Pendidikan Mental-Spritual Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

Oleh: Kholili Hasib

al-jailaniInpasonline-Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah ulama tasawwuf kenamaan. Ia berguru kepada beberapa guru besar Islam yang sangat berjasa membina spiritual Syaikh al-Jailani. Seperti Syaikh Hammad al-Dabbas, Ibn ‘Aqil dan kakeknya sendiri Syaikh Al-Shouma’i.

Dalam sejarah tercatat, ia berusaha menyudahi perselisihan-perselisihan madzhab fikih yang mengemuka dengan pertentangan yang hebat. Imam al-Nawawi dalam Bustan al-‘Arifin mencatat keunikan Syaikh al-Jilani. Disebutkan bahwa beliau bersikap terbuka terhadap madzhab Syafi’i dan menjalin kerjasama dengan para pengikut Hambali.

Beliau bahkan berfatwa dengan dua madzhab, kepada Syafi’iyyah ia berfatwa dengan madzhab Syafi’i, sedangkan kepada pengikut Hambali beliau berfatwa sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau menguasai hukum-hukum dua madzhab, maka tidaklah heran beliau bisa diterima oleh dua madzhab tersebut. Dan pada akhirnya, ia mengikuti madzhab Hanbali.

Ia melihat, pertikaian antar pengikut madzhab fikih dan problema yang dihadapai kaum muslimin zaman itu disebabkan keringnya nilai-nilai ruhiyah dalam diri kaum muslimin.

Dalam setiap pembahasan fikih misalnya selalu terkait dengan kajian, tauhid adab, dan tazkiyat al-nafs. Dalam kitab al-Ghunyah li Thalibi Thariqi al-Haq, misalnya, beliau ‘meramu’ kajian tahid, adab dan tazkiyatun nafs di dalmnya.

Kitab al-Ghunyah dimulai dengan makna syahadat, kemudian diikuti dengan akhlak, serta bab fikih – thaharah dan shalat dalam satu bab. Dari sini dapat disimak, bahwa kitab yang diajarkan sebagai buku pokok Madrasahnya, al-Qadiriyah, untuk membentuk mental anak didik yang sempurna. Mengamalkan nilai-nilai spiritual Islam baik lahir maupun batinnya.

Dr. Majid Irsan Kilani dalam bukunya Hakadza Dzahara Jiil Shalahuddin wa Hakadza ‘Aadat al-Quds mencatat, bahwa karya Syaikh al-Jilani tersebut dususun sesuai dengan metode penulisan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Yakni mengintegrasikan beberapa cabang ilmu yang berasaskan tazkiaytun nafs dan adab.

Syaikh al-Jilani melihat bahwa kerusakan ilmu adalah problem semua krisis keumatan. Beliau dalam amar ma’ruf nahi munkar kerap meluruskan para ulama’ yang jatuh kepada materialisme. Ulama’ adalah pengemban ilmu, jika ada ulama yang materialisme, maka ada kerusakan konsep dalam ilmunya.

Tujuan pendidikan al-Jailani adalah menjaga kemurnian agama, mengatasi berbagai macam pertikaian madzhab dan membentuk mental kaum muslim yang faqih, zuhud, dan sekaligus mujahid.

Untuk mempraktikkan pemikiran pendidikannya, Syekh Abdul Qadir menerapkan dua metode, pertama, membuat pengajaran yang sistematis dan pendidikan jiwa yang sistematis, kedua, memberi ceramah dan berdakwah kepada masyarakat umum atau muslim awam.

Untuk metode pertama, al-Jilani membangun madrasah yang dinamai Madrasah al-Qadiriyah yang selesai pembangunannya pada tahun 528 H. Tidak jauh dari lokasi Madrash dibangun Ribath – sebuah asrama untuk menampung para pelajar dari luar Baghdad. Ribath ini mirip dengan asrama pondok pesantren di Indonesia.

Kurikulum Madrasah Qadiriyah disusun dengan dasar ilmu tasawwuf dan ushuluddin. Sedangkan pelajaran dasar yang diberikan adalah penggabungan antara fikih dan tasawwuf. Tampaknya, Syaikh al-Jilani sejak pendidikan pemula ingin, membentuk mental para ulama’ yang memiliki cara pandang yang sama demi mencegah perpecahan disebabkan keburukan akhlak dan orientasi materi.

Sangat dibutuhkan umat adalah ilmuan-ilmuan yang memiliki kemampuan memahami berbagai disiplin ilmu secara integral, agar secara cerdas mengatasi problem keumatan.

Misi yang kedua adalah, melahirkan da’i yang kompeten melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Pendidikan membentul jiwa rabbani itu diasaskan oleh beliau dengan penanaman nilai tauhid. Maka, pelajaran yang disiapakan untuk kader ulama’ ini adalah ilmu tentang pemikiran-pemikiran kontemporer yang eksis saat itu. Termasuk ideologi-ideologi yang menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaa’ah.

Dalam kitab al-Gunyah, Syakh al-Jilani mensyaratkan bagi orang yang akan masuk madrasahnya dengan mengatakan; “Wajib bagi murid  untuk menjadikan akidah Sunni sebagai ‘sayapnya’ sebagai media dalam bertariqah untuk sampai kepada Allah”

Tujuan besarnya adalah untuk membentuk mental pelajar atau murid yang memiliki hati bersih tanpa noda, senantiasa mengikuti jejak Nabi saw dalam cara berpikir, emosi dan nilainya. Pendekatan ini merupakan formulasi Syekh al-Jilani menancapkan worldview (pandangan hidup) Nabi Muhammad saw dalam setiap aktifitas perilaku para pelajar.

Praktik pendidikan mental yang diterapkan dalam Ribath itu di bawah pengawasan sorang Syaikh. Sang guru pembimbing yang ditunjuk al-Jilani ini mengajari teori sekaligus praktik sehari-hari secara ketat. Sehingga, lulusan madrasah ini betul-betul kuat basicfaith-nya (landasan keimanannya). Sedikit saja perkara makruh dilakukan, langsung ditegur oleh Syakh.

Bekal selanjutnya yang diberikan kepada para murid adalah, pembekalan bidang sosial. Pembekalan ini tidak lain merupakan terapan adab secara ijtima’iy (adab sosial). Tujuan utamanya, mempererat hubungan persaudaraan antara sesama Muslim, dan menghindari perpecahan sosial dalam masyarakat.

Menurut kajian Dr. Majid Irsan Kilani, para alumni madrasah ini memiliki peran besar dalam mempersiapkan generasi untuk menghadapi ancaman pasukan salib di daerah Syam. Menurut laporan ini, madrasah al-Qadiriyah yang ia dirikan menampung anak-anak pengungsi yang melarikan diri dari penjajah tentara Salib lalu menggembleng dan mengembalikan mereka ke wilayah-wilayah medan pertempuran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *