Simpati dan dukungan bangsa Indonesia yang terbaru ialah menggelar Forum konferensi internasional bertajuk Striving to Fulfill the Rights of Palestinian People, Asia-Pasifik Community Conference (ASPAC) for Palestine selama dua hari, Rabu-Kamis (29-30/6) di Balai Sidang Jakarta Convention Center. Dalam forum tersebut ratusan anggota DPR RI menandatangani petisi menuntut pembebasan anggota parlemen Palestina yang ditahan Israel.
Khusus di ASEAN, pemerintah Indonesia menjadi pelopor agar Israel menghentikan aksi pencaplokan tanah Palestina dan kompleks Masjid Al-Aqsa. Indonesia melalui dukungan diplomatik berusaha mengajak seluruh anggota PBB untuk mengakui kemerdekaan Palestina.
Dukungan terhadap perjuangan Palestina juga digelorakan oleh Ketua Umum Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla (JK). Pada Jum’at, (1/7) JK melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Palestina Salam Fayyad di Ramallah, Tepi Barat, Palestina.
Pertemuan tersebut untuk menyampaikan simpati dari masyarakat Indonesia terhadap perjuangan bangsa Palestina dan masalah-masalah kemanusiaan yang dihadapi bangsa Palestina. Selain menyampaikan rasa simpati, Jusuf kalla juga menyampaikan perkembangan peningkatan hubungan kerja sama antara Palang Merah Indonesia dan Bulan Sabit Merah Palestina (Palestinien Red Crescent Society/PRCS), di mana PMI mengirimkan bantuan kemanusiaan rakyat Indonesia untuk bangsa Palestina melalui PRCS.
Sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya, untuk apa sebenarnya semua “hiruk-pikuk” memberikan dukungan terhadap diakuinya bangsa Palestina sebagai sebuah negara? Mengapa bangsa kita yang tengah terbelit beragam persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya memberikan perhatian besar terhadap perjuangan bangsa Palestina? Bukankah di depan mata kita persoalan bangsa juga meminta perhatian besar? Bukankah Palestina merupakan sebuah wilayah serta entitas yang berada nun jauh di sana? Pertanyaan yang lebih sophisticated lagi, ada apa dengan pengakuan (recognition)?
Mungkin jarang atau bahkan tidak tertulis di buku-buku sejarah bangsa kita, bahwa negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia adalah bangsa Palestina? Tidak percaya? Mari kita telusuri fakta sejarahnya.
Kita akan dibuat terhenyak ketika membaca buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” yang ditulis oleh Ketua Panitia Pusat Perkumpulan kemerdekaan Indonesia , M. Zein Hassan Lc. Buku ini diberi kata sambutan oleh Moh. Hatta (Proklamator & Wakil Presiden pertama RI), M. Natsir (mantan Perdana Menteri RI), Adam Malik (Menteri Luar Negeri RI ketika buku ini diterbitkan), dan Jenderal (Besar) A.H. Nasution.
M. Zein Hassan Lc. sebagai pelaku sejarah, menjelaskan dalam bukunya pada halaman 40 tentang peran serta, opini dan dukungan nyata Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia, di saat negara-negara lain belum berani untuk memutuskan sikap. Dukungan Palestina ini diwakili oleh Syekh Muhammad Amin Al-Husaini – mufti besar Palestina – secara terbuka mengenai kemerdekaan Indonesia:
“…pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini (beliau melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia ke dua) kepada Alam Islami, bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia . Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari berturut- turut, kami sebar-luaskan, bahkan harian “Al-Ahram” yang terkenal telitinya juga menyiarkan.” Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dalam kapasitasnya sebagai mufti Palestina juga berkenan menyambut kedatangan delegasi “Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia” dan memberi dukungan penuh.”
Berangkat dari fakta sejarah yang centang-perenang seperti ini, tidak patut kiranya kita kemudian bersikap sinis terhadap upaya pemerintah memperjuangkan kemerdekaan sebuah bangsa yang sejak tahun 1948 hingga hingga kini masih harus menghadapi penjajahan secara fisik. Piagam PBB yang diproklamirkan tahun 1948 jelas-jelas menyebut bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Dan di era cyber space seperti ini, rasanya suatu hal yang sangat absurd jika penjajahan fisik di dunia masih eksis.
Era negara-bangsa (nation-state) yang dimulai pasca Perjanjian Westphalia tahun 1648 menuntut terpenuhinya syarat ‘pengakuan’ sebagai “tiket masuk” bagi sebuah negara sehingga dia bisa berdaulat. Sejatinya, ‘pengakuan’ bukan syarat utama untuk sebuah kedaulatan. Tanpa pengakuan pun, jika sebuah komunitas sudah memiliki kedaulatan, wilayah serta penduduk, maka dia otomatis sudah dianggap sebagai sebuah negara berdaulat.
Maka menjadi sesuatu hal yang absurd atau bahkan sebuah anomali, ketika pada tahun 1948 Israel yang bahkan belum memiliki kedaulatan, wilayah, serta penduduk bisa mendapatkan identitas bernama ‘negara’; dengan hanya bermodalkan pengakuan dari Amerika Serikat. What a joke. Sungguh lelucon yang tidak lucu sama-sekali.
Diaspora bangsa Yahudi secara masif ke negara Palestina sejak tahun 1948 menambah deretan absurditas politik internasional. Kemudian Israel yang didukung kekuatan adidaya berhasil menancapkan benderanya di markas PBB. Selanjutnya otak masyarakat internasional dicuci lewat media-media mainstream untuk “memahami”, bahwa hanya ada satu identitas di peta dunia, yakni negara Israel, negara Palestina sudah hilang. Lalu, sejarah ini sebenarnya milik siapa? Dalam hal ini mungkin Foucault ada benarnya, bahwa sejarah adalah milik mereka yang tengah berkuasa.
Wallohu ‘alam bishshawwab
*Penulis adalah peneliti InPAS