InpasOnline, 12/05/09
Dr.Syamsuddin Arif
Di mata Dr. Syamsuddin Arif, metodologi orientalis dalam mempelajari Islam perlu dikritisi. Sebab selama belajar pada mereka, saat mengambil doktor keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt Jerman, ia menemukan banyak kejanggalan pada metodologi yang mereka pakai.
Menurutnya, seringkali umat Islam tak menyadari bahwa usaha para orientalis mempelajari dan mengkaji Islam sudah berlangsung sangat jauh. Hasil kajian mereka pun sudah betebaran di negara-negara muslim. Padahal pemikiran mereka itu sebagian besar jelas-jelas merugikan Islam dan kaum muslimin. Sebagai contoh, orientalis Yahudi, Patrica Croen dan Michael Cook, dalam berbagai karyanya menyebut Islam sebagai agama Hagarism, yang berarti agama para budak. Nama Hagarism sendiri dikaitkan dengan Hajar, isteri Nabi Ibrahim. Kemudian ia juga menyebut hukum Islam itu buatan para tabi’in. Dan tentunya masih banyak lagi konsep-konsep Islam yang maknanya mereka selewenangkan dengan seenaknya.
Toh demikian, banyak sarjana muslim, baik yang belajar di negara-negara Timur Tengah ataupun Barat tak “peduli” dan kurang paham dengan masalah tersebut. Akibatnya, kesewenangan-wenangan para orientlias itu sudah dianggap biasa. “Parahnya lagi, banyak yang terangan-terangan mendukung pemikiran mereka,”jelas Dr. Syamsuddin Arif, pakar orientalis dari International Islamic University (IIU), Malaysia.
Ia memberi contoh, para sarjana muslim di kampus-kampus islam seperti di UIN dan IAIN sudah menjadikan hasil kajian orientalis sebagai referensinya. Akibatnya, banyak mahasiswa yang belajar al-Quran, tetapi kemudian bangga menjadi pengkritik kitab suci umat Islam tersebut. Banyak yang belajar sejarah Islam, tetapi kemudian alergi dengan sejarah Islam. Banyak yang belajar syariah, tetapi membenci syariah. “Ini karena cara belajar dan buku yang dipelajarinya memang sudah mengikuti pola kajian orientalis,”terangnya .
Dr. Syamsuddin, begitu ia biasa dipanggil, berbicara seperti itu bukan tanpa bukti dan alasan. Ia tahu persis pola kajian dan metodologi yang dipakai orientalis dalam mengkaji Islam yang sekarang banyak diadopsi oleh universitas Islam. Maklum, ia sendiri sedang menyelesaikan doktor keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman yang sebagian besar gurunya adalah para orientalis kelas dunia.
Meski ia belajar langsung di lembaga orientalis, namun sikapnya tidak seperti scholar lainnya, terpengaruh dengan pemikiran para pemikir Barat tersebut. Sebaliknya, ia malah bersikap sangat kritis dan mampu menunjukkan kelemahan metodologi yang dipakai oleh pemikir-pemikir Barat tersebut. Kemudian membeberkan rencana Barat yang sangat ambisi mempengaruhi generasi Islam belajar ke negaranya.
Untuk lebih jauh mengetahui metodologi para orientalis dalam mengkaji Islam serta kekeliruannya, penulis buku Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran bercerita kepada majalah Hidayatullah beberapa bulan yang lalu.
Ada kesan para sarjana Muslim kurang peduli dengan pemikiran orientalis, kenapa ini bisa terjadi?
Fenomena seperti ini karena tidak banyak sarjana muslim yang berminat dan tekun mengkaji Barat dan para orientalis. Padahal menekuni dunia tersebut sangat penting diantaranya untuk mengetahui metodologi yang mereka gunakan dalam mengkaji Islam.
Metodologi mereka seperti apa?
Pendekatan yang digunakan oleh orientalis dalam studi ketimuran diantaranya pendekatan sejarah atau biasa disebut historical approuch atau historical criticsm. Maksud pendekatan ini adalah mengkaji sejarah secara kritis. Mereka mengatakan bahwa suatu dokumen harus dipelajari sebagaimana memperlakukan mayat. Yang dimaksud dokumen di sini adalah sesuatu yang tertulis, bukan yang diucapkan. Karena itu tradisi dokumen ini tidak berhubungan dengan tradisi oral atau lisan. Fokus kajiannya hanya pada teks (written document).
Kajian seperti ini pertama kali diterapkan pada Bible. Dalam kajian tersebut terlebih dulu mereka mencari naskah aslinya. Setelah itu isinya ditelaah dan kemudian dicari pembuktiannya. Sebagai contoh misalkan, tahun 50-an ditemukan sebuah naskah Bible di sebuah gua dekat laut mati yang kemudian dikenal naskah laut mati. Dalam naskah tersebut disebutkan bahwa Nabi Musa bersama pengikutnya eksodus dari Mesir melalui laut merah. Dari sinilah kemudian mereka ingin membuktikan kebenaran cerita tersebut dengan melakukan kajian arkeologi. Jika ternyata secara arkeologi tidak ditemukan bukti-bukti yang mendukung cerita tersebut, mereka tidak percaya dengan kitab itu. Jadi semua cerita yang ada dalam kitab suci harus diragukan dulu dan tidak boleh dipercaya. Isi kitab suci harus dipercayai sebagai mitos. Karenanya pelaku studi ini harus tidak percaya dulu dengan obyeknya. Jika obyek itu agama, maka ia harus meninggalkan agamanya dulu, alias kafir. Ini kan berbahaya.
Kalau ini juga diikuti oleh para sarjana muslim, resikonya jelas sangat besar. Saat mereka melepaskan keyakinannya terhadap islam, lalu meninggal, maka ia menjadi murtad. Ini kan berbahaya.
Berarti metodologi itu bermasalah?
Oh jelas, karena itu perlu ada meta-method yaitu kritik terhadap metode tersebut. Metode ini harus dikritisi karena ia sendiri diragukan kebenarannya. Metode itu kan hanya menfokuskan pada obyektifitas, kemudian butuh pembuktian. Padahal ketiadaan bukti bukan berarti bukti ketiadaan. Sebagai contoh misalkan, kita percaya bahwa kita punya otak. Tapi jika kita disuruh membuktikan keberadaan otak kita, itu namanya bunuh diri. Mana mungkin kita mengeluarkan otak kita. Atau contoh lain, ada seorang ibu hamil tua yang terdampar di sebuah pulau kemudian melahirkan seorang anak. Setelah anak itu besar, si ibu berkata pada anak itu bahwa ia darah dagingnya. Tapi anaknya menolak dengan alasan tidak ada bukti luar yang menunjukkan bahwa ia adalah anak si ibu itu. Ini kan namanya kacau. Jadi metode itu harus dikritisi.
Kelemahan lain metodologi para orientlias itu apa?
Dari sisi niat sudah tidak betul. Mereka berangkat dari keragu-raguan, sehingga berakhirnya juga dengan keragu-raguan. Karena menurut mereka sesuatu itu tidak ada yang absolut atau pasti, tetapi relatif. Selain itu mereka lebih mengandalkan metode filologi, yaitu studi naskah. Ini disebabkan mereka tidak punya sanad sehingga mereka tidak punya otoritas. Misalnya, berbicara soal Shahih Bukhari, mereka tidak punya sanad, jadi tidak punya otoritas. Berbeda dengan Ibn Hajar al-‘Asqalani yang punya sanad langsung ke Bukhori. Karenanya mereka mengkaji Islam hanya meraba-raba.
Sebenarnya keunggulan studi Islam oleh orientalis itu apa, sehingga banyak orang Islam yang terpikat?
Keunggulannya terletak pada budaya kritis mereka. Budaya kritis ini yang kemudian menimbulkan gairah sehingga ada dinamika.
Tapi sebenarnya budaya seperti itu sudah ada dalam tradisi intelektual Islam yang sudah berlangsung lama. Hanya saja tradisi tersebut berkurang. Tradisi kritis itu meliputi beberapa bentuk. Pertama, kalau ada ulama yang menulis buku, maka ada yang mensyarah, menulis komentar atau menjelaskan, dan menjabarkan. Kedua, mereka menyanggah (al-radd) atau mengkritik. Cuma tradisi itu saat ini sepertinya menurun, kecuali di Mesir sehingga masih ada dinamika pemikiran.
Di Barat kajian Islam itu menarik karena di situ ada dinamika, ada pembacaan ulang. Misalnya, pada semua seminar di Frankurt ada seorang profesor membaca kitab Ta’lim al-Muta’alim. Seminar itu membahas tentang sejarah dan falsafah pendidikan Islam, History and Philosopy in Islamic Education. Diantaranya membahas Kitab Ta’lim al-Muta’alim. Tapi, sebelum membahas kitab tersebut maka dilakukan survey sejarah dan literature, baru kemudian masuk isi Ta’lim al-Muta’alim untuk dianalisis. Modelnya seperti bedah ayat. Satu-satu dibedah, baik secara filologi dan lainnya, serta dikaitkan dengan konteks modern.
Ini berbeda dengan model pembelajaran di pesantren, karena keterbatasan-keterbatasan. Misalnya, dalam kitab Ta’lim al-Muta’alim itu ada syair-syair berbahasa Parsi, sementara ustad yang mengajar kitab ini tidak tahu bahasa Parsi. Inilah kekurangan dan kelemahan kita. Bahkan terjemahan-terjemahan dalam bahasa Indonesia tidak sedikit kekeliruan-kekeliruannya.
Apa bisa dikatakan studi Islam oleh para orientalis itu unggul?
Itu relatif. Sebab dari kompetensi, ulama-ulama al-Azhar jauh lebih unggul. Sementara mereka (orentalis) masih meraba-raba. Jadi sebenarnya mereka tidak punya otoritas. Mestinya kita memandang orientalis dengan sebelah mata. Tapi, saat ini kelihatannya umat Islam kehilangan izzah. Padahal seharusnya wa antum ‘alwn in kuntum mu’minin. Kita saat ini justru minder. Kalau ada buku karya orang Barat justru itu yang kita baca. Tapi, kalau yang ditulis oleh ulama, kita kurang apresiatif.
Sejauh mana perkembangan studi Islam oleh orientalis saat ini?
Kajian orientalis tentang Islam dan masyarakat Islam semakin intensif. Sekarang ini telah bermunculan studi-studi Islam di Barat, terutama di Amerika Serikat setelah terjadi 11 September (11/9). Buku-buku tentang studi Islam banyak sekali dan menjamur. Baru-baru ini terbit sebuah buku pengantar (pengenalan Islam) untuk mahasiswa yang diterbikan oleh Yale University. Padahal selama ini belum pernah universitas sekelas Yale menerbitkan buku seperti itu.
Apakah hal itu berarti menguntungkan Islam?
Di satu sisi ini menggembirakan, tapi di sisi lain memprihatinkan. Kondisi seperti ini sebagaimana yang pernah dikatakan Karl Marx, they are representating as. Mereka (umat islam) mewakili kita. Mereka menjadi juru bicara kita. Mereka yang menjelaskan siapa kita dan agama kita.
Sekarang ini sebaliknya, orientalis yang menjelaskan agama islam dan mewakili kaum muslim. Awalnya mereka menjelaskan kepada publik mereka. Tapi, kenyataannya buku-buku itu juga dibaca oleh minoritas Muslim di sana. Ini adalah tantangan bagi para ahli Islam untuk menulis tentang Islam yang sama renyahnya untuk dibaca, jelas dan meluruskan, tidak polemis, tapi akademis.