Songkok, E-KTP, dan Identitas Itu

Saya katakan terlambat karena saya mengurus sendiri dan tidak secara beramai-ramai sesuai anjuran dari kelurahan, yang kata tetangga saya, antri pagi sampai siang. Sampai-sampai ia tidak sempat mencari nafkah karena urusan e-KTP tersebut.

 

Lebih enak terlambat begini, karena tidak perlu antri. Begitu masuk ruangan, saya langsung dipersilakan untuk duduk menghadap kamera. Sayapun bersikap tegap sebagaimana layaknya ketika hendak berfoto. Dengan ramah, petugas foto mempersilahkan saya untuk melepas songkok yang saya kenakan, juga kacamata!

“Loh, kenapa harus lepas songkok Pak?”

“Kalau kacamata memang harus dilepas. Songkok saya tidak tahu aturannya, tapi lebih baik dilepas saja, Pak!”

Tidak ingin berpolemik, sayapun mengalah. Tetapi hal tersebut, terus terang menggelitik hati saya. Songkok, yang lekat dengan identitas kaum muslimin Indonesia, yang katanya sudah merupakan identitas nasional bangsa Indonesia, mengapa harus dilucuti justru dalam kartu identitas warganegara, yang secara denotatif, merupakan identitas langsung bangsa Indonesia. Lihat saja foto semua presiden dan wakilnya, maksud saya foto resmi yang dipasang di kelas-kelas sekolah dan kantor-kantor: “wajib” memakai songkok. Demikian pula foto anggota kabinet presiden, “wajib” memakai songkok. Seharusnya, kalau bangsa ini ingin menunjukkan identitasnya, pemerintah sebagai pihak yang berwenang perlu mewajibkan semua penduduknya, bahwa dalam semua KTP memakai songkok (tentu bagi yang laki-laki).

Tetapi, saya segera menginsafi, ibarat pepatah “guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Umat Indonesia sering lupa memakai songkok, karena presidennya juga sering lupa memakai songkok. Lihat saja di berita-berita yang ada. Ketika presiden memimpin rapat kabinet, kunjungan ke luar negeri, konferensi pers, beliau sering lupa memakai songkoknya. Tetapi, Alhamdulillah ketika sholat Ied, tidak lupa lagi. Bukan hanya presiden, beberapa pemimpin negeri ini juga jarang memakai songkok, mulai dari para Kades, Camat, Bupati, hingga para menteri. Lihat para news maker beberapa bulan ini, mulai dari gubernur Jakarta hingga para pemimpin KPK.

Hanya saja, ada perkecualian. Coba perhatikan Bupati Garut yang sedang jadi bahan pembicaraan banyak orang itu, selalu pakai songkok. Aduh, ikiran saya jadi kemana-mana. Misalnya, beberapa waktu lalu, ada tersangka korupsi memakai jilbab, bercadar pula. Padahal ketika belum menjadi tersangka, ia tidak memakai jilbab. Ada rasa kecewa dalam hati, ketika simbol-simbol ketakwaan yang seharusnya untuk menunjukkan jati diri, disalah-gunakan menjadi hanya sebuah topeng.

Tetapi semua itu ada perkecualiannya. Saya lalu mencoba mengingat-ingat nama beberapa news maker yang lebih sering ingat memakai songkoknya daripada lupanya. Ada M Yasin, mantan pemimpin KPK. Jangan lupakan pula para pahlawan bangsa yang setia dengan identitas muslimnya, sebut saja H. Samanhudi, H. Agus Salim, Buya HAMKA, KH. Wahid Hasyim, M. Natsir, Panglima Sudirman, Syafrudin Prawiranegara, dan Presiden Sukarno.

Ternyata, sejak tahun 1960-an, songkok seakan-akan menjadi “duta” nasional Indonesia, ketika orang asing lebih mengenal Sukarno daripada Indonesia. Sukarno dikenal dunia karena dua hal, songkok hitam yang selalu dikenakannya dan keberaniannya menghimpun Negara-negara dunia ketiga lewat KTT Nonblok. Sejak saat itu, songkok seakan menjadi identitas nasional bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, saya mengulangi lagi usul saya; kalau bangsa ini ingin menunjukkan identitasnya -yang dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara menyatakan “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa…. menyatakan dengan ini kemerdekaannya”- maka, pemerintah sebagai pihak yang berwenang perlu mewajibkan semua penduduknya, dalam semua KTP, untuk memakai songkok. Semoga hal ini menjadi awal yang baik untuk membentuk bangsa yang lebih bertakwa dan berakhlak mulia: Baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur.

Wallahu a’lam bishowaab. []

*Penulis adalah Peneliti di InPAS

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *