Menyoal Konsumerisme di Bulan Suci

Pengamatan “mata telanjang” semacam ini kemudian menjadi data yang menarik bagi Seorang Sosiolog dari Unversitas Oxford, Inggris. Walter Armburst (2004) menyimpulkan bahwa Ramadhan telah menjadi peristiwa yang dapat dipergunakan untuk tujuan multiguna. Ramadhan menjadi sesuatu yang lebih jauh bisa dipakai untuk mewujudkan agenda yang berbeda-beda, mulai dari mempromosikan produk-produk, merangsang konsumerisme hingga menjual ide-ide politik.

Fakta penelitian di atas dibenarkan oleh Imam Masjid Istiqlal, KH. Ali Mustafa Yaqub. Dalam wawancaranya dengan TV One dalam acara Apa Kabar Indonesia Malam (3/8), Ali menuturkan, masyarakat di bulan Ramadhan justru makin konsumtif. Belanja menjadi dua kali lipat dibanding hari-hari biasa. Berbagai panganan dikonsumsi demi memuaskan hasrat berbuka puasa.

“Bahkan pernah ada lomba di salah satu daerah di Nusantara;  barangsiapa yang mampu menurunkan berat badannya saat Ramadhan, maka akan diberi hadiah. Artinya, orang-orang di bulan Ramadhan justru semakin banyak mengkonsumsi makanan, secara berlebihan. Hal ini tentunya menodai makna, hakikat dan semangat Ramadhan”, imbuh Ali. Esensi utama berpuasa telah mengalami pergeseran fundamental oleh karena sesuatu yang lain yang pada kenyataannya lebih banyak mengandung semangat konsumerisme ketimbang spirit pengendalian diri.

Menurut Astar Hadi, pemerhati budaya dan media, kecenderungan semesta tanda dan pencitraan ini mengarah pada apa yang disebut sebagai simulasi realitas. Pada dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis. Kita disuguhkan realitas tanda-tanda dan citra simulatif yang mengaburkan makna “al-imsak”, “hari kemenangan”, dalam bentuk realitas makna yang kontras; sebuah hiperealitas.

Istilah hiperealitas paling tidak memiliki dua sifat dominan. Pertama, sebagai reality by proxy yang lahir dari ketidakmampuan kesadaran kita dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Dalam banyak hal, ada semacam “kelembutan”, “kesyahduan”, “kekhusyukan” dan “keteduhan” yang dibangun melalui penciptaan model-model realitas baru yang dikontekskan dengan momen-momen tertentu –seperti Ramadhan atau Idul Fitri misalnya— semisal menghadirkan sense of Ramadhan di mall atau tempat lain, seperti musik atau spanduk berbau religius. Dengan demikian, hal tersebut akan membentuk kesan di masyarakat yang seolah-olah kesediaan untuk terus mengkonsumsi berbagai produk yang disodorkan pada kita adalah bagian dari prosesi yang niscaya dalam setiap menyambut kedatangan Ramadhan maupun Idul Fitri.

Kedua, solisi imajiner merupakan ciri lain hiperealitas. Pada konteks ini, tercipta proses menjadikan sesuatu yang non-empiris menjadi seperti nyata. Terjadi objektifikasi kesan lewat kecanggihan teknologi simulasi, sehingga menghasilkan suatu fakta yang dapat dirasa, diraba atau dilihat. Berbagai teknik komunikasi pesan yang seolah-olah islami, seperti iklan layanan “Reg (spasi) bla…bla..bla”, publisitas acara spesial Ramadhan di media massa, suguhan shopping berwajah “agama” dan lain-lain, telah menyebabkan kita terjerembab dalam komodifikasi gaya hidup orang berpuasa yang “harus serba lengkap”; harus ini, harus itu. 

Hubungan antara kenyataan hidup yang serba kurang atau pas-pasan dan “seruan” kamuflatif menjalankan ibadah puasa atau menyambut Idul Fitri dengan sesuatu yang “harus spesial” memaksa kita untuk berbondong-bondong mewujudkannya.

“Namun, karena keduanya kerap dihadirkan dalam satu realitas simbolik media, lambat laun tercipta asosiasi antara keduanya. Pada akhirnya, menikmati “barokah” ramadhan berarti menjalani ibadah dengan syarat-syarat citra diri yang (dipaksa) melampui kemampuan dasar/kebutuhannya”, tandas Astar yang juga penulis buku Matinya Dunia Cyberspace.(Kartika)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *