“Sekularisasi ternyata tidak bisa mengubah negara dari tertinggal menjadi maju dan terkemuka. Begitupun sebaliknya, tidak sedikit masyarakat negara modern yang tetap relegius. Bahkan fakta empiris justru menunjukkan betapa agama ataupun kecenderungan padanya tetap mewarnai kehidupan masyarakat modern. Malahan seringkali menentukan kebijakan ekonomi, hukum maupun politik.”
Pernyataan ini ditegaskan oleh pakar Orientalisme, Dr. Syamsuddin Arif, seusai menjadi pemateri di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Ahad (12/06/11). Menurutnya, tesis sekularisasi memang belakangan ini ramai dipersoalkan. Tidak kurang peneliti sekelas Peter L. Berger juga mempersoalkan sekularisasi ini.
Kelemahan tesis sekularisasi ini, jelas Dosen IIUM Kuala Lumpur ini, terletak pada sifatnya yang terkesan deterministik. Kalau sudah modern, pasti sekular. Kalau sekular, tentu modern. Supaya modern, mesti sekular. Kalau tidak sekular, tidak bisa modern, dan seterusnya. Padahal, masyarakat manusia jelas sangat dinamis, sehingga sangat sulit untuk dipatok arah maupun coraknya, jelasnya.
Penulis buku “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran” ini mencontohkan negara Turki, Mesir dan Marokko. Menurutnya, meskipun Turki terang-terangan menerapkan sekularisme selama hampir satu abad yang lalu, Turki masih saja dianggap belum semaju, semodern, dan sedemokratis negara-negara Eropa. Jangankan melampaui, menyamai Imperium Osmani pun belum bisa, jelas pria kelahiran Jakarta ini. Begitupun Mesir dan Marokko yang juga sudah lama menerapkan sekularisme, hingga kini masih saja belum tergolong sebagai negara maju, jelasnya lebih lanjut.
Sebaliknya, jelas pria yang juga menjadi dosen Metafisika di ISID Gontor ini, sebagaimana diakui oleh banyak sosiolog, tidak sedikit masyarakat negara modern yang tetap relegius, baik secara individual maupun konstitusional. Ia mencontohkan Libya dan Malaysia, meskipun Islam sebagai agama resmi negara, tetapi kedua negara tersebut tergolong sebagai negara modern. Tidak ada orang yang meragukan tentang kemajuan dua negara tersebut, jelasnya.
Ini jelas, tegasnya, sekularisasi bukanlan prasyarat mutlak transformasi masyarakat dari tradisional menjadi modern dan tidak pula dapat menyulap negara dari tertinggal menjadi maju dan modern. Oleh karena itu, buat apa bangga menjadi negara sekular dan sok alergi dengan agama. (mm)
Last modified: 14/06/2011