammad al-Dabbas, Ibn ‘Aqil dan kakeknya sendiri Syekh Al-Shouma’i.’

Di luar para gurunya tersebut, Syekh al-Jilani mengagumi sosok Imam al-Ghazali. Satu sisi penting yang dipelajari dari Imam al-Ghazali adalah konsep ilmu, dan perpaduan ilmu fiqih dan tasawwuf Sunni. Pendekatan Imam al-Ghazali yang holistik dalam pengajaran itu ia praktikkan dalam pendidikan di madrasah yang ia bangun, Madrasah al-Qadiriyah.

Hampir sama dengan Imam al-Ghazali, Syekh al-Jilani melihat bahwa kerusakan ilmu adalah problem semua krisis keumatan. Beliau dalam amar ma’ruf nahi munkar kerap meluruskan para ulama’ yang jatuh kepada materialisme. Ulama’ adalah pengemban ilmu, jika ada ulama yang materialisme, maka ada kerusakan konsep dalam ilmunya. Dalam kitabnya al-Fath al-Rabbaniy beliau mengkritik kalangan  sufi yang menyimpang, berpura-pura bertasawwuf tapi hati terkotori oleh hal-hal yang menghalangi untuk sampai pada Allah. Sufi yang mengumbar nafsu dan menyeru kepada kemungkaran, menurut beliau adalah orang-orang yang merusak citra tasawwuf dan menggerogoti pondasi umat.

Sebagaimana telah diajarkan oleh Imam al-Ghazali, tujuang pengajarannya adalah menjaga kemurnian agama, mengatasi berbagai macam pertikaian madzhab dan membentuk mental kaum muslim yang faqih, zahid, dan sekaligus mujahid. Dr. Majid Irsan Kilani dalam bukunya Hakadza Dzahara Jiil Shalahuddin wa Hakadza ‘Aadat al-Quds mencatat, bahwa karya Syekh al-Jilani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariqi al-Haq dususun sesuai dengan metode penulisan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin.

 

Konsep Pendidikan

Kedua kitab tersebut memiliki kekhasan yang sama. Yakni metode integrasi ilmu-ilmu keislaman. Dalam setiap pembahasan fikih misalnya selalu terkait dengan kajian tasawwuf, dan tazkiyat al-nafs. Bahkan al-Ghazali dalam beberapa kajian tentang akhlak, mengaitkan dengan ilmu psikologi dan kesehatan (kedokteran). Kitab al-Ghunyah dimulai dengan makna syahadat, kemudian diikuti dengan bab fikih – thaharah dan shalat dalam satu bab.

Kekhasan kitab tersebut mengandung tujuan metode pembelajaran, bahwa dalam mempelajari ilmu dalam Islam tidak dikenal metode dikotomi. Semua kajian keilmuan dalam tradisi Islam memiliki jaringan keilmuan (knowledge networking) antara satu dengan yang lain. Yang unik juga dari kedua metode ulama’ tersebut, semua ilmu diajarkan selalu berbasis aqa’id dan tasawwuf sunni.

Untuk mempraktikkan pemikiran pendidikannya, Syekh Abdul Qadir menerapkan dua metode, pertama, membuat pengajaran yang sistematis dan pendidikan jiwa yang sistematis, kedua, memberi ceramah dan berdakwah kepada masyarakat umum atau muslim awam.

Untuk metode pertama, al-Jilani membangun madrasah yang dinamai Madrasah al-Qadiriyah yang selesai pembangunannya pada tahun 528 H. Tidak jauh dari lokasi Madrash dibangun Ribath – sebuah asrama untuk menampung para pelajar dari luar Baghdad. Ribath ini mirip dengan asrama pondok pesantren di Indonesia.

Kurikulum Madrasah Qadiriyah disusun dengan dasar ilmu tasawwuf dan ushuluddin. Sedangkan pelajaran dasar yang diberikan adalah penggabungan antara fikih dan tasawwuf. Tampaknya, Syeikh al-Jilani sejak pendidikan pemula ingin, membentuk mental para ulama’ yang memiliki cara pandang yang sama demi mencegah perpecahan antara para ulama’. Konfrontasi antara madzhab fikih saat itu memang begitu hebat, bahkan sampai pernah terjadi adu fisik. Maka, yang dibutuhkan umat adalah ilmuan-ilmuan yang memiliki kemampuan memahami berbagai disiplin ilmu secara integral, agar secara cerdas mengatasi problem keumatan.

Misi yang kedua adalah, melahirkan da’i yang kompeten melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Pelajaran yang disiapakan untuk kader ulama’ ini adalah ilmu tentang pemikiran-pemikiran kontemporer yang eksis saat itu. Termasuk ideologi-ideologi yang menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaa’ah. Tema-tema ini beliau kemukakan dalam kitabnya al-Gunyah. Dalam kitab tersebut, Syekh al-Jilani mensyaratkan bagi orang yang akan masuk tariqahnya; “Wajib bagi murid (pengikut tariqah) untuk menjadikan akidah Sunni sebagai ‘sayapnya’ sebagai media dalam bertariqah untuk sampai kepada Allah” (al-Ghunyah II, 163).

Pembahasan akidah yang dilakukan Syekh al-Jilani menunjukkan pengetahuannya yang sangat luas tentang seluk-beluk akidah, kegiatan dan sejarah aliran-aliran tersebut. Di antara aliran yang dikritik diantaranya Syi’ah Ghulat dan Batiniyyah. Bahkan beliau berpendapat bahwa Syi’ah Ghulat memiliki kemiripan dengan Yahudi. “Orang Yahudi meyakini tidak ada jihad di jalan Allah sampai al-Masih al-Dajjal keluar dan turun dari langit. Orang-orang Rawafidh meyakini tidak ada jihad sampai al-Mahdi keluar dan terdengar suara menyeru dari langit” tulis Syekh al-Jilani.

Pembahasan tersebut bertujuan menjaga kemurnian akidah Islam, dari berbagai macam ideologi asing. Disamping itu, Syekh al-Jilani juga melarang pelajar mempelajari filsafat Yunani, sebab mengandung banyak kerancuan berpikir. Bermacamnya ideologi asing tersebut mengancam persatuan umat, sehingga memperlemah kekuatan Islam menghadapi perang Salib.

Syekh al-Jilani juga berusaha menyudahi perselisihan-perselisihan madzhab fikih yang sering berakhir dengan pertentangan fisik. Imam an-Nawawi dalam Bustan al-‘Arifin mencatat keunikan Syekh al-Jilani. Disebutkan bahwa beliau bersikap terbuka terhadap madzhab Syafi’i dan menjalin kerjasama dengan para pengikut Hambali. Beliau bahkan berfatwa dengan dua madzhab, kepada Syafi’iyyah ia berfatwa dengan madzhab Syafi’i, sedangkan kepada pengikut Hambali beliau berfatwa sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau menguasai hukum-hukum dua madzhab, maka tidaklah heran beliau bisa diterima oleh dua madzhab tersebut.

Untuk tujuan tersebut di atas, maka al-Jilani merancang pendekatan tarbiyah ruhiyah. Tujuannya, membentuk mental pelajar atau murid yang memiliki hati bersih tanpa noda, senantiasa mengikuti jejak Nabi SAW dalam cara berpikir, emosi dan nilainya. Pendekatan ini merupakan formulasi Syekh al-Jilani menancapkan worldview Nabi Muhammad SAW dalam setiap aktifitas perilaku para pelajar.

Praktik pendidikan mental ini diterapkan dalam Ribath di bawah pengawasan sorang Syeikh. Sang guru pembimbing yang ditunjuk al-Jilani ini mengajari teori sekaligus praktik sehari-hari secara ketat. Sehingga, lulusan madrasah ini betul-betul kuat basicfaith-nya. Sedikit saja perkara makruh dilakukan, langsung ditegur oleh Syekh.

Dalam Futuhul Ghaib Risalah ke-14, Syekh al-Jilani mengajarkan bahwa materialisme adalah budak nafsu, dan sumber kehancuran.  Menurut beliau, tidaklah pantas orang yang mengaku mencapai derajat Rabbani tapi hatinya masih tercampur materialisme. Materialisme adalah paham sempit keduniaan. Sedangkan muslim sejati adalah hatinya yang tidak terpaut pada bumi tapi selalu terpaut pada akhirat. Penglihataan selalu diteropong dengan akhirat.

Pengajaran Syekh al-Jilani ini cukup penting, sebab menyangkut pembentukan cara berpikir pelajar dengan benar. Worldview menurut Sayyid Naquib al-Attas, adalah pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di dalamnya dari segi historis, sosial,  politik dan kultural, tapi mencakup aspek al-dunya dan al-akhirah, dimana aspek dunia harus terkait secara erat dan mendalam dengan aspek akhirat. Sedangkan aspek akhirat harus diletakkan sebagai aspek final (Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 1).

Secara teknis, Sayyid al-Attas memandang bahwa segala perilaku, aktifitas manusia harus terkait secara ketat dengan dimensi akhirat. Oleh sebab itu, worldview Islam adalah motor penggerak hati dan pikiran manusia. Maka setiap aktifitas berpikir manusia dapat dilacak worldview-nya. Inilah hal paling mendasar yang menjadi perhatian pendekatan Syekh al-Jilani dalam mempraktikkan pendidikan di Ribat al-Qadiriyah.

Bekal selanjutnya yang tempakan kepada para murid adalah, pembekalan bidang sosial. Pembekalan ini tidak lain merupakan terapan adab secara ijtima’iy (adab sosial). Tujuan utamanya, mempererat hubungan persaudaraan antara sesama muslim, dan menghindari perpecahan sosial dalam masyarakat.

Sebagaiman termaktub dalam kitab al-Gunyah, al-Jilani mencantumkan beberapa adab ijtima’i, di antaranya; etika berpaikaian, etika tidur, makan dan minum, hubungan dengan istri, adab kepada orang tua dan anak, adab bepergian dan sebagainya. Semua etika ini masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Para pelajar selalu dikontrol oleh seorang Syekh dalam mempraktikkan adab.

Kurikulum ini tidak berbentuk teori saja, tapi bagian darinya adalah kurikulum yang berbentuk praktik. Jadi, ini semacam hidden curriculum, yang pengajarannya dilakukan sepanjang hari 24 jam. Dengan model seperti ini, pelajar langsung mempraktikkan adab secara keseluruhan. Dalam konsep Sayyid al-Attas, model pendidikan ini mirip dengan konsep ta’dib, yang menerapkan adab terhadap semua aspek sisi-sisi kehidupan dan keilmuan.

Peran dalam Perang Salib

Menurut kajian Dr. Majid Irsan Kilani, para alumni madrasah ini memiliki peran besar dalam mempersiapkan generasi untuk menghadapi ancaman pasukan salib di daerah Syam. Menurut laporan ini, madrasah al-Qadiriyah menampung anak-anak pengungsi yang melarikan diri dari penjajah tentara Salib lalu menggembleng dan mengembalikan mereka ke wilayah-wilayah medan pertempuran.

Beberapa murid Syekh Abdul Qadir banyak menjadi tokoh terkemuka dalam perang Salib. Seperti Ibnu Naja yang menjadi penasihat Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Begitu pula Ibn Qudamah penulis al-Mughni menjadi salah satu penasihat al-Ayyubi. Metode pendidikan al-Jilani kemudian diteruskan hingga masa pemerintahan Nuruddin Zenki, sultan yang juga berjasa merebut al-Quds dari tentara Salib.

Beginilah metode yang diterapkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang menenkankan kurikulum pelajaran secara integral yang dasarnya adalah tasawwuf dan akidah Sunni. Konsep tazkiyatun al-nafs tidak pernah lepas dari setiap ajaran yang diterapkannya. Dengan konsep yang demikian, seorang pelajar memiliki basis ideologis yang kokoh, yang mampu mengatasi tantangan keislaman.

Al-Jilani bukan sekedar mencetak seorang sufi saja, tapi sufi yang faqih sekaligus mujahid. Hal ini telah terbukti keberhasilannya, tentara Shalahuddin al-Ayyubi tidak hanya jago bertempur di medan perang, akan tetapi mereka juga seorang sufi, mu’adib dan faqih murid Syekh al-Jilani.  Tidak salah dan cukup relevan jika kurikulm model seperti ini diterapkan dalam pendidikan kita saat ini. Akan menarik pula jika konsep tasawwuf nya diintegralkan dengan pelajaran di luar pelajaran syari’ah, misalnya Ekonomi, Kedokteran, Fisika, Kimia, Biologi, Psikologi dll.  Wallahu a’lam bil shawab.

 

 

 

 

Last modified: 07/10/2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *