InpasOnline, 19/05/09
Syamsuddin Arif lahir di Jakarta 19 Agustus 1971. Putra Betawi asli ini menghabiskan masa kecilnya di Jakarta. Lulus dari SD baru melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Tamat KMI Gontor 1989 ia mengaji dan mengabdi di Majlis Qurra’ wa Al Huffaz di Sulawesi selama dua tahun. Kemudian ia menempuh program sarjana (S1) di Universitas Islam Antar Bangsa (UIA) Malaysia jurusan komunikasi.
Jurusan komunikasi di Indonesia lebih maju dibanding di Malaysia,“terangya. Ini karena menurutnya, iklim kebebasan pers di Indonesia jauh lebih maju dibanding di Malaysia.
Lulus dari sana ia ingin melanjutkan studinya ke Eropa. Namun sebelum berangkat, terlebih dulu ia berkonsultasi kepada dosennya. Ia sampaikan keinginannya untuk mendalami hermenutika. Namun setelah mendapat penjelasan dari dosennya bahwa hal itu tidak akan banyak membawa manfaat, akhirnya niat itu ia urungkan.
Akhirnya ia masuk ISTAC yang waktu itu dipimpin oleh Syed Naquib Al-Attas. Di kampus inilah ia mengaku banyak belajar dari Syed Naquib Al-Attas. Apalagi ia melihat bahwa ISTAC tidak kalah dengan universitas Barat. Di kampus ini semua mahasiswa wajib mempelajari dan menguasai minimal dua bahasa, Arab dan Persi, yang ditawarkan setiap semester. Ditambah bahasa-bahasa Eropa selain Inggris seperti Greek, Latin, Perancis, dan Jerman. Disamping itu pengadaan untuk riset juga tidak kalah dengan Barat, terutama perpustakaan yang merupakan jantung setiap lembaga pendidikan tinggi. „Dalam bidang kajian pemikiran dan peradaban Islam, Barat, dan Timur, koleksi perpustkaan ISTAC paling lengkap di Asia Tenggara,“ jelas Syamsuddin.
Di kampus ini Syamsuddin menyelesaikan S2 dibawah bimbingan Alparslan Acikgenc dengan tesisnya berjudul ‘Ibn Sina’s Theory of Intuition’.
Kemudian program Phd juga dilanjutkan pada lembaga yang sama. Ia berhasil menyelesaikan program doktornya pada tahun 2004 dengan disertasi berjudul Ibn Sina’s Cosmology: A Study of the Appropriation of Greek Philosophical Ideas in 11th Century Islam dibawah bimbingan Paul Lettinck.
Tidak puas menyandang satu gelar doctor, ia mengambil lagi doctor keduanya di Orientalisches Seminar, Johann Wolfgang Goethe Universitat Frankfurt, Jerman. “Saya berani kuliah di Jerman setelah merasa cukup memiliki bekal iman dan ilmu yang memadai,”jelasnya.
Awalnya, kepergiannya ke Jerman memang sempat diragukan oleh teman-temannya, termasuk gurunya Prof. Wan Daud. Namun keraguan itu ia tepis dengan menunjukkan kekritisannya terhadap para orientalis. Bagi Syamsuddin, dirinya tidak akan mengikuti langkah-langkah dosennya yang orientalis. Sebab menurutnya, para orientalis itu sendiri sudah ragu dengan agama dan Kitab Suci mereka. “Mana mungkin saya ikut orang seperti itu,”terang ayah tiga putra ini.
Bahkan bukan cuma itu ia juga berani mengupas secara tuntas metodologi orientalis dalam mengkaji Islam. Ia mengajak kaum muslim supaya memahami hakikat mendalam mengenai usaha orientalis yang selalu mencari ruang untuk merobek kesucian agama Islam. Orientalis digambarkan oleh Syamsuddin sebagai orang yang cemburu dengan ke’autoriti’an yang dimiliki oleh umat Islam yang tidak dimiliki agama Yahudi dan Kristian karena telah dicemari campur tangan manusia.
Syamsuddin Arif termasuk salah satu cendekiawan Muslim langka yang kini dimiliki kaum Muslim. Selain menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan fasih, lisan dan tulisan, alumnus Pondok Gontor ini juga menguasai bahasa Latin dan Yunani.
Sewaktu di Jerman, di tengah-tengah kesibukan penelitiannya, ia juga menekuni bahasa Hebrew dan Syriac. Ia juga aktif mengisi kajian di berbagai komunitas Muslim Eropa seperti di KIBAR dan kajian kislaman di radio kemunitas muslim Eropa.
Kini ia telah kembali ke Malaysia dan mengajar di International Islamic University (IIU), Malaysia. Meski ia berada di negeri orang, keinginnya untuk kembali ke tanah air sangat kuat. Menurut pengakuannya, Suatu saat ia akan kembali ke tanah air. “Insya Allah saya akan kembali ke Indonesia,”jelasnya ketika ditanya apakah ada rencana pulang ke Indonesia.