Di balik segudang aktivitas intelektualnya yang berpusat di Amerika Serikat, Edward Said juga aktif menyokong gerakan kemerdekaan Palestina dan menghasilkan banyak buku tentang Islam dan Timur-Tengah. Beberapa karya pentingnya yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia : Orientalisme (Pustaka Salman, 1986), Kebudayaan dan Kekuasaan (Mizan, 1995), Peran Intelektual (YOI, 1998). Memoarnya Out of Place memenangkan Penghargaan Buku Non-Fiksi 1999 New Yorker. Ia juga memenangkan Penghargaan Buku Ainsfield-Wolf 2000 untuk kategori Non-Fiksi, Penghargaan Sastra Morton Dauwen Zabel yang digelar oleh Akademi Seni dan Sastra Amerika, serta Pencapaian Seumur Hidup Penghargaan Sastra Lannan 2001.
“Salah-tempat”, begitulah Edwad Said menggambarkan perjalanan hidupnya sendiri dalam Out of Place, memoar yang ditulis saat leukemia berkepanjangan yang dideritanya mulai terlihat tak mungkin lagi dilawan. Dan benarlah, menjelang akhir September 2003, empat tahun sesudah Out of Place terbit, Edward Said pun meninggal dunia.
Dalam banyak hal, hidup Said memang penuh ketidaklaziman (“salah tempat”). Ia seorang Arab yang beragama Kristen Anglikan dan bernama depan pangeran Inggris. Agamanya jelas diturunkan dari garis silsilahnya, walaupun umat Kristen Palestina pada umumnya memeluk aliran Ortodoks. Sementara soal namanya, Said berujar kepada Richard Coles yang mewawancarainya untuk radio BBC, “Edward berasal dari nama Pangeran Wales yang begitu dikagumi ibu saya ketika saya lahir pada 1935. Saya kira ibu menganggapnya sangat menawan dan elegan.” Sang ibu yang ‘nyentrik’ ini pulalah yang membacakan karya sastra Hamlet lantang-lantang kepada Said saat usianya masih 9 tahun.
Dengan riwayat diri yang unik seperti itu, tak heran bila persoalan utama yang bergejolak dalam pemikiran Edward Said kemudian adalah permasalahan identitas. Ia berkeyakinan bahwa identitas suatu individu atau suatu bangsa tidak bisa dimampatkan, digeneralisir, atau disimplifikasi menjadi “satu dan satu-satunya identitas”.
Tema inilah yang merangkai benang merah keseluruhan karyanya. Yang paling terkenal tentu adalah Orientalisme. Dalam buku yang terbit pertama kali tahun 1978 ini, Said menyibak cacat-cacat dasar yang dipakai Barat dalam memandang Timur (Timur atau Orient dalam hal ini adalah dunia Islam, bukan Asia). Kesalahan utama para orientalis itu adalah menganggap ada satu esensi yang bisa dipakai untuk menjabarkan Islam. Mereka merasa bisa mendefinisikan hakikat masyarakat Arab dan kebudayaan Islam – sebuah kebudayaan dengan sejarah yang kaya dan pengaruh yang menjangkau hingga ke Granada bahkan Asia Tenggara – dalam suatu generalisasi atau simplifikasi yang serba tunggal dan pukul rata (“Islam adalah…”, “Arab adalah…”). dasar keyakinan ini sebenarnya adalah kecongkakan Barat yang merasa bahwa apa yang dinamakan “peradaban” (ilmu pengetahuan, seni, teknologi, dan perdagangan) hanya berjalan maju di wilayah dan sejarah mereka. Sementara Timur itu statis, terbelakang, eksotis, pasif.
Melihat begitu meresapnya pandangan orientalis ini dalam masyarakat Barat, Said sepertinya merasa harus mengamban tugas untuk meruntuhkan kepicikan tersebut sebagai perang pribadinya seumur hidup. Dan untuk itu ia turun dari menara gading akademi menuju forum-forum lain yang lebih terbuka dan politis, salah satunya sebagai juru bicara gerakan kemerdekaan negara asalnya : Palestina. Bagi Said, konflik Palestina pada dasarnya memang konflik identitas. Pendudukan Israel atas Palestina tahun 1948 adalah bentuk riil upaya pengabsolutan identitas (dalam hal ini identitas Yahudi) dengan tidak mau mengakui kemajemukan identitas-identitas lain yang ada di sekitarnya.
Propaganda Zionis terus menyudutkan Edward Said sebagai tokoh “anti perdamaian”, “pro teroris’, bahkan ‘Profesor teror”. Telepon gelap tak pernah berhenti diterimanya, dan kantornya pernah sekali dilempari bom molotov.
Pada akhir Juli 2000, Edward Said dihubungi oleh direktur Institut dan Museum Freud di Wina yang memintanya menyampaikan ceramah tahunan Freud di sana pada Mei 2001. Said pun bersedia memenuhi undangan tersebut. Akibat ketegasan Said soal sikap politiknya serta kiprahnya yang menentang kebijakan pendudukan dan penindasan Israel, undangan ceramah tersebut mendadak dibatalkan oleh pihak penyelenggara. Kepala Institut dan Museum Freud di Wina yang diwawancarai The New York Times – salah satu yang disebut Said sebagai media yang korup karena senantiasa tutup mata terhadap kejahatan Israel – mengatakan bahwa pencekalan ceramah Said di Wina karena ceramah Said bisa melukai perasaan Yahudi di Wina.
Selama 30 tahun berceramah di seluruh dunia, Said belum pernah mengalami peristiwa yang mencederai eksistensinya sebagai seorang intelektual. Dengan kegeraman luar biasa, Edward Said mengungkapkannya dalam sebuah artikel berjudul Freud, Zionisme, dan Wina :
Begitu rendahnya Zionisme busuk ini terbenam sampai-sampai ia tidak sanggup membela dirinya dengan debat terbuka dan dialog yang sejati. Ia pakai taktik-taktik gelap mafia (ancaman dan kerasan) untuk mmperoleh kebungkaman dan kepatuhan. Begitu putus asanya ia merbut dukungan sampai-sampai ia nyatakan dirinya di Israel dan lewat pendukungnya dimana-mana agar, aih! Setuju menghapus suara rakyat Palestina sepeuhnya, entah dengan mencekik desa-desa Palestina seperti Bir Zeit, atau dengan memberangus diskusi dan kritik dimana pun dia bisa menemukan kolaborator dan para pengecut untuk menjalankan tuntutan-tuntutan tercelanya ini. tidak heran bila dalam iklim macam ini aril Sharonlah yang memimpin Israel.
Namun pada akhirnya taktik-taktik preman ini kandas, karena tidak semua suara bisa dibungkam. Sesudah 50 tahun sensor dan pemelintiran Zionis, rakyat Palestina melanjutkan perjuangan mereka. Dan dimana pun, terlepas dari mudah disogoknya badan-badan macam Freud Society, terlepas dari kepengecutan kaum intelektual yang meninabobokan nurani mereka, rakyat bicara demi keadilan dan kedamaian. Segera sesudah Wina membatalkan undangan saya, Museum Freud London mengundang saya untuk menyampaikan ceramah yang mestinya saya sampaikan di Wina…sementara itu perlawanan Palestina terus berlangsung dimana-mana….
Edward Said lahir di Jerussalem Barat dari orang tua yang sehari-harinya menetap di Kairo namun sering bepergian ke Palestina untuk menjenguk keluarga dan handai taulan. Kontak mendalam pertamanya tentang nasib eksil terjadi tahun 1948, ketika keluarganya diusir dari Palestina dan ia tidak kembali lagi hingga 45 tahun kemudian.
Pada tahun 1992, Edward Said melakukan perjalanan ke Palestina, tanah airnya, yang telah dia tinggalkan selama 45 tahun. Dan perjalanannya tersebut dituangkan dalam sebuah artikel “Palestine, Then and Now : An Exile’s Journey Through Israel and the Occupied Territories” yang dimuat di Harper’s Magazine, Desember 1992. Berikut ini kami sajikan cuplikannya :
Jalan ke Jerussalem
Jum’at, 12 Juni 1992. Pukul 07.45 sore. Pesawat Air France yang saya tumpangi mendarat dengan selamat di bandara Ben Gurion, Tel Aviv. Tapi saya amat gelisah.
Saya lahir pada bulan Novmber 1935 di Talbiya, suatu daerah yang kini berkembang pesat dan terhitung paling makmur di Jerussalem. Pada akhir 1947, hanya beberapa bulan sebelum Talbiya jatuh ke tangan Yahudi, keluarga kami pindah ke Kairo. Meskipun pernah tinggal beberapa hari di Tepi Barat dan Jerussalem Timur 25 tahun lalu, saya tidak pernah benar-benar mencoba untuk pulang. Tapi 25 tahun telah berlalu, dan kini saya kembali.
Palestina, yang saya tinggalkan ketika saya berumur 12 tahun, dan Israel, yang baru sekali ini saya kunjungi, adalah dua tempat yang berbeda. Arab-Palestina dikalahkan pada tahun 1948. Rakyatnya, yang berjumlah sekitar 120.000 jiwa terpaksa lari menyelamatkan diri, atau terusir secara mengenaskan. Sebuah negara Yahudi baru, israel, kini berdiri. Beberapa dekade kemudian, pergolakan politik, perang, perkembangan sosial dan teknologi serta perubahan besar dalam populasi, mengubah seluruh wajah Timur-Tengah. Saya datang ke Amerika pada 1951 sebagai pelajar sekolah. Pada tahun-tahun berikutnya saya tetap dekat dengan dunia Arab, dan aktif terlibat dalam perjuangan membela hak-hak rakyat Palestina. Seluruh keluarga besar saya meninggalkan Palestina pada awal 1948. Mereka mengungsi ke Beirut, Amman, dan Kairo.
Istri saya, Mariam, lahir di Libanon. Ia telah mengunjungi Arab Jerussalem Timur beberapa kali pada tahun 50 dan 60-an, yakni ketika kota itu masih menjadi bagian dari Yordania. Sedangkan anak lelaki saya, Wadie (20) dan anak gadis saya, Najla (18), belum pernah berkunjung ke Tanah Suci ini.
Generasi saya adalah generasi yang dibesarkan di dunia Arab dan sama sekali tidak mengakui eksistensi negara Israel. Bahkan ide tentang Israel sendiri merupakan sesuatu yang memuakkan. Hingga tahun 1967 hampir tidak mungkin menggunakan kata “Israel” dalam tulisan Arab. Semua dimaksudkan agar tidak ada legitimasi bagi berdirinya negara Israel. Maksudnya adalah jika kami tidak mengakui kedatangannya, maka mereka akan pergi. Tentu saja hal itu tidak terjadi. Meski banyak dari kami mempunyai paspor dan pekerjaan yang memungkinkan kami pulang, butuh waktu lama untuk bisa melakukan perjalanan, atau menyeberangi perbatasan, dan menghadapi kenyataan yang sulit.
Di Kota Tua
Gereja yang sekaligus makam suci ini, yang merupakan pusat dari seluruh kota, masih sama seperti yang saya ingat – sebuah tempat yang tak terpelihara, dipenuhi turis setengah baya berpenampilan aneh yang berkeliling perkampungan orang-orang jompo dan buta huruf. Di tempat itulah Gereja Kristen Koptik, Yunani Ortodoks, dan gereja-gereja Kristen lain, yang mengembangkan ajaran mereka dengan cara yang sama sekali tidak menarik. Bahkan, konyolnya, kadang terjadi pertempuran antar mereka. Saya ingat ketika saya digendong ayah di pundaknya berkeliling di sekitar tempat itu, dan bertanya dalam hati : “Siapa gerangan orang-orang asing berjanggut itu? Apakah ini benar-benar tempat tinggal Kristus dalam detik-detik terakhir kehidupannya? Kedua anak saya, Najla dan Wadie kelihatan bingung dan kaget dengan segala keganjilan itu. Najla terutama terusik oleh komersialisasi murahan itu – “seperti pasar,” katanya. Sedangkan Wadie terganggu oleh ulah para pendeta yang berisik dan tampak tidak bersahabat.
Kami berempat berjalan menyelinap masuk dengan susah payah ke Gereja Ortodoks yang sedang dipugar. Saat itu sedang berlangsung kebaktian. Tapi lagu-lagu ruhani yang berkumandang malah membuat perasaan kami kurang enak. Semua kelompok wisatawan kini dipandu oleh para pemandu wisata berkebangsaan Israel, bahkan sampai di kawasan Masjid al-Aqsa – salah satu tempat suci orang Muslim – sekalipun.
Seorang teman memberitahu saya bahwa kini tidak ada lagi orang Palestina yang bekerja sebagai pemandu wisata. Yaitu sejak tentara Israel menguasai Jerussalem Timur, tempat Kota Tua berada. Mereka, para tentara Israel yang dilatih oleh pemerintahnya untuk menjadi pemandu wisata, mengambil alih tempat-tempat suci trsebut. Dan sekarang semua pengunjung harus melewati Israel jika hendak memasuki Jerussalem Timur atau pergi ke Tepi Barat. Kakekku dari pihak ayah pernah bekerja sebagai pemandu wisata, sedangkan ayah, ketika masih kanak-kanak, pernah menjual mahkota duri kepada para wisatawan yang berkunjung ke Tanah Suci. Tapi kedekatan itu sekarang berakhir sudah.
Beberapa meter dari Makam Suci, di bawah naungan tembok kota kami melangkah ke Zaiatimo, sebuah toko kue terkenal yang menjual makanan khas mtabaqa, yaitu sejenis serabi yang dilipat dan diisi taburan bumbu kemiri dan gula. Mtabaqa makanan kegemaran keluarga kami. Seorang lelaki tua keriput sedang mengisi ovennya; tampaknya pekerjaan yang sedang ia lakukan itu hanya sekadar mengisi sisa hidupnya.
Saudara sepupu Rashid Khalidi, Haifa, tinggal di Kota Tua. Ia mengundang kami untuk makan siang di rumahnya. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia dan seorang pamannya, di sebuah rumah milik keluarga yang tlah didiami sejak beberapa generasi yang lalu. Persoalan utama mereka adalah bahwa salah satu sisi rumah itu adalah Tembok Ratapan, yakni tempat yang sangat didambakan oleh para pemukim Yahudi. Dan keinginan itu antara lain tercermin dalam kekokohan niat mereka mengubah Arab Jerussalem Timur menjadi sebuah kota Yahudi baru.
Acapkali Haifa memergoki para Yahudi fanatik itu mengintip ke dalam rumahnya dan mengamati harta benda milik keluarganya. Mereka mengejek dan meneriakinya dengan cemoohan, serta mengancam akan merampas rumahnya.
Pagi itu di Kota Tua, yang merupakan wilayah Arab selama ratusan tahun, saya melihat para pemukim itu berjalan di tengah orang-orang Palestina dengan gaya tak acuh. Biasanya mereka membawa senjata atau uzi (atau kadang-kadang keduanya). Dalam pandangan saya, mereka sedang menujukkan bahwa mereka adalah penguasa di sana, di jantung Arab Kasbah.
Usai makan siang, saya berkunjung ke rumah terdekat. Di sana saya diperkenalkan kepada seorang janda tua yang rumahnya diambil alih olh pemukim Yahudi. Kini ia tinggal di lantai dasar rumah tersebut, yang gelap, lembab, dan pengap. Ruangan itu penuh sesak, meski hanya ditinggali oleh enam atau tujuh orang. Salah seorang anak perempuan janda itu tampak sedang mengeringkan cucian basah dengan menggunakan alat pengering rambut. “Mereka melarang kami menjemur pakaian di luar,” katanya sambil menunjuk ke atas, ke rumah yang dulunya milik mereka. “Ketika kami mencoba menjemur di luar, mereka menuangkan air kotor dan melempar sampah ke jemuran kami.”
Lelaki yang mengajak saya mengunjungi rumah janda miskin itu, Hayel Sandouqa, adalah seorang guru setengah baya yang memimpin pasukan lokal yang berjuang melawan masuknya pemukim Yahudi ke Jerussalem. Ia seorang lelaki yang tenang dan berwibawa, walau seringkali tampak sedih. Ia memperlihatkan kepada saya sebuah rumah sederhana yang kamar-kamarnya serta beberapa petak halamannya dikuasai oleh Yahudi. Dan dengan demikian sangay tidak mungkin orang Arab membangun rumah, karena konsekuensinya adalah pukulan tinju orang-orang Yahudi itu. Prioritas utama komite tersebut adalah mengorganisir hubungan di antara penduduk Palestina di Kota Tua. Dan mereka harus mendatangi rumah demi rumah.
Menurut Sandouqa, komite yang ia pimpin bisa dengan tepat menunjuk rumah-rumah yang sedang diincar oleh Yahudi. Dan orang Yahudi akan menguasainya baik dengan cara paksa – yakni dengan mengusir pemiliknya – atau dengan cara membeli rumah-rumah itu melalui, dan ini sialnya, para makelar Arab. Sandouqa juga bercerita tentang seorang janda lain (dan janda adalah sasaran utama para pemukim Yahudi) yang menyeret seorang pemukim liar Yahudi ke pengadilan. Janda itu menang dalam persidangan, namun kini ia hampir putus asa karena upayanya agar hasil keputusan sidang dilaksanakan tak membuahkan hasil. Sebuah keluarga lain yang diperkenalkan kepada saya mengatakan bahwa suatu malam mereka memergoki seorang pemukim Yahudi memasuki rumah mereka. Ketika ditanya sedang apa, ia menjawab bahwa ia datang kesitu untuk mengawasi “rumahku”.
Cerita-cerita itu merupakan gambaran kesulitan inti rakyat Palestina sekararang. Padahal secara teritorial dan geografis, itu adalah wilayah mereka. Pembicaraan damai hanya berpengaruh sedikit kepada orang-orang Israel yang tanpa perikemanusiaan terus mencaploki tanah-tanah milik rakyat Palestina. Di samping tentara, pemukim lainnya juga terus-menerus berdatangan dan menempati setiap ruang yang ada di Jerussalem dan sepanjang Jalur Gaza.
Di semua perbukitan yang mengitari Jerussalem, orang bisa melihat rumah-rumah penduduk yang selalu dicekam ketakutan. Dengan memandang sepintas ke wajah mereka, saya melihat akibat percekcokan yang berlangsung selama bertahun-tahun antara pemerintahan Bush dengan rakyat Palestina di satu sisi, dan antara pemerintahan Shamir dengan pemerintahan Rabin di sisi lain.
Setiap pemukiman tampaknya terdiri dari dua bagian. Pertama adalah rumah-rumah cetakan yang sudah berdiri dan sudah pula didiami. Biasanya di belakang rumah-rumah itu berjejer rumah-rumah yang setengah jadi, kosong, dan menunggu proses penyelesaiannya. Itulah rumah jenis kedua. (Biasanya “rumah-rumah” itu adalah jenis rumah trailer yang bisa dipindah-pindah). Jumlahnya tidak terbatas, namun alasan sebenarnya adalah sangat jelas. Rumah-rumah kosong itu hadir untuk memberi kesan betapa padatnya pemukiman Yahudi di sana. Dan itu bagian dari upaya Israel untuk menunjukkan kehadiran mereka di wilayah arab serta kedaulatan yang tidak bisa diganggu gugat.
Maka. Ketika George Bush setuju untuk menyediakan dana sebesar $10 milyar sebagai jaminan bagi pembekuan pemukiman-pemukiman Israel, rumah-rumah yang belum selesai itu dianggap sebagai rumah-rumah yang telah “ada”. Dengan demikian semakin banyak kehilangan diderita pihak Palestina.
Tepi Barat dan Jalur Gaza dikuasai Israel sejak 1967 dan secara militer berada di bawah kontrol tentara Israel, di samping para pemukim Israel. Kini dua wilayah itu tinggal 22 persen saja dari keseluruhan wilayah Palestina yang saya tinggalkan 45 tahun lalu. Dari 22 persen itu, diperkirakan lebih dari 50 persennya telah diambil alih dan didiami oleh orang-orang Israel.
Ketika kami meninggalkan Kota Tua, menjelang Gapura Damaskus, kami menemukan sekelompok tentara duduk di ambang pintu masuk sebuah rumah megah, yang di atasnya terdapat sebuah menorah yang terlalu besar. Inilah tempat Jenderal Ariel Sharon yang menancapkan panji-panjinya, dan menempatkan sekelompok kecil tentara untuk menjaga tempat kelompok sayap kanannya yang setia.
Orang-orang Palestina
Delapan ratus lima puluh ribu jiwa orang Palestina yang bermukim di wilayah pendudukan Israel jelas dibentuk menjadi warga kelas dua. Saya tidak bicara tentang 2 juta jiwa bangsa Palestina yang berada di wilayah pendudukan di Tepi Barat dan Jalur Gaza dimana kami mengkalim kedaulatan dan hak untuk mendirikan negara. Cukup dengan memandang sepintas kepada para petugas yang dikirim oleh Biro Pusat Statistik israel, untuk bisa melihat betapa Yahudi dan “non-Yahudi” (penyebutan untuk orang-orang Arab di Israel, yang merupakan 18,2 persen dari seluruh jumlah penduduk) adalah dua kelas berbeda; dan salah satuya adalah yang selalu dianggap berstatus lebih rendah.
Perbedaan ini tercermin dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan kualitas hidup. Amat kontras.
Namun yang mengesankan saya pada kunjungan ini adalah kenyataan bahwa rakyat Palestina di Israel tetap bertahan sebagai sebuah masyarakat. Pertama dan terutama, ini karena sikap keras kepala yang fantastik, nyaris tak masuk akal, dan terkadang terkesan amat nekad. Kedua, dengan segala keterbatasannya, mereka menciptakan skema imajinatif yang luar biasa untuk mengembangkan dan memperbaiki keadaan mereka.
Faktor yang kedua bisa ditemukan di wilayah sebelah utara, di Acre, sebuah tempat yang sekarang amat mengenaskan. Kami berjalan di pantai lewat sebuah pelabuhan Arab yang dibangun pada zaman pertengahan. Kami sangat pilu melihat kehidupan yang lambat dan dihancurkan secara sistematis. Gedung-gedung (termasuk masjid el-Jazzar) dibiarkan rusak dan kosong. Masyarakat yang terpencil membanting tulang di lingkungan miskin.
Meski demikian, seolah-olah menyimpang dari semua ini, kita bisa menemukan Pusat Pendidikan Acre, yang dipimpin oleh Mariam Marei. Marei menyusun sebuah program yang bertujuan melatih para pemuda untuk mengajar anak-anak keluarga Palestina yang miskin. Metodenya beraneka ragam, tidak kaku dan sangat sarat hiburan. Ada pertunjukan boneka, alat-alat peraga dari kardus, pembacaan puisi bersama, latihan mewarnai, dan percakapan yang menyegarkan. Pusat pendidikan itu berlokasi di sebuah rumah Arab tua yang nyaman dan memancarkan optimisme serta gairah untuk menemukan hal-hal baru. Mereka seolah tidak terpengaruh sama sekali oleh kurangnya dana atau rintangan yang menghdang.
Inti yang Marei tunjukkan kepada saya ialah bahwa dengn melatih guru-guru yang nantinya akan mengajar anak-anak usia sekolah, “kita” akan memiliki banyak alternatif yang lebih baik daripada yang ditawarkan oleh Israel. Kata “kita” yang dipakai Marei membuat saya terkejut. Saat itu saya tidak merasa sebagai orang luar (dalam beberapa hal saya memang orang luar) melainkan lebih dari itu, seorang kawan. Saya adalah bagian dari “kita” dalam persoalan-persoalan dan harapan-harapan yang dihadapi rakyat dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau saya duduk sarapan pagi di hotel, seseorang – lelaki atau perempuan muda – akan sengaja datang kepada saya dengan penuh sopan santun dan bertanya apakah ia bisa bicara dengan saya untuk beberapa menit saja. Kemudian saya akan mendengarkan rencana-rencana, gerakan, mimpi, dan skema, dan ditanya mengenai pendapat saya tentang rencana itu. Tak seorang pun yang saya temui meminta bantuan langsung dari saya berupa uang atau kontak-kontak langsung. Mereka hanya minta bantuan sumber-sumber, buku-buku, dan ide-ide. Pada saat seperti itulah saya merasa punya hubungan dengan mereka, dan banyak berharap.
Disarikan dari buku “Bukan Eropa : Freud dan Politik Identitas Timur-Tengah” (Tangerang : Marjin Kiri, 2005) dan artikel berjudul “Palestina Dulu, Palestina Sekarang” yang dimuat di jurnal Islamika, No. 2 Oktober-Desember 1993.
*Penulis adalah peneliti InPAS