Selangkah Pembubaran Ahmadiyah

Suara mayoritas umat Islam tetap menginginkan Ahmadiyah dibubarkan. “Di negeri asalnya sudah dibubarkan sejak lama, dan Liga Dunia Islam juga tidak mengakui keberadaan Ahmadiyah. Maka sudah semestinya pemerintah kita membubarkan dan sekaligus membina jamaah mereka ini”, ujar Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, MA, ketua pengurus besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan salah satu ketua MUI Pusat.

Menurut dia, persoalan Ahmadiyah tidak akan selesai jika hanya menggunakan pendekatan anarki, tapi harus dengan peraturan pemerintah yang dijalankan secara jelas dan tegas.

Ribut soal Ahmadiyah sudah beberapa kali terjadi.  Secara legal formal, Ahmadiyah jelas melanggar. Akan tetapi Ahmadiyah tetap membandel, SKB tiga menteri tidak dianggap oleh jamaah yang berpusat di Inggris ini. Jika tidak ada ketegasan soal status jama’ah ini, selamanya Ahmadiyah tetap akan ‘ngeles’.

Pada tahun 2008 lalu Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengkajian Aliran Kepercayaan Masyarakat) pernah menemukan kebohongan Ahmadiyah.  

Dalam suatu dengan pendapat dengan Bakorpakem Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengatakan kitab Tadzkirah bukan kita suci agama Ahmadiyah. Pernyataan ini pun diulang dalam pertemuan dengan komisi VIII DPR-RI hari rabu malam kemarin.

Akan tetapi, tim pemantau menemukan sebaliknya.  Menurut ketua Tim Pemantau Bakorpakem waktu itu, Atho’ Mudzhar, yang telah melakukan investigasi langsung ke lapangan selama tiga bulan, bahwa penganut JAI tetap meyakini Tadzkirah sebagai kitab suci dan Mirza Ghulam sebagai Nabi. Berdasarkan temuan itu, pada bulan April 2008, Bakorpakem mengeluarkan rekomendasi final bahwa Ahmadiyah harus menghentikan kegiatannnya.

Tapi, rekomendasi yang juga ditujukan kepada Jaksa Agung dan Mendagri itu tidak digubris. Pihak pemerintah pun juga berdiam diri tidak segera menuntaskan hingga tahun 201i ini. Maka, kasus bentrok di Cikeusik beberapa hari yang lalu setidaknya mesti menjadi pelajaran bagi yang berwajib, bahwa rekomendasi Bakorpakem harus ada follow up yang jelas.

Memang selamanya, konsep teologis Ahmadiyah tidak berubah. Doktrin kenabian Mirza Ghulam adalah doktrin elementer yang menjadi penopang semua keyakinan Ahmadiyah. Dalam kitab Tadzkirah halaman 621 dengan gamblang menyebut Ghulam Ahmad adalah utusan Tuhan yang membawa petunjuk dan agama yang benar.

Konsep teologis yang beginilah yang dipersoalkan umat Islam. Jika dibiarkan, doktrin ini mencemari akidah Islam. Bahkan dalam laporan Tim Pencari Fakta MUI Banten, beberapa orang telah di-Ahmadiyahkan oleh JAI di Banten. Ini artinya, JAI tidak saja melanggar aturan tapi memicu keresahan masyarakat.

Masyarakat muslim selalu berusaha menjaga kemurnian agamanya. Sebab, tidak ingin agama Islam bernasib seperti Yahudi dan Nasrani. Dua ajaran agama ini sudah bukan lagi ajaran tanzil  karena telah bercampur dengan kepercayaan Romawi dan Yunani.

Menjalankan agama dan menjaganya dari polutan akidah adalah hak orang beragama. Maka tak heran, masyarakat muslim ngotot membela hak beragamanya dari polutan-polutan akidah.

Jadi pembubaran Ahmadiyah bukanlah pelanggaran HAM. Justru Ahmadiyah yang melakukan pelanggaran. Sebab, memakai nama dan simbol-simbol Islam untuk meng-Ahmadiyah-kan kaum muslim, Ahmadiyah telah melakukan kekerasan akidah berupa penodaan, penistaan dan pengikisan akidah terhadap agama Islam.

Setiap orang boleh saja menjalankan keyakinannya dengan bebas. Tapi kebebasan itu bukan berarti ‘keblabasan’. Artinya menjalankan dan menyebarkan keyakinan secara bebas akan tetapi meresahkan dan mengganggu kenyamanan orang lain dalam beragama.

Maka pembubaran atau menjadikan Ahmadiyah menjaga agama sendiri dapat menjadi menuntaskan kasus-kasus kekerasan dan penistaan. Ini merupakan solusi yang palign mudah. Jika ingin mengidentitaskan sebagai Islam, maka konsekuensinya Ahmadiyah harus mengikuti akidah dan syari’at Islam yang sudah baku itu.

Jika masih tetap melanggar aturan syari’at, maka Ahmadiyah tidak boleh menggunakan simbol-simbol Islam, tempat ibadahnya pun tidak lagi boleh bernama masjid.

Solusi ini sebenarnya bisa meredam bentrok anarkis. Sebagaimana yang pernah dialami negara Pakistan, puluhan tahun lamanya umat Islam dan Ahmadiyah terlibat konflik. Akhirnya, pemerintah Pakistan mengeluarkan undang-undang yang menegaskan Ahmadiyah bukan bagian dari Islam. Jamaah Ahmadiyah kemudian dideklarasikan sebagai kaum beragama non-muslim.

Amat bijak bila kasus Ahmadiyah ini disikapi dengan jalan ini dan tidak terprovokasi oleh oknum yang sengaja memberi stigma negatif terhadap Islam. Selama ini, memang ada pihak yang bekerja intensif merusak tatanan dan konsep yang telah mapan. Kerja ini memiliki dua arah, satu memprovokasi dan yang lainnya mengelirukan makna kebebasan.

Kampanye makna kebebasan ala Liberal dalam situasi ini cukup rawan. Sebab, masyarakat awam akan mudah menelan logika-logika yang sengaja ditampilkan seakan ‘indah’. Kebebasan ala Barat tidak ada hubungannya lagi dengan konsep-konsep teologi. Sehingga antara kebebasan, penistaan dan toleransi menjadi rancu.

Kultur dan etika Islam jelas berbeda. Kebebasan tidak identik dengan penistaan agama. Apa yang terjadi dengan bentrok Ahmadiyah, adalah persoalan penistaan. Kebebasan dalam Islam itu bukanlah identik dengan istilah Liberal atau freedom. Dalam Islam, menurut Syekh Naquib al-Attas, kebebasan lebih tepat diterjemahkan dengan ikhtiyar. Sebab, hakikatnya kebebasan dalam Islam itu adalah memilih (ikhtara) sesuatu yang benar.

Berkaitan dengan solusi mengakhiri bentrok, maka pemerintah mestinya mendengarkan suara moayoritas umat Islam dan melaksanakan rekomendasi peraturan, yakni pembekuan Ahmadiyah atau dibubarkan. Jika tidak, peraturan yang telah bibuat tidak ada fungsinya yang itu akan memicu kembali terjadinya konflik.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *