Lembaga Amnesty Internasional mengatakan di kawasan Katalunia, Spanyol, banyak umat Islam yang harus sembahyang di tempat terbuka karena pemerintah menolak pengajuan pembangunan masjid dengan alasan tidak sesuai dengan tradisi dan budaya setempat.
Feminisme di Eropa ternyata juga tidak memberi hak-hak penuh kepada muslimah. Dalam laporan itu dikatakan perempuan Muslim tidak mendapatkan pekerjaan dan anak-anak perempuan tidak boleh hadir ke sekolah karena mereka mengenakan baju terkait kepercayaan mereka, seperti jilbab.
Seperti yang pernah ditulis Washington Post pada 25 November 2006, seorang anggota Perlemen Inggris, Jack Straw, dengan arogan meminta kaum muslimah melepas cadarnya ketika masuk ke kantornya.
Islam dan muslim masih dipandang rendah dan kelas bawah yang perlu dicurigai. Beberapa waktu lalu Syekh Yusuf Qardhawi dicekal dilarang masuk Negara Prancis. Sementara di Swiss masjid-masjid dilarang membangun menara dan mengeraskan suara adzan.
Fakta-fakta ini sesungguhnya menunjukkan peradaban Barat belum mampu belajar toleransi bergama. Faktornya adalah sekularisme — yang menjadi ideologi Barat — tidak mengajarkan toleransi terhadap agama-agama. Sekularisme dan liberalisme meminggirkan agama dan menindas doktrin-doktrin sentral agama.
Max Weber, sosiolog sekular, mengatakan bahwa wacana-wacana keagamaan dan ketuhanan tidak menjamin ketertiban masyarakat (Max Weber,Sosiologi, hal. 41). Mindset-nya sudah terlalu lama tertanam dalam pemikiran orang Barat bahwa agama itu tidak patut berperan dalam lingkup sosial.
Orang Barat ternyata sudah lama diajari intoleransi. Ketika demokrasi mulai muncul di Athena Yunani, ternyata konsep demokrasinya juga diskriminatif terhadap kelas yang lemah. Pada zaman Yunani kuno tersebut, nilai-nilai demokrasi justru menjadi monopoli minoritas kaum bangsawan dan para pejabat. Sedangkan mayoritas penduduk Athena disebut dengan predikat-predikat yang merendahkan, misalnya disebut kaum barbarian, orang liar yang tidak layak mendapatkan bagian dari nilai demokrasi ataupun menikmati hak-hak mereka. Mungkin mirip dengan Barat sekarang yang gegabah memberi predikat teroris dan fundamentalis.
Rasisme seperti itu diwarisi oleh kerajaan Romawi. Meski Romawi memiliki hukum konstitusional yang tertulis dalam “Corpus Imperatur Ghestenian”. Hukum ini diskrimintatif. Rakyat kecil tidak mendapatkan hak-haknya. Sama seperti pendahulunya Yunani, penguasa Romawi menyebut mereka dengan kaum barbarian yang tidak layak mendapatkan hak (Yusuf Qardlawi, Al-Gharb wa al-Islam, ‘ain huw al-Khata’ wa Aina huw al-Shawab).
Jadi ada dua faktor penting pemicu masih menguatnya intoleransi Barat. Pertama, rasis. Hingga kini arogansi kaum kulit putih Barat masih ditunjukkan. Belum lama ini, di ajang Piala Eropa 2012 yang digelar di Ukraina-Polandia. Timnas Belanda — yang beberapa di antara pemainnya beragama Islam — melaporkan cemoohan bernada rasis yang ditujukan personel mereka yang berkulit hitam.
Mereka meyakini ras terbaik itu adalah berkulit putih. Pandangan inipun sebenarnya primitif. Sebab hanya menggunakan faktor kulit saja untuk menentukan baik dan tidaknya suatu bangsa. Rasisme justru menyeret Barat untuk kembali kepada peradaban ‘gelap’.
Faktor kedua, sekularisme. Sekularisme ‘membenci agama’. Sekularisme phobia bila agama berperan dalam ruang publik. Agama terpojok, dan akhirnya hal-hal yang terkait dengannya tidak diperkenankan berada dalam ruang publik. Jelas ini mereduksi kebebasan tiap pemeluk agama untuk mengamalkan ajaran-ajarannya.
Dalam ideologi sekular dinyatakan bahwa dalam sekularisasi, harus ada proses reduksi. Yakni pelepasan diri terhadap doktrin-doktrin fundamental agama (M. Arkoun, Al-‘Almanah wa al-Din: al-Islam, al-Masih, al-Gharb, 76). Tidak boleh ada konsep-konsep teologi yang berperan dalam masyarakat. Ajaran-ajaran dasar agama dipaksa untuk tunduk kepada realitas budaya dan globalisasi.
Harvey Cox — tokoh utama sekularisasi Barat — mengusulkan agar dunia ini dikosongkan dengan nilai-nilai agama (disenchantment of nature). Pengosongan nilai-nilai agama dimutlakkan. Sehingga, sulit untuk berkompromi dengan agama-agama. Tujuan pengosongan nilai kemudian memakai alat bernama demokrasi dan liberalisasi.
Sementara dalam Islam, toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran. Islam menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran, tolong-menolong, hidup yang harmonis, dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka (QS. Al-Mumtahanah: 8-9).
Meskipun Islam tidak memberi klaim keselamatan terhadap pemeluk agama lain, akan tetapi ajaran Islam tidak memperkenankan mengebiri dan menyerang pemeluk agama lain. Islam menilai agama lain tidak benar, namun bukan berarti klaim ini melegitimasi melakukan penyerangan tanpa sebab. Peperangan dalam Islam didudukkan sebagai usaha prefentif (tadafu’), tidak mendudukkannya sebagai konfik (shira’). Visi Islam menjaga harmonitas dan koeksistensi antarkelompok, melalui usaha preventif bukan konflik.
Oleh sebab itu, klaim kebenaran sebenarnya tidak menghalangi pemeluk agama lain untuk menentapkan perkara mereka sesuai dengan apa yang terdapat dalam kitab suci mereka. Hal ini berbeda dengan ideologi sekularisme. Sekularisme membatasi hak-hak beragama di ruangan publik. Sedangkan Islam memberi izin.
Toleransi Islam seperti itu telah lama dipraktikkan oleh Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Kemudian diteruskan oleh para khalifah di Baghdad dan Andalusia. Bernard Lewis mengakui toleransi Islam. Dalam The Jews of Islam ia mengatakan, bahwa orang-orang Yahudi merasa aman hidup di bawah naungan orang Islam selama berabad-abad. Mereka tidak ditindas atau dirampas hak-haknya, bahkan mendapat kesempatan untuk bersekolah di lembaga-lembaga kajian. Kaum Yahudi hanya dikecam karena kekufurannya, namun mereka tetap mendapatkan hak-hak hidupnya.
Dalam sistem Islam ada konsep kafir dzimmi. Allah tidak melarang berbuat baik kepada kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lainnya dalam memerangi umat Islam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak melarang bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka. Kafir dzimmi itu dilindungi karena taat pada kepemimpinan Islam dan tidak menyebarkan kesesatan kepada umat Islam. Bahkan umat Islam dilarang mendzalimi ahl al-dzimmi ini. []